Aturan Baru Pencairan JHT, Kebijakan Zalim Eksploitasi Para Pekerja

Evasatriyani

penulis

Minggu, 20 Februari 2022  /  1:32 pm

Evasatriyani, S.Pd, Praktisi Pendidikan. Foto: Ist.

Oleh: Evasatriyani, S.Pd

Praktisi Pendidikan

MALANG tak dapat ditolak. Getir yang dirasakan oleh para pekerja di negeri ini. Alih-alih terjamin upah untuk kesejahteraannya, justru kaum buruh kembali merasakan pahitnya kebijakan penguasa.

Jika sebelumnya ada UU Ciptaker, kali ini ada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Jaminan Hari Tua. Kebijakan ini menjadi sumber lain kerugian dan menambah daftar penderitaan kaum buruh. (kompas.com, 12/02/2022)

Dalam peraturan tersebut Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah menetapkan bahwa dana JHT baru dapat dicairkan saat pegawai berusia 56 tahun. Padahal, dalam PP Nomor 60 Tahun 2015 jo Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 memperbolehkan buruh yang terkena PHK dan mengundurkan diri untuk mengambil JHT, tanpa harus menunggu sampai memasuki usia 56 tahun.

Permenaker JHT: Derita Tambahan

Kebijakan tersebut jelas ditolak keras oleh masyarakat, terutama kaum buruh. Ketua umum pimpinan pusat Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Joy Jinto Ferianto mengatakan bahwa SPSI mendesak Kemenaker untuk segera mencabut aturan tersebut. Selain itu, sebuah kritik juga datang dari kalangan politikus.

Anggota Komisi IX DPR RI, Alifudin mengatakan bahwa peraturan JHT terbaru hanya akan menambah penderitaan dan menyakiti hati rakyat. Sebab, peraturan tersebut semakin mempersulit buruh untuk memperoleh hak mereka.

Dalam kenyataannya, dana JHT merupakan tabungan hari tua yang iurannya dipotong dari upah buruh dan disetorkan ke Jamsostek/ BPJS Ketenagakerjaan sebagai pengelolah dana buruh.

Bagi kaum buruh, JHT adalah bagian dari harta mereka yang diharapkan menjadi penopang saat terjadi kondisi yang tidak diinginkan. Seperti berhenti bekerja karena faktor di luar ketentuan, atau sebagai sumber keuangan ketika di usia tua.

Adanya kebijakan baru tersebut membuat para buruh menjadi khawatir. Terlebih dalam kondisi yang tidak menentu selama pandemi. Bagaimana bisa mereka harus menunggu mendapatkan uang JHT sampai mencapai usia 56 tahun?

Sementara itu, sangat bisa di tengah jalan para buruh ini terkena rasionalisasi, baik itu pensiun dini atau PHK. Dana yang notabenenya adalah hasil jerih payah mereka sendiri, kini harus ada syarat dan ketentuan jika ingin mencairkannya.

Hal tersebut didasarkan pada penjelasan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industri dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Kemenaker, Indah Anggoro Putri. Ia mengatakan bahwa peraturan JHT terbaru manfaatnya tetap dapat dinikmati peserta yang kena PHK, asalkan masa iurannya sudah mencapai 10 tahun. Adapun manfaat yang diberikan mencakup 30?ri JHT untuk kepemilikan rumah atau 10% untuk keperluan lain dalam bentuk tunai.  

Sementara itu, Sisa manfaatnya diambil pada usia 56 tahun. Bagi pekerja yang terkena PHK sebelum memasuki usia 56 tahun juga menerima program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dengan tanggungan uang tunai selama enam bulan beserta akses informasi pasar kerja termasuk pelatihan secara gratis.

Eksploitasi Para Pekerja

Dalam menanggapi kebijakan ini, pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, Hadi Subhan, menyarankan sebaiknya Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 itu diubah. Menurut Hadi, perubahan ini sama sekali tidak akan merugikan dan tidak ada beban dari penguasa. Jika tidak ada agenda tersembunyi atau vested inverest, tentu tidak ada masalah kalau peratuaran ini diubah.

Adanya aturan baru JHT, adalah gambaran nyata dari eksploitasi buruh dan lepasnya tanggung jawab kepemimpinan sistem kapitalisme. Dimana memposisikan swasta sebagai pengelola urusan rakyat. Adapun negara diposisikan hanya sebagai regulator dengan mindset kepemimpinan untung dan rugi. Negara tidak ingin menanggung jaminan masa tua rakyatnya.  

Baca Juga: Bulog Dikungkung Utang, Apa Kabar Ketahanan Pangan Negara

Alhasil, gaji buruh dipotong dengan alasan untuk jaminan masa tua. Padahal, gaji yang diperoleh buruh pun tidak seberapa. Namun, tetap dipotong agar dapat memberikan keuntungan pada pihak korporatokrasi.

Selanjutnya, ditahan dan dikelola oleh swasta, dalam hal ini BPJS. Inilah bukti keburukan sistem kapitalisme. Mengeksploitasi kaum pekerja untuk menikmati keuntungan keringat mereka saat muda dan abai menjamin kebutuhan saat mereka membutuhkan.

Jaminan Islam untuk Kesehjateraan Para Pekerja

Hal ini sangat bertolak belakang dengan perlindungan pekerja dalam sistem Islam. Islam memiliki pandangan yang khas terkait jaminan kepada seluruh rakyatnya, termasuk kaum buruh. Dalam sistem ekonomi Islam yang diterapkan negara, kebutuhan masyarakat dibagi menjadi dua kategori.

Pertama, kebutuhan pokok. Untuk kebutuhan pokok seperti, sandang, pangan, papan, negara memberi jaminan secara tidak langsung. Yaitu dengan membuka dan menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Sehingga, para laki-laki pencari nafkah tidak akan kekurangan pekerjaan dan mampu menghidupi kebutuhan keluarganya secara layak. Bahkan, alarm negara akan berbunyi jika ada satu orang laki-laki saja yang tidak memiliki pekerjaan.

Baca Juga: Belajar Cerdas dari Kasus Wadas

Dalam akad bekerja, baik pekerja maupun pemberi kerja harus memenuhi aqad ijarah. Pekerja tidak berhak dan tidak mendapatkan konpensasi, jika tidak melakukan pekerjaannya. Sebaliknya, pemberi kerja/ perusahaan wajib memperlakukan pekerja dengan baik. Jika mereka melakukan pengurangan hak atas pekerja, maka negara akan memberi sanksi kepada pemberi kerja.

Kedua, kebutuhan dasar publik. Kebutuhan dasar publik berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan wajib ditanggung secara mutlak penyelenggaraannya oleh negara. Sehingga semua rakyat, baik muda maupun tua, miskin atau pun kaya, muslim atau pun nonmuslim.

Mereka semua dapat merasakan pelayanan publik dengan gratis dan berkualitas. Dana pelayanan publik ini berasal dari Baitul Mal. Yaitu berasal dari pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan secara mandiri oleh negara. Tanpa campur tangan dan  intervensi asing sedikit pun.

Alhasil, para buruh dalam Islam akan mendapatkan jaminan yang layak. Baik terkait pekerjaannya, upahnya, kesejahteraannya di usia muda maupun di usia tua. Islam benar-benar menjamin pemenuhan hak setiap rakyatnya. (*)