COVID-19, Ajaran Puasa yang Revolusioner

Haidir Muhari

Reporter

Kamis, 30 April 2020  /  9:40 am

Presidium Pusat KHM, David Efendi SIP MA. Foto: Ist.

KENDARI, TELISIK.ID - COVID-19 telah memaksa manusia melakukan tindakan agar terhidar dari paparan virus. Social distancing dan physical distancing adalah dua hal yang terus digalakkan untuk menghentikan laju penyebaran pandemi ini.

David Efendi S.IP MA, Presidium Pusat Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) dalam gelaran diskusi online oleh KHM Komite Kendari Rabu (29/04/2020), mengatakan, puasa dan pandemi punya kesamaan dan daya revolusi.

Kesamaan puasa dan pandemi COVID-19 menurut alumni pasca sarjana Hawaii University at Manoa Amerika Serikat itu bahwa puasa mengarantina manusia secara transendental, sehingga manusia bertindak atas dasar kesadaran ilahiah, tidak lagi atas keserakahan (hawa nafsu). Sementara pandemi COVID-19 mengarantina manusia dari aktivitas sosial yang berpotensi merusak.

Kini di beberapa kota telah menggelar pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Di Kendari bahkan Wali Kota Kendari Sulkarnain Kadir telah mengusulkan pembelakukan PSBB. Bupati Muna, LM Rusman Emba juga akan mengusulkan pemberlakukan PSBB di wilayahnya.

Baca juga: Bupati Muna Usul PSBB

"Puasa dan COVID-19 adalah double revolusi. Secara spiritual kita sedang puasa. Secara psikologi, fisik, dan sosial, kita membatasi beraktivitas karena pandemi," ujarnya.

Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini juga mengatakan, dalam sejarah, puasa adalah alat perlawanan seperti yang dilakukan Mahatma Gandhi dalam melawan kolonialisme.

Ketua Serikat Taman Pustaka itu menyampaikan bahwa ada tiga nilai revolusi puasa di tengah pandemi seperti saat ini. Pertama, bisa meningkatkan kesadaran. Menurutnya di masa-masa seperti sekarang ini kesadaran manusia lebih mudah dilakukan radikalisasi. Pandemi meniscayakan manusia untuk ramah kepada alam.

Pandemi COVID-19 telah memaksa manusia memilih lebih banyak berdiam di rumah, sehingga konsekuensi logisnya tidak terlalu banyak menghabiskan sumber daya, misalnya bahan bakar minyak. Termasuk juga memaksa banyak perusahaan menutup perusahaannya, maskapai penerbangan menutup penerbangannya.

"Kesadaran ekologi harus diperkuat dengan kembali kepada tuntunan dalam agama kita," sambungnya. Ia kemudian menyebutkan larangan merusak tatanan alam yang sudah demikian rapi ditata oleh Tuhan. Anjuran Nabi SAW untuk menanam bahkan sehari sebelum kiamat, seperti tertuang dalam hadis “sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma, maka apabila dia mampu menanamnya sebelum terjadinya kiamat maka hendaklah dia menanamnya” (HR. Imam Ahmad 3/183, 184, 191, Imam Ath-Thayalisi no.2068, Imam Bukhari di kitab Al-Adab Al-Mufrad no. 479 dan Ibnul Arabi di kitabnya Al-Mu’jam 1/21 dari hadits Hisyam bin Yazid dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu).

Baca juga: Dampak Ekonomi Pandemi Bisa Lebih Buruk, Perempuan Solusinya

Virolog dan ahli biologi memberikan peringatan bahwa rusaknya ekosistem hutan punya kontribusi yang besar dalam penyebaran penyakit zoonosis atau penyakit yang dibawa oleh binatang. Rusaknya habitat hidup binatang menyebabkan binatang bermigrasi hingga menjangkau habitat hidup manusia.

Menurutnya, manusia kerap tidak memperhitungkan akibat dari perbuatannya. Kesewenang-wenangan dalam mengeruk sumber daya alam, misalnya. Padahal dampak kerusakan alam tidak hanya untuk yang merusak alam itu saja, pun kepada manusia umumnya. Kita semua termasuk. Pandemi telah membuktikan itu.

"Selama ini manusia tidak banyak memperhitungkan dampak perbuatan terhadap makhluk di luar dirinya, terutama makhluk nanomikro, seperti virus COVID-19," ungkap pria kelahiran 23 Februari 1983 itu. Tindakan manusia terhubung langsung dengan rusaknya habitat atau ekosistem virus. Sehingga penting untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat merawat lingkungan.

Kedua, nilai revolusi dari pandemi dan puasa adalah kesalehan ekologi yang terejawantahkan dalam perilaku. Menurutnya perlu langkah-langkah konkret dalam usaha melestarikan lingkungan hidup, seperti memastikan sumber-sumber air tidak dirusak oleh tangan-tangan kita, termasuk juga tidak boros dalam menggunakan air, juga tidak boros dalam penggunaan listrik.

Baca juga: Tuntunan Salat Tarawih Lengkap

Nabi Muhammad SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari yang artinya "matikanlah lentera-lentera jika kalian mau tidur, tutup pintu (saat tidur), ikat wadah-wadah minuman, dan tutuplah makanan dan minum meskipun caranya hanya dengan meletakkan kayu di atasnya".

Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah juga mengharuskan umat islam untuk hemat dalam menggunakan air, bahkan dalam berwudhu sekalipun. Berikut arti hadisnya.

"Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu: bahwasanya Nabi SAW pernah lewat di hadapan Sa’ad, dan dia sedang berwudhu. Rasulullah SAW langsung berbicara: 'Kok berlebihan seperti ini wahai Sa’ad?' Sa’ad menjawab: 'Dalam wudu berlaku (larangan) berlebihan juga?' Rasul SAW bersabda: 'Ya, meskipun engkau (berwudhu) dengan air sungai yang mengalir!".

Ketiga, islam sebagai agama konservasi. Puasa adalah praktik konservasi sekaligus emansipasi/ advokasi lingkungan hidup. Menurutnya islam merupakan agama yang sangat konservasionis.

"Islam memberikan kesempatan banyak untuk melakukan refleksi. Islam adalah aktual, berkontribusi dalam penyelesaian masalah. Perlu refleksi sejauh mana manusia berkontribusi dalam penanganan masalah lingkungan," pesannya.

Bumi hingga hari ini memang merupakan tempat hidup satu-satunya. Jika bumi ini rusak maka kemana lagi kita akan tinggal? Bagaimana nasib  generasi manusia (anak cucu kita) di masa depan?

Ia menginformasikan bahwa persyarikatan Muhammadiyah yang didirikan oleh Kiyai Haji Ahmad Dahlan tahun 1912 telah menertibkan di antaranya fikih air dan fikih kebencanaan.

"Sementara ini Muhammadiyah sedang menggodok fikih agraria,"  tutupnya.

Reporter: Idi

Editor: Rani