Menjadi Tuan di Negeri Sendiri Versus Naturalisasi Dokter Asing

Zaenal Abidin, telisik indonesia
Sabtu, 15 Juni 2024
0 dilihat
Menjadi Tuan di Negeri Sendiri Versus Naturalisasi Dokter Asing
Zaenal Abidin, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia periode 2012-2015. Foto: Ist.

" Naturalisasi dokter asing bukan untuk bangsa merdeka atau sedang berjuang untuk merdeka. Karena itu, ketika bangsa Indonesia masih berjuang untuk merdeka tidak ditemukan adanya wacana naturalisasi dokter asing "

Oleh: Zaenal Abidin

Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia periode 2012-2015

BEBERAPA waktu lalu menteri kesehatan (menkes) melontarkan keinginannya untuk menaturalisasi dokter asing. Menurutnya, kehadiran dokter asing bisa membuat Indonesia naik kelas, seperti yang terjadi di timnas sepakbola Indonesia. Menkes juga mengatakan bahwa ini merupakan langkah yang tepat untuk menyelesaikan masalah kesehatan di Indonesia.

Akibat dari wacana menkes tersebut sehingga muncul berbagai respon. Sebagian warga tidak keberatan dengan wacana menkes tersebut dicoba. Namun, sebagian besar lainnya mengatakan pelayanan kesehatan tidak boleh coba-coba. Pelayanan kesehatan tidak sesederhana permainan sepak bola.

Sebagai negara bangsa, pemerintah memang diamanatkan untuk memajukan kesejahteraan umum, salah satunya adalah menyehatkan rakyat. Dan untuk menyehatkan rakyat pemerintah pun diamanatkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pemerintah wajib menyekolahkan rakyat agak kelak ada yang menjadi dokter, dokter gigi, perawat, bidan, apoteker, ahli kesehatan masyarakat dan sebagainya untuk melayani kesehatan rakyat. Dan, agar bangsa Indonesia tidak menggantungkan pelayanan kesehatannya kepada bangsa-bangsa lain.

Naturalisasi Dokter Asing

Salah satu respon atas wacana naturalisasi dokter asing oleh menkes adalah webinar yang diselenggarakan Forkom IDI, 2 Juni 2024. Pada webinar tersebut penulis diminta untuk menyampaikan topik, “Naturalisasi Dokter Asing untuk Siapa?”

Berhubung topik yang dimintakan berupa pertanyaan maka penulis pun menjawab bahwa naturalisasi dokter asing itu untuk bangsa yang lemah tak berdaya. Bangsa yang tidak mempunyai cita-cita dan harapan untuk merdeka. Semacam bangsa yang menganut ideologi ayam sayur.

Naturalisasi dokter asing bukan untuk bangsa merdeka atau sedang berjuang untuk merdeka. Karena itu, ketika bangsa Indonesia masih berjuang untuk merdeka tidak ditemukan adanya wacana naturalisasi dokter asing.

Tidak dari pemerintah Belanda (yang menjajah) dan tidak pula dari penduduk pribumi yang sedang berjuang untuk merdeka. Atau setidaknya penulis belum pernah membaca dan mendengar wacana tersebut.

Bila wacana naturalisasi dokter asing dimaksudkan untuk menyehatkan rakyat berbangsa Indonesia tidak perlu repot-repot mendidik dokter berbangsa Indonesia, cukup dengan mendatangkan dokter asing, tentu keliru. Sebab, ikhtiar untuk mendidik dan menyediakan dokter berbangsa Indonesia adalah soal martabat dan kehormatan Indonesia sebagai negara bangsa.

Bahwa hingga kini menkes masih kesulitan mencapai target kesehatan RPJMN (katadata.co.id, 5 Juni 2023), bukan berarti beliau perlu membangun wacana jalan pintas, menaturalisasi dokter asing. Lagi pula menaturalisasi dokter asing belum tentu dapat membantu menyelesaikan sembilan dari 10 indikator kesehatan yang dikabarkan masih jauh dari target itu.

Selain soal target kesehatan RPJMN, juga masih ada beberapa masalah kita. Sebut saja maladistribusi dokter yang juga merupakan tanggung jawab pemerintah. Pertanyaannya, apakah dengan menaturalisasi dokter asing masalah maladistribusi dokter dapat teratasi? Apakah dokter yang dinaturalisasi sudah pasti bersedia ditempatkan di daerah yang belum ada dokternya? Atau justru lebih memilih mengisi rumah sakit di perkotaan yang tumbuh bagai cendawan di musim hujan?

Masuknya dokter asing ke Indonesia sebetulnya bukanlah barang baru. Dunia kedokteran di Indonesia sudah lama mengundang dokter asing untuk keperluan alih ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di rumah sakit pendidikan. Dokter yang diundang untuk alih iptek adalah dokter yang keahliannya sangat dibutuhkan, sedang di Indonesia belum ada dokter yang memiliki keahlian semacam itu.

Baca Juga: Tentang Narasumber yang "Namanya Dirahasiakan"

Undangan untuk alih iptek diajukan oleh kementerian kesehatan, organisasi profesi, dan institusi pendidikan. Dokter asing tidak datang sendiri. Proses alih iptek pun diatur sedemikian rupa sehingga dokter berbangsa Indonesia dapat menjadi mahir dengan program tersebut.  

Dan, ketika dokter Indonesia telah mahir maka kepada dokter asing tersebut diberikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, kemudian dipersilakan untuk kembali ke negara asalnya. Kegiatan alih iptek berikutnya akan dilanjutkan (menjadi tanggung jawab) dokter yang telah mengikuti program alih iptek.

Terkait masuknya dokter (tenaga kerja asing) ke Indonesia memang sulit dihindari. Apalagi dokter Indonesia pun cukup banyak yang berpraktik di luar negeri. Karena itu, sepanjang keahliannya dokter asing itu dibutuhkan atau sepanjang untuk mengisi daerah yang tidak ada dokternya, sementara tidak ada dokter Indonesia lagi yang dapat ditempatkan, tentu tidak jadi masalah.  

Namun demikian, pemerintah perlu mengaturnya dengan baik. Mengatur jangka waktu penempatannya, insentif yang akan diterima, menguji kompetensinya, menguji kesesuaian kompetensinya dengan kebutuhan kesehatan rakyat Indonesia, dan seterusnya. Pemerintah juga sangat perlu menguji kemampuan berbahasa Indonesia dokter yang akan masuk ke Indonesia.

Hal penting lain yang perlu diketahui, apakah dokter bersangkutan tidak bermasalah secara etik, disiplin, dan hukum di negara asalnya. Uji dan seleksi ketat semacam ini bukanlah hal berlebihan. Sebab, pemerintah negara lain pun melakukan uji dan seleksi yang sangat ketat terhadap semua dokter yang akan bekerja ke negaranya.  

Menjadi Tuan di Negeri Sendiri

Menjadi tuan rumah di negeri sendiri boleh saja bermakna kebalikan dari wacana naturalisasi dokter asing. Dalam buku “Menjadi Tuan di Negeri Sendiri, Pergulatan Kerakyatan, Kemandirian, dan Kemartabatan” yang ditulis Adi Sasono, terasa sangat kuat dan bertenaga untuk mewujudkan bangsa Indonesia  yang mandiri, berdaya, berdaulat, dan merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Kekuatannya semakin bertambah bila bacaan dilanjutkan ke buku, ”Rakyat Bangkit Bangun Martabat.”

Seperti diketahui, Adi Sasono adalah seorang aktivis. Beliau pernah menjadi Ketua Dewan Mahasiswa ITB (1965-1966), Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bandung, Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Bandung, pendiri Lembaga Studi Pembangunan (LSP) dan Ketua Umum ICMI (2000-2005). Selain sebagai aktivis, Almarhum juga pernah menjadi Menteri Koperasi dan Pembinan Pengusaha Kecil Menengah pada Kabinet Reformasi era Presiden B.J. Habibie.  

Menurut Adi Sasono, bila kita ingin mempercepat proses pembebasan bangsa dari kemiskinan dan ketergantungan dari bangsa asing maka harus terus-menerus menggelorakan semangat kerakyatan sebagai landasan kehidupan politik dan ekonomi nasional. Kita harus punya semangat membangun kemandirian dan percaya bahwa bangsa Indonesia mampu membangun kemandiriannya.

Baca Juga: Tandus Nilai Agama, Tindak Asusila Marak di Kampus

Kita tidak boleh meneruskan situasi ketergantungan kepada asing secara berkelanjutan. Kita harus menjadi bangsa yang mandiri. Kemandirian adalah dasar dari kehormatan dan martabat bangsa. Tanpa kemandirian, posisi bangsa akan selalu lemah dalam dunia yang terbuka dan sarat persaingan. Bangsa yang tidak mandiri akan selalu bergantung kepada sumber daya asing dan mata uang asing. Juga akan selalu menjadi obyek belas kasih bangsa asing dan mengemis utang setiap tahunnya.

Karena itu, kita harus bertekad membangun kekuatan bangsa di semua bidang dan mengatakan tidak kepada kelemahan dan ketergantungan kepada bangsa asing. Dengan demikian, Indonesia dapat ikut memberi sumbangsih bagi terwujudnya tata dunia baru yang damai dan berkeadilan, serta menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Catatan Akhir

Adi Sasono yang pernah menjadi aktivis mahasiswa Fakultas Teknik ITB ini terasa sangat kuat menggelorakan perlunya pembebasan bangsa Indonesia dari kemiskinan dan ketergantungan kepada asing agar kelak mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Tidak ada martabat dan kehormatan bagi bangsa yang hanya menunggu belas kasih pihak asing dan mengemis utang setiap tahunnya.

Bagi Adi Sasono, tidak ada martabat dan kehormatan bagi bangsa yang bergantung kepada sumber daya asing. Cukup berbeda dengan rekan sealmamaternya yang kini menjadi menteri kesehatan, Budi Gunardi Sadikin. Budi Gunardi Sadikin yang mantan Dirut Bank Mandiri dan Dirut PT Inalum justru lebih memilih mewacanakan naturalisasi dokter asing untuk menyehatkan rakyat Indonesia.

Mendatangkan dokter asing ke Indonesia sebetulnya bukan juga barang haram. Sebab, Bung Karno sendiri dalam konsep berdikarinya mengatakan berdikari tidak pernah dimaksudkan agar bangsa Indonesia anti segala sesuatu yang berbau asing. Bukan pula berarti anti modal asing, anti ahli-ahli asing, serta anti ilmu dan teknologi dari asing. Tapi, ketika suatu bangsa mau membantu kita namun ia mengharuskan kita mengikuti keinginan politiknya  kemudian bergantung kepadanya maka kita harus tegas menolaknya.

Karena itu, terkait dengan kedatangan dokter asing ini tampaknya kita perlu kembali kepada konsep kita sebagai negara bangsa. Bahwa segala sesuatu bila menyangkut kemaslahatan umum seperti pemenuhan hak kesehatan rakyat, hendaknya diputuskan melalui permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan sampai terbentuknya suatu kontrak sosial yang terbuka, setara, dan adil.  

Dalam hal permusyawaratan, semua orang yang berkepentingan harus dilibatkan, tak terkecuali perwakilan dokter Indonesia. Inilah konsekuensi dari sikap dan kesepakatan kita memilih negara bangsa. Situasi ini tentu menjadi lain seandainya kita bersepakat memilih konsep negara kerjaan. Di negara kerajaan kebijakan dapat ditentukan secara sepihak sepanjang dapat menjamin kejayaan seorang raja dan dinastinya. Wallahu ‘alam bissawwab. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga