Redistribusi Alami Ekonomi Saat Mudik

Hermiyetti, telisik indonesia
Sabtu, 08 Mei 2021
0 dilihat
Redistribusi Alami Ekonomi Saat Mudik
Dosen Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Bakrie, Jakarta

" Indikator yang dapat dijadikan barometer, diantaranya adalah besarnya peredaran uang saat musim mudik jelang lebaran Idul Fitri. "

Oleh: Dr. Hermiyetti, SE, M.Si, CSRA

Dosen Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Bakrie, Jakarta

PERSOALAN budaya mudik jelang Idul Fitri di Indonesia, pada dasarnya bukan hanya kegiatan ritual sosial atau fenomena sosial keagamaan semata, juga bukan sekedar napak tilas kenangan dan bernostalgia dalam ranah primordial saja, tetapi budaya mudik juga berpotensi meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat daerah.

Indikator yang dapat dijadikan barometer, diantaranya adalah besarnya peredaran uang saat musim mudik jelang lebaran Idul Fitri.

Jadi dapat kita katakan di sini, bahwa budaya mudik dapat berfungsi juga sebagai sebuah instrumen redistribusi alami ekonomi, dengan bergeraknya bisnis sektor riil barang dan jasa dari kota ke daerah-daerah sebagai dampak dari velocity of money atau kecepatan perputaran uang yang relatif deras dan besar.

Dimana menurut release dari Bank Indonesia, yang melakukan penyediaan uang tunai sebagai kebutuhan masyarakat, yang dari tahun ke tahun selalu meningkat, saat mudik lebaran.

Pada tahun 2016, BI menyiapkan uang tunai sebesar Rp 146 triliun, dan tahun 2017 sebesar, Rp 167 triliun, tahun 2018 sebesar Rp 191,3 triliun, tahun 2019 sebesar Rp 217,1 triliun, dan tahun 2020 sebesar 109,20 triliun, dan tahun 2021 sebesar sebesar Rp 152,14 triliun.

Namun demikian ada beberapa hal yang dapat membuat terjadinya kebocoran distribusi alami ekonomi saat mudik musim lebaran dari kota ke desa, antara lain adalah karakter pemudik yang membeli dan membawa barang-barang elektronik yang dibeli di kota, misal handphone dan barang-barang lainnya, sehingga ada sejumlah uang yang distribusinya tetap tinggal di kota.

Baca juga: Ramadan Menakar Keislaman Kita

Galau Antara Kerinduan dengan Larangan

Budaya mudik sebetulnya baru mulai ramai dilakukan sekitar tahun 70-an, sebagai ekses dari konsep pembangunan era Orde Baru, yang pembangunannya lebih terpusat di ibukota Jakarta, yang tidak hanya sebagai Ibu kota, tapi juga merangkap sebagai kota administrasi, perdagangan dan industri.

Akibatnya terjadi gerak urbainsasi urbanisasi masyarkat desa ke ibu kota Jakarta dan sekitarnya.

Ketika pembangunan infrastruktur jalan membaik, dan jumlah moda transportasi darat, seperti perusahaan bus yang meningkat jumlahnya, maka sejak itu mudik jelang perayaan lebaran Idul Fitri, menjadi kebiasaan dan budaya baru.

Selanjutnya dalam perkembangannya, mudik menjadi semacam kewajiban kultural bagi para perantau. Karena kemudian dalam perspektif sosial di daerah, berkembang opini untuk para perantau yang tidak pulang dengan kemunginan ada dua asumsi penyebabnya menurut saudara dan kerabat di kampungnya.

Asumsi pertama, jika sang perantau tidak pulang mudik, ada yang beranggapan bahwa sang perantau tersebut belum sukses, sehingga ada rasa malu jika kembali ke daerah asal dengan situasi dan kondisi sosial yang dialami tetap seperti semula.

Asumsi kedua, ada yang beranggapan bahwa sang perantau tersebut, tidak pulang mudik, karena memang rendah rasa perhatian dan kepeduliannya pada daerah kampung halamannya, bahkan mungkin pada keluarga dan kerabatnya.

Dan ini dianggap sebuah konsekuensi logis dari keputusan sang perantau untuk meninggalkan daerah kelahirannya dalam rangka meningkatkan taraf hidup yang ingin dicapainya.

Karena itu, jika sang perantau tidak sedang berada pada dua posisi asumsi tersebut di atas, maka mereka meyakini bahwa sang perantau memiliki keinginan dan semangat untuk mudik pasti akan diusahakannya.

Dengan nuansa dan suasana seperti itu, di tambah memang sejatinya manusia itu memiliki kerinduan untuk selalu berkumpul dengan keluarga dan kerabatnya, maka tradisi mudik jelang perayaan lebaran idul fitri, seolah sudah menjadi suatu keharusan.

Ketika sang perantau berada pada rasa yang demikian, maka tidak jarang kita kesulitan untuk menjelaskan secara rasional tentang kemungkinan kesulitan perjuangan dan kelelahan fisik yang akan mereka hadapi saat pulang melalui jalan darat sangatlah berat, dan itu pasti tak dianggap.

Bahkan, apabila sudah muncul berita di berbagai media, tentang berita masyarakat yang pulang mudik, hal itu dapat mengganggu konsentrasi dan motivasi dalam berkerja, bagi mereka yang belum pulang, tetapi sudah punya rencana untuk pulang mudik.

Untuk itu tidak mengherankan, jika di larang mereka semakin tertantang, jika dihadang mereka makin meningkatkan kecerdikannya untuk mencari jalan alternatif untuk tetap bisa pulang mudik.

Dan tentu mereka tak minat untuk membahas wacana lebih lanjut tentang upaya pemerintah mendekonstruksi istilah mudik dengan istilah pulang kampung

Baca juga: Kisah Tentang Turunnya Ruh

Mudik Pemicu Gerak Ekonomi Daerah

Dalam situasi normal jumlah penduduk yang melakukan aktivitas mudik sangatlah besar. Ambil saja contoh misalnya saat mudik lebaran diketahui 2018 mencapai 19,5 juta orang, dan di tahun 2019 meningkat mencapai sekitar 23 juta orang, dan sekitar 14,9 juta orang berasal dari Jabodetabek yang bergerak dari ibu kota Jakarta, menuju daerah-daerah lainnya.

Besarnya jumlah penduduk yang ikut pulang mudik ke daerah masing-masing, pada dasarnya adalah hal yang sangat positif sebagai pendorong gerak laju perekonomian nasional melalui meningkat tajamnya konsumsi dari para pemudik.

Biasanya ketika sang perantau telah memutuskan mudik, maka hampir dapat dipastikan, meski relatif jumlahnya, mereka akan membawa uang yang dapat dibelanjakan dan didistribusikan untuk keluarga dan kerabatnya di daerah.

Dampak yang terjadi ketika distribusi uang yang mengalir dari para perantau yang mudik ke daerah, dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi daerah, regional dan nasional tentunya.

Dengan demikian dapat kita katakan peristiwa mudik lebaran, tidak hanya ritual sosial kultural tapi juga dapat menjadi instrumen distribusi alami ekonomi kerakyatan.

Hanya saja saat pandemi COVID-19 ini masih belum menunjukkan tanda melandai, maka larangan mudik yang di putuskan pemerintah kendati dapat kita pahami sebagai suatu strategi untuk memutuskan mata rantai penularan pandemi tersebut, tetapi juga terjadi pelemahan terhadap terjadinya redistribusi alami ekonomi dalam momentum mudik perayaan lebaran Idul Fitri ini.

Tetapi yang perlu kita pahami bersama, bahwa secara filosofis, kegiatan mudik merupakan momentum memupuk kesadaran diri bahwa dalam panjangnya perjalanan kehidupan ini, pada ujung tetap akan kembali ke asalnya.

Yang kalau dalam pribahasa minang dikatakan, bahwa “Dek rajin pandai nan datang, dek malu buruak tasuo, hari pagi mananti patang, insyaflah diri dengan tubuah”.

Atau dalam terjemahan bebasnya dikatakan bahwa “Ingatlah didalam hidup, muda akan menjadi tua, tua akan kembali kepada asalnya yakni kembali kepada tanah”.

Karena itu secara filosofis peristiwa ritual dan kultural, mudik lebaran mampu merekatkan kekerabatan dan persaudaraan di tanah kelahiran. (*)

TAG:
Artikel Terkait
Baca Juga