Hattric versus Freekick Ala Muhaimin Iskandar
Penulis
Minggu, 19 Maret 2023 / 4:48 pm
Oleh: Drs. Jayanto Arus Adi, M.M
Wartawan Senior, Direktur JMSI Institute, Ketua Bidang IT JMSI Pusat, Ahli Pers Dewan Pers, Dosen dan Mahasiswa S3 Universitas Negeri Semarang (Unnes), Dosen STIE BPD Jateng, penggiat Satu Pena Indonesia
GUS Muhaimin Iskandar diambang hattrick. Ya, termilogi hattrick seperti menjadi analogi yang pas bagi debut dan kiprah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa ini. Hattrick adalah narasi untuk menyebut mereka yang mencetak goal tiga kali dalam satu laga, yakni sepak bola.
Di kolom ini, Catatan Jayanto Arus Adi saya ingin menukil spirit serupa. Tapi bukan soal hattrick ala sepak bola, melainkan hattrick politik. Saya memilih judul hattrick versus freekick ala Gus Muhaimin atau Cak Imin. Hattrick versus freekick, apa yang sesungguhnya terjadi dengan mantan Ketua PMII Yogyakarta 1994-1997? Adalah kurusetra Pilpres 2024 mendatang yang akan menjadi testimoni empirik sekaligus legacynya.
Sebelumnya sejumlah capaian monumental telah berhasil dibukukan. ‘Prestasi’ kontroversial yang membawa debut politik di panggung elite nasional adalah menjadi Ketua Umum PKB, dengan ‘menaklukkan’ founding fathersnya, mentor juga guru politiknya, yakni KH Abdurahman Wahib, atau lebih akrab dipanggil Gus Dur, dan tak lain adalah Presiden RI ke-4.
Luar biasa! Tokoh sekaliber Pak Harto –panggilan Soeharto, penguasa Orde Baru yang dijuluki ‘The Smiling General’ dan pernah menjadi ikon paling kharismatik semasa Orba, yang ditakuti lawan, disegani kawan tak mampu ‘menundukkan’ Gus Dur. Tetapi Cak Imin bisa! Bahwa prestasi itu berselimut kontroversi, yakni soal kepatutan karena ‘pengkhianatan’ dan bumbu bumbu tak sedap lain sebagainya adalah persoalan berbeda.
Yang ingin menjadi inti dari tulisan ini adalah ‘keberhasilan’ menjadi nahkoda PKB adalah pintu pembuka yang sangat strategis. Fakta sekarang Gus Muhaimin dulu Cak Imin adalah politikus andal, dengan pengaruh hegemonik, mampu menjadi nahkoda bagi PKB dengan baik, yakni sebagai partai papan atas.
Pimpinan DPR Termuda
After two election victories the government clearly has hopes of a hat trick. Ungkapan ini pas menggambarkan karier politiknya (baca -Muhaimin Iskandar). Dengan narasi dan kalkulasi yang dapat diterima akal sehat salah satu kandidat cawapres potensial adalah mantan Menraker era SBY 2009-2014 ini. Selamat datang ‘Wakil Presiden’ Republik Indonesia Muhaimin Iskandar.
Ya, saya punya alasan dan pertimbangan khusus juga rasional menghadirkan kredo di atas sebagai pembuka ‘Catatan Jayanto Arus Adi’ ini. Hal lain menarik benang merah dan mozaik pergerakan politik mutakhir di negeri ini tesa soal Cak Imin masih penuh misteri. Debut putra Abdullah Iskandar, seorang pendidik di Jombang ini diyakini masih akan berkibar.
Apa pasal yang mampu meroketkan debut Wakil Ketua DPR RI 1999-2004 ini ? Untuk diketahui Muhaimin lahir dan menjalani proses dari bawah. Rentang panjang pergulatan sebagai aktivis adalah tempaan yang berharga. Apalagi dia juga mewarisi langsung gemblengan dari sang Paman, tak lain adalah Abdurahman Wahid.
Tokoh yang disemati sejumlah julukan, seperti waliyullah, guru bangsa, bapak prodemokrasi dan Presiden RI ke-4 ibaratnya ‘Kawah Candradimuka’ bagi Muhaimin Iskandar. Tangan Gus Dur adalah pahatan yang menghantarkan Cak Imin muda sebagai politis. Didukung beragam aktivitas sejak di bangku Madrash kiprahnya menjadi matang.
Ibarat pisau dia makin tajam karena terus diasah, tidak hanya secara informal, untuk diketahui Wakil Ketua MPR 2018-2019 ini adalah juga alumni Fisipol UGM. Dengan portofolio di atas, maka pantas Gus Dur mendapuk jadi Sekjen PKB, partai yang dibidaninya sendiri.
Entitas politik yang lekad sebagai ‘rumah’ kaum nahdliyin menjadi pilihan berkhikmat pasca malang melintang sebagai aktivis. Kurun 1994-1997 dia telah menjadi nahkoda PMII Cabang Yogyakarta.
Artinya menilik debut ini ‘Sang Wakil Presiden’ 2024-2029 bukan figur karbitan. Bahkan hegemon atas eksistensi kiprahnya tak hanya diakui internal warga PKB dan NU namun menjangku batas batas geososialpolitik di tanah air.
Pilpres 2019 lalu misalnya, diakui atau tidak meski tidak bisa dilegacykan secara tersurat, namun secara tersirat King Maker yang ‘membuka’ pintu bagi KH Makruf Amin adalah adalah Muhaimin Iskandar. Santer dan itu terkonfirmasi sang incumbent Joko Widodo telah meminang Prof Dr Mahfud MD menjadi cawapresnya.
Untuk diketahui Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini merepresentasikan tokoh Nahdliyin, memiliki akar historis dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan sekaligus cendekiawan muslim terkemuka.
Dari anatomi di atas profile dan portofolio Prof Mahfud MD tidak ada yang perlu diragukan. Artinya ketika Joko Widodo meminang untuk menjadi pendampingnya akal sehat tinggal meneguhkan karena argumentasi referensial secara politik juga mendukung. Lantas mengapa Mahfud MD terpental bahkan sudah masuk pada saat injuri time?
Pilihan Beriko
Jawabnya itulah politik. Keputusan politik tidak pernah steril dari aspek aspek ikutan yang menggayuti. Artinya setiap keputusan nyaris tidak pernah luput oleh balutan kompromi kompromi yang mengiringi. Apalagi meski sempat menjadi bagian dari PKB, Prof Mahfud secara kultural lebih dekat relasinya dengan Gus Dur.
Joko Widodo boleh jadi agak luput dengan realitas bahwa PKB adalah teritori Muhaimin. Dengan begitu mengusung tokoh tanpa legacy dari sang Ketua otomatis menyulut komplikasi. Faktor inilah yang akhirnya menghadapkan Prof Mahfud pada tembok, atau jalan buntu.
Maju bapak mati, mundur ibu mati.
Maka logika politik yang ditempuh biar biduk tetap berdiri Joko Widodo tidak punya pilihan lain kecuali melepas Guru Besar asal Madura ini. Ikhwal itulah yang menjadi pintu alternatif munculnya KH Makruf Amin. Joko Widodo sendiri langkah atau pilihannya lebih didasari pertimbangan politik.
Karena Makruf Amin adalah pilihan yang bernuansa Vivere pericoloso, atau dengan kata lain pilihan yang penuh resiko, sangat berbahaya, tetapi harus tetap diambil. Ingat tragedi pilkada DKI? Kala itu sikap Makruf Amin cenderung ditafsirkan berbeda biduk dengan Joko Widodo.
Nah fakta empirik tersebut menghadirkan pertanyaan siapa king maker di balik itu? Sosok itu tak lain adalah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Gus Muhaimin. Meski secara konstelatif Cak Imin bukan King Maker tunggal, namun secara anatomis keponakan Gus Dur itu bagian dari decision making team.
Apa mau dikata, fakta ini meski tak tersurat, namun tersirat terang benderang. Orang boleh saja nyinyir tampilnya Muhaimin Iskandar di pucuk pimpinan PKB bukanlah karena tangan malaikat, tetapi karena tangan setan. Betapa tidak dia naik tahta lantaran tega menendang Gus Dur, di mana beliau adalah sang paman, mentor, dan juga guru politiknya. Benarkah demikian, politik selalu membingkai wilayah abu abu, untuk lebih jelasnya kita bertanyak saja pada rumput yang bergoyang.
Testimoni Yenny
Puteri Abdurahman Wahid Zannuba Ariffah Chafsoh alis Yenny Wahid adalah poros moral yang tetap tak mengakui Cak Imin. Menurut Yenny sejarah yang tidak bisa dihapus dari perjalanan PKB, yakni dengan dua hal. Pertama, Gus Dur adalah pendiri, yang membidani kelahiran PKB bersama sejumlah tokoh NU, antara lain KH Ilyas Rukyat, Munasir Ali, Musthofa Bisri dan Muhid Muzadi.
Kedua adalah Cak Imin, kata Yenny yang telah mengeluarkan Gus Dur dari PKB. MLB Ancol 2008 silam menjadi panggung yang melegacykan drama politik di tubuh partainya wong nahdliyin ini. Selain Gus Dur, ada tokoh lain yakni Yenny sendiri, dan Ali Masykur Musa,
Prof Mahfud MD menjadi gerbong yang turut terdepak pasca sang lokomotif, yakni Gus Dur juga tersingkir.
Nah, menilik kisah ini, maka menjadi terangkai secara ideologis dan politis, mengapa PKB tidak begitu sreg ketika Joko Widodo menunjuk Prof Mahfud MD menjadi Cawapresnya kala itu.
Mendalami anatomi konlfik Cak Imin dengan Gus Dur, lalu mengapa Yenny Cs tak mampu mematahkan gerakan Cak Imin? Ada dua aspek yang menjadi penyebabnya, pertama adalah karena Yenny Wahid kurang memiliki basis kader militan di tingkat akar rumput. Hal ini berbeda dengan Cak Imin yang ditempa dan tumbuh dari aktivis organisasi, maka dia piawai melakukan konsolidasi serta komunikasi politik.
Aspek tersebut ketika kemudian dimanifestasikan menjadi modal kapital secara politis lebih memiliki daya gedor. Apalagi politik Indonesia saat ini secara genetik masih mengandalkan kapital, ketimbang pengaruh ideologis. Aspek inilah kembali merangkai soal hattrick Gus Muhaimin. Momentum 2024 punya trend semakin terang untuk memperteguh kalkulasi ini.
Belajar dari Anas
Sedikit melebar fenomena Cak Imin, bertolak belakang dengan kisah Anas Urbaningrum. Secara anatomis apa yang dialami Anas sebenarnya memiliki komplikasi dengan identifikasi yang sama. Namun Anas Urbaningrum tercampak atau tergelincir lebih karena kesalahan strateginya sendiri. Andai Anas Urbaningrum dapat lebih bersabar dan bertindak menunggu momentum yang tepat bisa jadi ceritanya akan lain.
Baca Juga: Wujudkan Pemilu Berkualitas melalui Manajemen Mitigasi Pemungutan Suara Ulang
Apa yang dilakukan Anas ketika itu ibarat burung yang sayap dan bulunya belum sepenuhnya kuat, namun memaksa terbang jauh, maka dia belum kuat menghadapi petir juga badai akhirnya jatuh. Ya, atau tidak, yang jelas Cak Imin lebih sabar dan telatan merawat konstituen. Dengan bergerilya ala santri eskalasinya justru tumbuh luar biasa.
PKB kini, dan Muhaimin sekarang adalah personifikasi yang luar biasa. PKB tubuh menjadi partai dengan soliditas dengan akar yang kuat. Begitu pun Cak Imin, saat ini dia telah menjelma menjadi politikus ulung dengan kalkulasi yang matang.
Langkah kuda PKB berkoalisi dengan Gerindra adalah trisula yang memiliki kekuatan tangguh, strategi cak Imin tersebut mampu menghadirkan dua lompatan strategis secara paralel, pertama menjadi kunci mewujudkan hattricknya, untuk PKB dan sekaligus ambisi politiknya, yakni menjadi Wakil Presiden.
Kedua, jika strategis pertama tidak, atau belum mampu diwujudkan, maka dia dapat melakukan manuver guna melakukan free kick untuk mengatasi lawan politik yang menjadi ancaman.
Apakah hattrick atau freekick kita mengikuti waktu sebagai pengadil dan hakim zaman. Catatan penutup menjadi pesan khusus dari tulisan saya di sini adalah PKB dan Nahdlatul ulama adalah ibarat dua keping mata uang. Dua keping ini mesti bersatu menjadi kekuatan yang utuh. Bukan sebaliknya menjadi dua sisi mata pedang yang bisa saja saling menikam.
Gus Muhaimin Iskandar mempunyai pekerjaan rumah besar terkait relasi asimetris di atas. Sangat elok dan indah jika NU dan PKB dapat benar benar menjadi jiwa raga civil society di Indonesia. Konfigurasi yang tampak sekarang kurang memberi maslahat bagi umat secara ideal.
Karena chemistry yang ada tidak dapat sepenuhnya menyatu. Harapan saya untuk kepentingan bangsa dan negara, juga untuk kepentingan umat, Ketua PBNU, KH Yahya Staquf dan Muhaimin Iskandar nahkoda PKB punya spirit dengan goal yang sama untuk Indonesia Raya. (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS