Evaluasi Kritis Zakat Pengurang Pajak

Hermiyetti

Penulis

Kamis, 13 Mei 2021  /  3:14 pm

Dr. Hermiyetti, SE, M.Si, CSRA, Dosen Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Bakrie, Jakarta. Foto: Ist.

Oleh: Dr. Hermiyetti, SE, M.Si, CSRA

Dosen Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Bakrie, Jakarta

DALAM minggu kedua di bulan Mei 2021 ini, ada beberapa isu yang menarik menjadi pembicaraan publik, yaitu tentang zakat, dan pajak.

Persoalan zakat, karena jelang tibanya hari raya 1442 Hijrah, sedangkan tentang pajak berkaitan saat ini pemerintah menghitung pertumbuhan ekonomi dalam rentang triwulan I tahun 2021. Di tengah pandemi COVID-19 yang tak kunjung melandai, bahkan terjadi mutasi dalam bentuk baru.

Dasar Hukum Zakat

Dalam perspektif Islam, zakat adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat wajib dan syarat sahnya. Dan ini adalah salahsatu pilar untuk tegaknya syariat Islam.  

Dan kewajiban zakat ini, tertuang jelas dalam Al Quran, yaitu surat Al-Baqarah ayat 177, Al-Ma’idah ayat 55, At-Taubah ayat 5 dan 34-35, Al-Mu’minun ayat 1-4, An-Naml ayat 2-3, Luqman ayat 3-4, serta Fushshilat ayat 6-7.

Jadi dasar hukum keberadaanya, adalah kewajiban yang diamanatkan dalam kitab suci Al Quran yang berdimensi ilahiah, yang hukumnya adalah mandatori bagi setiap pemeluk Islam.

Dasar Hukum Pajak

Dasar hukum perpajakan di Indonesia, adalah mengacu pada UUD 1945 di pasal 23A yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.

Sedangkan untuk implementasinya adalah merujuk undang-undang yang mengaturnya, dalam tatacara penyelenggaraan perpajakan.

Adapun yang menjadi landasan hukum pemungutan pajak di Indonesia, antara lain ada 8 (delapan) undang-undang yang jadi landasan hukumnya. pemungutan pajak di Indonesia, yaitu:

- UU No. 16/2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan

- UU No. 17/2000 Tentang Pajak Penghasilan

- UU No. 12/1994 Tentang pajak Bumi dan Bangunan

- UU No. 19/2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa

- UU No. 20/2000 Tentang Bea Perolehan hak atas Tanah dan bangunan

- UU No. 14/2002 Tentang Pengadilan Pajak

- UU No. 10/2020 Tentang Bea Materai

Baca juga: Keterlibatan Perempuan dalam Tindak Terorisme di Indonesia

Zakat Sebagai Pengurang Kewajiban Pajak

Zakat berasal dari kata "zaka" yang berarti suci, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang. Dinamakan zakat karena, karena didalamnya terkandung harapan untuk memperoleh keberkahan, membersihkan jiwa, dan memupuknya dengan berbagai kebaikan (Fikih Sunnah, Sayyid Sabiq:5).

Adapun pengertian tumbuh, berkembang, subur dapat dimaknai bahwa mengeluarkan zakat sebagai sebab adanya pertumbuhan dan perkembangan harta.

Dan dampak bagi yang memberikan zakat tersebut adalah memperoleh pahala yang meningkat untuk bekal kelak di akhirat.

Dalam terminologi zakat, yang wajib ditunaikan oleh umat muslim, ada 2 jenis, yaitu:

1. Zakat Fitrah: Zakat yang wajib ditunaikan umat Muslim menjelang hari raya Idul Fitri pada bulan Ramadan. Dikutip dari Baznas.go.id, zakat fitrah dapat ditunaikan dalam bentuk beras atau makanan pokok seberat 2,5 kg atau 3,5 liter per jiwa

Namun, beras atau makanan pokok tersebut dapat diganti dalam bentuk uang senilai 2,5 kg atau 3,5 liter beras. Adapun nominal zakat fitrah dalam bentuk uang, menyesuaikan dengan harga beras yang dikonsumsi.

Artinya, besaran zakat fitrah antar daerah bisa berbeda-beda karena mengikuti standar harga yang berlaku.

2. Zakat Mal: Nama lainnya adalah zakat harta, meliputi pendapatan dan jasa, hasil pertanian, perdagangan, hasil ternak, emas dan perak. Penghitungan pengeluaran zakat mal berbeda sesuai dengan jenis penghasilan tersebut. Zakat mal ini merupakan harta yang dimiliki oleh pribadi atau badan usaha.

Tentu yang dimaksud disini, zakat yang dapat dijadikan sebagai pengurang kewajiban pajak seseorang adalah zakat mal.

Baca juga: Redistribusi Alami Ekonomi Saat Mudik

Kebijakan Tidak Tepat

Seperti kita ketahui, bahwasannya pemerintah dalam rangka mendorong umat muslim mau membayar zakat dan agar tidak terjadi kewajiban ganda maka bagi pembayar zakat dapat mengurangi kewajiban membayar pajak penghasilannya.

Sebagaimana diatur dalam UU No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dan dasar hukumnya terdapat pada pasal 22 dan 23 ayat 1-2.

Adapun ketentuan di pasal 22 :berbunyi “zakat yang dibayarkan oleh muzakki (wajib zakat) kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak (Pasal 22).

Sedangkan di pasal 23 ; berbunyi Baznas atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzakki dan bukti tersebut bisa digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak).”

Selain itu, aturan zakat pengurang pajak ditegaskan juga dalam PP No. 60 Tahun 2010 menindaklanjuti Syarat zakat yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pajak penghasilan berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008.

Syarat tersebut antara lain zakat yang bersifat wajib dan pembayaran zakat yang dibayarkan melalui badan atau lembaga penerima zakat yang dibentuk dan disahkan pemerintah.

Juga penerapannya diatur dalam peraturan DJP No. PER-06/PJ/2011 mengenai Pelaksanaan Pembayaran dan pembuatan bukti pembayaran atas zakat.

Jika kita melihat dari dasar hukum keberadaanya, seperti yang di uraikan di atas, baik zakat, maupun pajak, sangat berbeda dasar kewajibannya dan dampak yang akan di terima oleh pemberinya.

Zakat adalah sebuah kewajiban bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat wajib dan syarat sahnya. Dan ini adalah salahsatu pilar untuk tegaknya syariat Islam. Dan atas semua zakat yang telah diberikan yang bersangkutan akan mendapat ganjaran pahala dari sang Pencipta sebagai bekal kelak di akhirat

Artinya, ini sebuah kewajiban yang melekat sebagai makhluk Tuhan yang memeluk agama Islam  

Untuk itu menurut penulis, kebijakan pemerintah bahwa zakat dapat mengurangi kewajiban pajak seseorang “tidaklah tepat”.

Bagaimana kita bisa memaknai, bahwa ganjaran pahala yang diberikan oleh Allah SWT sebagai otoritas tunggal yang memutuskan itu, dapat di konversikan dengan kewajiban seseorang terhadap negaranya sebagai konsekuensi sebagai warga negara?

Sebagai seorang umat muslim, tentu akan terus berjuang dan berusaha untuk menjadi pemeluk Islam yang kaffah. Dan seseorang itu dianggap kaffah setelah merealisasikan syariat islam di dalam kehidupan.

Hal ini dapat kita lihat dengan merujuk Surat Al-Baqarah ayat 208 sebagai berikut,

Artinya, “Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam. Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian,”.

Sehingga menurut Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam memaknai ayat tersebut, bahwa, “Wahai orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam seluruhnya, bukan sebagian-sebagian, atau berdamailah, dan beramallah berdasakan hukum yang sesuai.

Karena itu dalam menjalankan rukun Islam yang di dalam nya ada ketentuan tentang kewajiban zakat, adalah suatu kewajiban, yang tidak perlu terlebih dahulu diberikan insentif yang sifatnya duniawi. (*)

TOPICS