Generasi Z dalam Bayang-Bayang Krisis Perempat Usia
Penulis
Minggu, 30 Mei 2021 / 2:35 pm
Oleh: Neldi Darmian L
Mahasiswa Akuntansi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
GENERASI Z hidup dalam bayang-bayang krisis perempat usia. Krisis yang secara psikologis berdampak pada emosional, keraguan akan kehidupan di masa depan ialah salah satunya. Hal ini menjadi ikonis generasi Z saat ini, sebagai fase pertumbuhan dan perkembangan karakternya.
Pada beberapa penelitian menjelaskan bahwa generasi Z adalah generasi yang lahir pada kisaran tahun 1998-2010.
Perkembangan antar generasi memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sama halnya dengan generasi Z atau generasi internet, generasi yang lahir di tengah maju dan pesatnya perkembangan lajur teknologi dan informasi.
Dengan karakteristik dan fase pertumbuhan yang berbeda secara historis, menjadikan generasi ini memiliki keunikan secara perilaku atau habits dan juga memiliki tantangan masa depan yang juga berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Generasi X dan generasi Y atau milenial.
Berikut tantangan yang akan coba saya sadurkan di bawah ini, salah satunya adalah tentang krisis perempat usia.
Krisis perempat usia atau dalam bahasa kerennya quarter life crisis merupakan sebuah fase transisi yang dominan dialami oleh generasi yang memasuki usia 20 tahun sampai usia 35 tahun, generasi Z hari ini termasuk di dalamnya.
Fase krisis perempat usia merupakan sebuah fase peralihan, dan dalam buku yang tulis oleh Fahd Pahdepie (2019) dijelaskan bahwa fase ini merupakan fase berat, yang jika seseorang berhasil melewati fase ini dengan baik, hidup akan baik-baik saja hingga akhir.
Krisis ini dapat dialami sebagai fase pengembangan karakter. Masalah sebagai sketsa sebuah gambar, dan pahat sebagai daya semangat untuk dapat mengukir sketsa tersebut, hingga menjadi sebuah karakter ukiran yang menarik. Hasilnya akan menjadi pembeda satu dengan yang lainnya.
Pada masa ini, pencarian dan pengembangan karakter yang sesuai dengan apa yang menjadi passion dan apa yang diminati. Karena secara karakter generasi Z memiliki minat mengerjakan sesuatu dengan dasar menyukai hal tersebut. Proses pencarian dan pengembangan karakter memang lah membutuhkan waktu.
Sama halnya dengan proses menemukan keunikan pada satu produk, diperlukan masa atau proses serta riset yang panjang untuk mampu membentuk apa yang sebenarnya menjadi karakter dalam satu produk, agar sesuai animo pasar.
Pada masa transisi atau perpindahan ini, kiat-kiat penyesuaian dengan sikap adaptif memanglah diperlukan agar kita dapat mampu bertahan berada diposisi krisis. Krisis perempat usia juga berimplikasi pada produktifitas.
Pada masa ini generasi Z cukup dibuat bimbang, awan pekat yang mengimbasi pandangan masa depan menjadi dominasi dan ketakutan untuk menatap masa depan. Pasalnya masa ini adalah sebagai penentu wajah generasi Z di masa depan. Apa yang dilakukan hari ini adalah gambaran kehidupan dan penentu karir kedepannya.
Baca juga: Anarki Perusakan Kantor Polisi dan Renungan Bagi Keterbukaan
Krisis perempat usia, sebenarnya pernah dialami oleh generasi-generasi sebelumnya, namun pada generasi hari ini (baca: generasi Z) menjadi begitu berbeda masalahnya. Terbukanya keran informasi dan masifnya penggunaan media sosial yang menjadi masalahnya.
Krisis perempat usia, identik dengan sikap kita yang selalu membanding-bandingkan capaian orang lain terhadap capaian kita. Sikap ini yang dapat menimbulkan stres, galau dan mengakibatkan menurunnya produktifitas dan daya semangat kita.
Pada beberapa literatur yang mencoba membahas terkait krisis perempat usia, menjelaskan beberapa formula agar survive berada dalam badai krisis ini, setidaknya dapat menjadi penerang dan penuntun jalan kita generasi Z melewati masa-masa gelap kedepannya.
Daya Dorong dan Daya Tarik
Daya dorong adalah cerita yang coba ditarik kembali dalam ingatan kita di masa lalu, tentang kegagalan, kekecewaan atau bahkan kemiskinan. Daya dorong menjadi sebuah ketakutan di masa lalu, yang tidak ingin peristiwa itu kita alami lagi di masa depan.
Hal ini yang menjadi daya penggerak dan pemantik semangat kita, untuk tidak bermalas-malasan baik dalam berkuliah bila sebagai mahasiswa atau bahkan bekerja bila kita sebagai pekerja.
Daya tarik adalah apa yang kita inginkan di masa depan. Hal ini terkait dengan harapan dan cita-cita di masa yang akan datang, setiap dari kita pasti memiliki keinginan untuk mencapai apa yang menjadi impian kita di masa depan, khususnya bila terkait dengan kemapanan karir kedepannya atau bahkan perihal membahagiakan orang tua.
Baca juga: Membumikan Gerakan Literasi di Tengah Pandemi COVID-19
Dikotomi Kendali
Dikotomi kendali adalah konsep yang ditawarkan oleh para filsuf Stoa dan saya rasa konsep ini masih begitu relevan bila diterapkan saat ini.
Konsep stoifisme. Filosofi ini diperkenalkan dalam buku Filosofi Teras yang ditulis oleh Hendry Manampiring. Dalam buku ini menjelaskan tentang konsep dikotomi kendali.
Dibagi menjadi dua bagian yaitu hal yang termaksud dalam ruang kendali kita dan hal yang tidak termaksud dalam ruang kendali kita.
Segala hal yang termaksud dalam ruang kendali itu adalah yang menjadi evaluasi kita untuk dipikirkan, karena itu termaksud pada hal yang dapat kita rubah dan perbaiki agar menjadi lebih baik.
Sedangkan hal yang tidak termaksud dalam ruang kendali kita itu adalah hal yang tidak perlu kita pikirkan dan cukup didengarkan.
Seperti persepsi orang lain terhadap apa yang kita lakukan, penilaian, dan lain sejenisnya yang bersifat informasi yang dapat menurunkan tensi semangat kita. Itu tidak termaksud dalam ruang kendali kita kawanku jadi tidak perlu dipikirkan kone.
Terlebih pada era saat ini, dengan bendungan informasi yang begitu banyak dan sulit untuk hindari. Tameng yang ditawarkan oleh filsuf Stoa ini semoga bisa dapat dijalankan dan diterapkan.
Anak muda saat ini dengan istilah generasi Z, saya rasa sebagai generasi penggerak, dan tak bisa dikesampingkan pula, bahwa tantangan-tantangan kedepannya tidak kalah berat.
Saya mencoba menuliskan ini sebagai medium untuk berbagi cerita, tanpa adanya unsur menggurui. Semoga apa yang disajikan di atas, dapat kita terapkan bersama dengan konsistensi dan evaluasi secara kontinyu.
Tantangan dan masalah yang kita rasakan sebagai generasi baru (baca: generasi Z) perlu dihadirkan, baik dalam bentuk penyampaian visual dan dituliskan pada media massa atau taman sosial media kita, agar teman dan kawan kita dapat membaca dan memahami, bahwa tantangan ini adalah tantangan zaman yang perlu kita jawab dan taklukan bersama.
Di akhir saya ingin mengutip apa yang pernah dikonsepsikan oleh ahli geologi dari Inggris yaitu Charles Darwin, yang menjelaskan tentang karakter survival of the fittest, bahwa makhluk hidup yang bertahan bukanlah makluk yang terkuat atau yang tercepat melainkan yang paling bisa beradaptasi dengan lingkungan. Keep spirit gen-Z, pastikan kita adalah salah satunya. (*)