Bulog Dikungkung Utang, Apa Kabar Ketahanan Pangan Negara
Evasatriyani, telisik indonesia
Minggu, 16 Januari 2022
0 dilihat
Evasatriyani, S.Pd, Tenaga Pendidik. Foto: Ist.
" Utang kepada pihak bank swasta apalagi asing telah menjadi pilihan jitu dalam menyelesaikan masalah keuangan negara "
Oleh: Evasatriyani, S.Pd
Tenaga Pendidik
BUNGA utang bermekaran saat negeri dilanda kesulitan ekonomi. Seperti telah menjadi solusi langganan. Utang kepada pihak bank swasta apalagi asing telah menjadi pilihan jitu dalam menyelesaikan masalah keuangan negara.
Atas nama kepentingan seluruh rakyat republik ini, maka negara siap mencengkramkan diri pada pihak pemberi utang. Seperti yang terjadi pada lembaga negara yang menangani ketersediaan kebutuhan pangan negara. Sebut saja Badan Urusan Logistik (Bulog).
Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso membeberkan bahwa total utang pokok yang dimiliki Bulog saat ini mencapai Rp 13 triliun. Utang tersebut digunakan untuk belanja penyediaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 1 juta ton.
Pria yang akrab disapa Buwas ini menambahkan, semakin utang tidak terbayar oleh Bulog ke bank, maka semakin banyak bunga yang ditanggung. Utang dan bunga tersebut makin menggunung karena pemerintah belum membayar utang ke Bulog sebesar Rp 4,5 triliun. Utang tersebut berkaitan dengan penyediaan bantuan beras PPKM dan bansos rastra. (kumparan.com, 29/12/2021).
Buwas menyebut, dalam melakukan penyerapan hasil petani dalam negeri, Bulog meminjam dana dari bank dengan pemberlakuan bunga. Dia pun berharap, ke depannya mekanisme dan regulasi penyediaan CBP ini bisa diubah.
Sumber Masalah
Berawal dari masuknya Indonesia dalam perjanjian pertanian/ Agrement of Agriculture yang dirumuskan WTO sejak 1995. Sehingga, menjadikan sektor pertanian dengan semua aspeknya semakin diliberalkan. (liputan6.com, 6/12/2013).
Indonesia sebagai anggota WTO sekaligus negara pengekor diharuskan membuka seluruh pasar pertanian. Mulai dari hulu hingga ke hilir bagi dunia internasioal. Implikasi lainnya dari Agrement of Agriculture (AoA) ini adalah dicabutnya kewenangan Bulong dalam mengatur pangan. Baik dalam menjaga stabilitas harga pangan, melakukan impor dan ekspor, maupun menentukan provisi subsidi.
Bulog tidak boleh memonopoli tata kelola pangan. Namun, Bulog harus berkompetisi dengan berbagai pihak termasuk para korporasi asing. Sehingga, Bulog tidak ada bedanya dengan lembaga korporasi pangan yang berorientasi untung rugi.
Baca Juga: Kesetrum Tarif Listrik, Kado Pahit Kebijakan Kapitalisme di Tahun 2022
Sementara itu, pemerintah hanya menjadi regulator dan fasilitator bagi kemudahan investor dan hegemoni korporasi. Alhasil, negara akan menjalankan roda pemerintahan layaknya perusahaan menjalankan bisnisnya. Lembaga-lembaga pemerintahan pun digiring menjadi bagian dari pelaku pasar.
Di samping itu, melaui prinsip enterpreneurial government, pemerintah diarahkan sebagai pengusaha. Mereka memutar modal (aset) yang dimilki dengan menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Sehingga, mereka mendapatkan keuntungan yang dapat digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan.
Bulog Berorientasi Bisnis!
Demikianlah keberadaan Bulog dalam pemerintahan neoliberal saat ini. Alih-alih melayani kebutuhan pangan rakyat yang mayoritas miskin. Justru Bulog berupaya membisniskan produk layanannya dengan berbagai bentuk.
Orientasinya diarahkan untuk mendapatkan sebesar-besarnya profit. Sehingga, tidak mengherankan jika Bulog mengalami jeratan utang yang cukup besar. Sebab, sebagai lembaga bisnis Bulog membutuhkan modal besar yang diperoleh melalui pinjaman/berutang.
Padahal, Bulog inilah yang diharapkan berperan penting untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Namun, saat ini justru dikendalikan oleh regulasi yang ada. Oleh karena itu, kita membutuhkan konsep pengelolaan pangan, termasuk badan pengelola pangan sahih yang berbeda dengan konsep neoliberal kapitalistik.
Solusi Jitu Pengaturan Islam
Semua itu hanya dapat diwujudkan dengan solusi Islam. politik pangan dalam Islam sangat berbeda dengan politik pangan dalam sistem kapitalisme neoliberal. Dalam pandangan Islam, politik pangan sejalan dengan politik dalam negeri dan luar negerinya.
Di dalam negeri, politik pangan dijalankan dalam rangka mengurusi kebutuhan pangan seluruh individu rakyat. Dalam hal ini, negara menjamin pemenuhannya. Baik untuk konsumsi harian maupun menjaga cadangan pangan untuk mitigasi bencana/paceklik.
Sedangkan untuk luar negeri, politik pangan diarahkan untuk mendukung fungsi dakwah dan jihad yang dijalankan oleh negara. Artinya, politik pangan tidaklah dijadikan untuk pertumbuhan ekonomi. Apalagi untuk mengejar surplus neraca perdagangan seperti halnya kapitalisme neoliberal.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan kemandirian politik pangan meniscayakan adanya negara dan pemerintahan yang independen. Terlepas dari semua tekanan global. Baik melalui perjanjian multilateral maupun keterikatan terhadap aturan yang dibuat lembaga internasional seperti WTO.
Badan urusan logistik (Bulog) dalam Islam merupakan unit pelaksana teknis fungsi negara. Ia berfungsi mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan pada setiap individu rakyat. Menyimpan cadangan pangan untuk kebutuhan pada kondisi bencana, kebutuhan jihad, maupun untuk menstabilkan harga di pasar.
Bulog harus dijalankan berlandaskan prinsip-prinsip Islam yang sahih. Sepenuhnya menjalankan fungsi pelayanan, menihilkan dari segala aspek komersial. Sebab, Bulog merupakan perpanjangan tangan pemerintah sebagai raain (pelayan) dan junnah (pelindung) bagi rakyat. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Imam (khalifah) adalah raain (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatya.” (HR. Muslim dan Ahmad).
Demikianlah pengaturan politik pangan dalam Islam. Anggarannya berbasis baitulmal dan bersifat mutlak. Baitulmal adalah institusi khusus pengelola semua harta yang diterima dan dikeluarkan negara sesuai dengan ketentuan syariat.
Baca Juga: Sang Akademisi yang Moralis
Baitulmal memiliki berbagai pemasukan seperti harta milik umum, jizyah, kharaj, dan sebagainya. Sehingga, menjadikan negara memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk pelaksanaan berbagai fungsi pentingnya.
Dalam hal ini, mewujudkan politik ketahanan dan kedaulatan pangan. Bersifat mutlak artinya ada atau tidak ada kas negara untuk pembiayaan, politik ketahanan dan kedaulatan pangan wajib diselenggarakan negara.
Bila dari pemasukan tetap/rutin seperti harta milik umum berupa barang tambang yang jumlahnya berlimpah pun tidak terpenuhi, maka Islam memiliki konsep antisipasi berupa pajak temporer/dharibah.
Pajak ini hanya dipungut dari orang-orang kaya saja. Jumlahnya pun dipungut sesuai kebutuhan anggaran mutlak. Namun, pengelolaan pangan seperti ini hanya dapat dijalankan dengan sistem ekonomi Islam. Di bawah sistem pemerintahan Islam inilah yang akan menerapkan seluruh aturan Islam, termasuk sistem ekonomi Islam. (*)