Aktivis Perempuan Sultra Desak Pemkab Bombana Nonaktifkan PPPK Pelaku Kekerasan Seksual 10 Tahun
Reporter
Senin, 15 September 2025 / 8:24 pm
Aktivis perempuan Sulawesi Tenggara, Yustin, mendesak Pemkab Bombana menonaktifkan PPPK pelaku kekerasan seksual. Foto: Ist.
KENDARI, TELISIK.ID - Aktivis perempuan Sulawesi Tenggara, Yustin, mendesak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bombana segera menonaktifkan FA, seorang pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
FA diduga melakukan kekerasan seksual terhadap FS (25), sepupunya sendiri, selama kurang lebih 10 tahun.
Yustin menilai bahwa FA tidak pantas dipertahankan sebagai aparatur sipil negara (ASN), mengingat dugaan kejahatan seksual yang dilakukannya sangat serius dan berlangsung dalam waktu yang lama.
"Pelaku ini sudah 10 tahun melakukan kekerasan seksual. Negara tidak pantas memberikan penghargaan dalam bentuk pekerjaan terhadap pelaku kekerasan seksual seperti ini," tegas Yustin saat diwawancarai telisi.id, Senin (15/9/2025).
Yustin mengatakan bahwa FA telah menginternalisasi ideologi patriarki secara ekstrem. Menurutnya, relasi kekuasaan yang timpang antara pelaku dan korban turut berperan besar dalam terjadinya kekerasan.
"Padahal, secara sosial budaya, posisi pelaku lebih rendah karena tinggal menumpang di rumah korban, bahkan diperlakukan sebagai anak angkat. Tapi justru itu dimanfaatkan. Dia memaknai perempuan sebagai objek seksual, bahkan terhadap anak dari keluarga yang membesarkannya," beber Yustin.
Dalam kasus ini, pihak pihak kepolisian juga didorong untuk menerapkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), bukan hanya UU Perlindungan Anak.
"UU TPKS itu lebih rigid. Ia tidak hanya menjelaskan jenis-jenis kekerasan seksual, tapi juga memberikan panduan hukum acara yang lengkap. Kalau pakai UU Perlindungan Anak saja, justru bisa mentah," tegasnya.
Yustin menilai kekerasan yang dialami FS bersifat berlapis, mulai dari pemerkosaan, pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan penggunaan kontrasepsi, hingga ancaman kekerasan fisik dan psikologis.
"Budaya patriarki membuat perempuan tidak berdaya, tidak tahu bagaimana menolak karena takut, tidak enak, atau merasa tidak punya pilihan. Ini yang harus kita lawan," ujarnya.
Yustin mengajak seluruh perempuan untuk mulai berani menyuarakan perasaannya dan mencari pertolongan dari pihak-pihak terpercaya.
"Kalau sudah jadi korban, jangan takut bersuara. Sekarang banyak lembaga layanan, ada UPTD PPA, ada kepolisian, ada komunitas yang bisa dipercaya. Kalau tidak melapor, pelaku akan terus beraksi tanpa henti," jelas Yustin.
Yustin menegaskan bahwa penonaktifan FA dari jabatannya sebagai tenaga PPPK adalah langkah minimal yang harus dilakukan Pemkab Bombana sambil menunggu proses hukum berjalan.
"Kalau nanti dia bebas dan kembali bekerja, bukan tidak mungkin dia akan mengulangi lagi. Dia sudah terbukti bisa menyembunyikan kejahatannya selama 10 tahun," tegasnya.
Sebelumnya diberitakan bahwa FA adalah seorang ASN PPPK di Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Bombana.
Ia dilaporkan oleh orang tua korban atas dugaan kekerasan seksual yang dilakukan kepada korban FS sejak masih duduk di bangku SMP dan belum mengalami menstruasi.
Korban mengaku pertama kali diperkosa di sebuah penginapan di Kendari, saat diajak FA mengambil laundry. Pelaku lalu mengunci korban di kamar dan memaksanya melakukan hubungan seksual. Kejadian tersebut berlangsung berulang kali dari tahun 2015 hingga 2025.
"Kalau saya menolak, dia ancam akan menabrak saya pakai motor, atau membunuh saya kalau sampai bilang ke orang tua," ujar FS.
Pelaku juga memaksa korban menggunakan alat kontrasepsi agar tidak hamil. Kasus ini kini sudah masuk tahap penyidikan di kepolisian, namun FA belum ditetapkan sebagai tersangka. (C)
Penulis: Erni Yanti
Editor: Mustaqim
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS