Fadli Zon Beberkan 5 Alasan RUU HIP Harus Ditarik
Reporter Jakarta
Selasa, 16 Juni 2020 / 11:45 am
JAKARTA, TELISIK.ID - Draf Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) terus menuai penolakan bahkan ada yang meminta RUU tersebut sebaiknya segera ditarik.
Anggota DPR RI, Fadli Zon mengatakan, setiap undang-undang tak boleh berpretensi menjadi undang-undang dasar. Namun, fatsoen ketatanegaraan itu telah dilanggar oleh RUU HIP yang kini tengah mengundang penolakan di tengah masyarakat.
"Pretensi menjadi undang-undang dasar inilah, menurut saya, menjadi alasan pertama kenapa RUU HIP perlu segera ditarik, dan bukan hanya butuh direvisi," kata Fadli Zon melalui keterangan tertulisnya yang diterima Telisik.id Selasa (16/6/2020).
"Kalau kita baca naskah akademik RUU HIP, rumusan identifikasi masalah semacam itu sebenarnya lebih tepat diajukan saat kita hendak merumuskan undang-undang dasar, bukannya undang-undang," ungkap mantan Wakil Ketua DPR-RI ini.
Alasan kedua, lanjut Fadli, Pancasila adalah dasar negara, sumber dari segala sumber hukum, yang mestinya jadi acuan dalam setiap regulasi atau undang-undang. Ironisnya, RUU HIP ini malah ingin menjadikan Pancasila sebagai undang-undang itu sendiri.
Baca juga: Tips Jadi Pelindung Keluarga dengan Tetap Aman COVID-19 dan Produktif
"Standar nilai kok mau dijadikan produk yang bisa dinilai? Menurut saya, ada kekacauan logika disini," tambahnya.
Menurutnya, Pancasila tak boleh diatur oleh undang-undang, karena mestinya seluruh produk hukum dan perundang-undangan menjadi implementasi dari Pancasila.
Satu-satunya undang-undang yang bisa mengatur institusionalisasi Pancasila hanyalah Undang-Undang Dasar 1945, dan bukan undang-undang di bawahnya, termasuk bukan juga oleh ‘omnibus law’. Kalau diteruskan, ini akan melahirkan kerancuan yang fatal dalam bidang ketatanegaraan.
Alasan ketiga, RUU HIP gagal memisahkan wacana dari norma. Pancasila, dengan rumusan kelima silanya, adalah norma. Rumusannya terjaga di dalam naskah Pembukaan UUD 1945.
Sementara, istilah Trisila dan Ekasila, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 7 RUU HIP, itu hanyalah wacana yang muncul saat gagasan Pancasila pertama kali dipidatokan Bung Karno tanggal 1 Juni 1945.
Istilah itu sama sekali tak pernah jadi norma. Jadi, memasukkan wacana yang sama sekali tidak memiliki yurisprudensi ke dalam sebuah naskah rancangan undang-undang, seolah itu adalah sebuah norma, jelas menunjukkan adanya cacat materil dalam penyusunan RUU HIP ini.
Baca juga: Tahapan Dilanjutkan, Bawaslu Mulai Pantau Kegiatan Bacakada
Wacana Trisila dan Ekasila itu sama sekali tak pernah menjadi norma dalam sistem hukum dan ketatanegaraan di Indonesia.
"Bahkan, meskipun istilah Pancasila berasal dari Bung Karno, dan kita mengakui 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, namun jangan lupa, yang kemudian dijadikan norma dalam sistem hukum dan ketatanegaraan kita adalah rumusan sila-sila yang disahkan pada 18 Agustus 1945, bukan rumusan sila-sila yang pertama kali dipidatokan. Ini harus sama-sama kita pahami. Apalagi teks Pancasila itu lahir dari diskursus pikiran sejumlah tokoh khususnya anggota BPUPKI 1945," ujarnya.
Alasan keempat kata Fadli, selain cacat materil, RUU ini juga mengandung cacat formil. RUU ini berpretensi menjadi omnibus law, padahal kajian akademiknya tak dimaksudkan demikian.
"Kalau kita baca pasal-pasalnya, RUU ini ingin mengatur berbagai isu, mulai dari soal demokrasi, ekspor, impor, telekomunikasi, pers, media, riset, hingga soal teknologi. Isinya jadi kemana-mana," urainya.
Kelihatannya, lanjut Fadli, latar belakang RUU ini sebenarnya hanya untuk memperkuat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) saja. Padahal lembaga BPIP tak terlalu diperlukan, hanya menambah beban negara. Pernyataan pimpinannya sering membuat kegaduhan dan berpotensi memecah belah bangsa.
Alasan kelima, RUU ini tak punya urgensi sama sekali. Indonesia saat ini sedang menghadapi bencana pandemi COVID-19.
Baca juga: Hilang Misterius Sepekan, Basarnas Hentikan Pencarian Nelayan Buton
"Namun, dengan munculnya RUU ini, kita kembali bertengkar soal ideologi, kotak pandora yang sebenarnya secara formil sudah kita tutup sejak lama. Jadi, alih-alih mempersatukan, RUU ini malah bisa membuka luka-luka lama sejarah dan akhirnya memecah belah. Sebagian masyarakat curiga RUU ini digunakan untuk menyusupkan kepentingan kaum komunis atau PKI yang sudah dilarang. Tak dicantumkannya TAP MPRS No. XXV/1966 tentang Pembubaran PKI sebagai konsideran, malah makin memupuk penolakan sebagian masyarakat," papar alumnus Universitas Indonesia ini.
Apalagi lanjut Fadli, RUU ini juga memerintahkan pembentukan kementerian atau badan baru di luar Badan Haluan Pembinaan Ideologi Pancasila sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 35 dan 38, setidaknya akan ada tiga badan atau kementerian baru yang akan diperintahkan dibentuk oleh undang-undang ini.
"Untuk apa? Negara saat ini sedang susah. Anggaran lembaga negara yang sudah ada saja kini banyak dipotong untuk menutup defisit dan mengatasi pandemi, ini kok malah mau membentuk lembaga baru, lebih dari dua lagi. RUU ini jelas tak penting dan tidak memiliki sensitivitas krisis," imbuhnya.
"Dengan lima alasan tadi, saya kira pembahasan mengenai RUU HIP tak perlu lagi diteruskan. Jika ada yang ingin memperkuat pelembagaan BPIP, sebaiknya dibuat saja undang-undang tentang BPIP, jangan malah bikin undang-undang mengenai Pancasila," tegasnya.
Reporter: Marwan Azis
Editor: Haerani Hambali