Wujudkan Pemilu Berkualitas melalui Manajemen Mitigasi Pemungutan Suara Ulang
Kubais, telisik indonesia
Minggu, 19 Februari 2023
0 dilihat
Kubais, S.Pd, M.Pd, Ketua KPU Kabupaten Muna. Foto: Ist.
" Pemilu pertama tahun 1955 yang digelar di era Soekarno, oleh banyak kalangan dianggap sebagai pemilu yang paling demokratis karena digelar secara jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia "
Oleh: Kubais, S.Pd, M.Pd
Ketua KPU Kabupaten Muna
FILUSUF Yunani Heraclitus pernah berkata bahwa “tidak ada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri.” Kata bijak itu tepat untuk menggabarkan sejarah perjalanan pemilu di Indonesia. Pemilu yang telah digelar 12 kali sejak Orde Lama, Orde Baru dan reformasi memiliki karakteristik dan sejarahnya masing-masing.
Pemilu pertama tahun 1955 yang digelar di era Soekarno, oleh banyak kalangan dianggap sebagai pemilu yang paling demokratis karena digelar secara jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia. Pada Pemilu 1955 tak ada paksaan setiap orang untuk memilih partai yang dikehendaki oleh pemerintah.
Tidak ada pula mobilisasi pemilih menggunakan politik uang dan paling menonjol adalah kontestan pemilu tidak hanya diikuti oleh partai politik, organisasi massa dan calon perorangan.
Ketika itu setiap orang atau kelompok yang mendirikan partai politik, organisasi massa dan perorangan diperbolehkan mengikuti pemilu tanpa ada pembatasan karena alasan ideologi maupun regulasi seperti kebijakan difusi kepartaian pada zaman Orde Baru, penerapan electoral thershold pada awal-awal reformasi, pemberlakuan parlementery thershold sejak 2009, dan terbaru penerapan presidensial threshold sejak Pemilu 2019.
Karakteristik Pemilu 1955 tersebut setidaknya memenuhi indikator negara demokratis yang diutarakan oleh Robert Dahl dan mendekati ciri pemilu demokratis yang diutarakan Austin Ranney. Dahl dalam karyanya menyebut tujuh karakteristik negara demokratis yaitu adanya pejabat yang dipilih, pemilihan berlangsung bebas dan fair, hak pilih yang mencakup semua, adanya control terhadap pemerintah, kebebasan berpendapat, kebebasan mengaskses informasi dan kebebasan untuk membentuk asosiasi (berkumpul dan berserikat).
Selanjutnya Ranney mensyaratkan 8 indikator pemilu demokratis yaitu adanya hak pilih umum, adanya kesetaraan bobot suara, tersedia pilihan yang signifikan, adanya kebebasan nominasi, persamaan hak kampanye, kebebasan dalam memberikan suara, kejujuran dalam penghitungan suara dan penyelenggaraan pemilu secara periodik. Pemilu 1955 meski digelar secara demokratis, namun gagal melahirkan pemerintahan yang stabil.
Di era Orde Baru pemilu digelar sebanyak 6 kali, meski digelar secara periodik (5 tahun), namun pemilu era Orde Baru ini memperlihatkan karakteristik yang tidak demokratis. Hal ini dicirikan oleh: 1). Penggabungan (difusi) partai politik secara paksa. Parpol-parpol Islam, seperti Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti, disatukan menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Parpol-parpol nasionalis dan Katolik/Kristen, seperti PNI, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, dan Partai IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), disatukan di Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Sementara Golkar diisi oleh kalangan profesional meliputi: birokrasi, ABRI dan kekaryaan. 2). Adanya hegemonic party, dimana Golkar menjadi pemenang Pemilu secara berturut-turut dengan angka kemenangan diatas 70 %, tanpa mengalami kekalahan.
Ini dikarenakan adanya penekanan terhadap birokrasi dan kalangan professional untuk memilih Golkar, serta adanya kebijakan masa mengambang yang melarang partai politik beroperasi ditingkat bawah (grassroot), kecuali Golkar. 3). Depolitisiasi militer melalui konsep dwifungsi ABRI.
Di era Orde Baru, militer selain mengemban tugas utama di bidang pertahanan (militer) juga dibebaskan untuk melaksanakan fungsi sipil, menjadi pejabat gubernur, bupati, walikota, dan anggota DPR/DPRD (Fraksi ABRI/TNI-Polri) tanpa harus mundur.
Baca Juga: Perhitungan Perolehan Suara Pileg 2024
Perilaku militer di era Orde Baru ini sangat bertentangan dengan prinsip negara demokratis yang dicirikan dengan profesionalisme militer dan supremasi sipil terhadap militer. Meski tidak demokratis, pemilu era Orde Baru ini efektif menciptakan stabilitas pemerintahan, ini sejalan dengan tesis Mainwaring bahwa sistem presidensiil lebih cocok dengan sistem dwi partai, dimana Indonesia pada era Orde Baru menganut sistem presidensil dan jumlah partai yang sedikit.
Di era reformasi pemilu telah digelar sebanyak 5 kali (1999, 2004, 2009, 2014, 2019). Setiap penyelenggaraan pemilu di era reformasi menampilkan perubahan. Pemilu tahun 1999 sebagai pemilu pertama era reformasi dicirikan dengan keikusertaan 48 partai politik dan dibentuknya lembaga penyelenggara pemilu yang indepeden dan diawasi.
Selanjutnya penyelenggaraan pemilu pada tahun 2004 dicirikan dengan mulai dipilihnya Dewan Perwakilan Daerah (yang sebelumnya belum pernah ada) dan penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.
Hal baru terjadi kembali pada Pemilu 2009, 2014 dan 2019, dimana pada pemilu ini sistem pemilu menganut proporsional terbuka dengan penentuan pemenang menggunakan suara terbanyak, yang sebelumnya menggunakan sistem proporsional tertutup.
Sistem proporsional terbuka ini mendorong terpilihnya orang-orang populer, meski kapasitasnya belum teruji. Perubahan sistem pemilu tersebut sebagai respon atas kehendak masyarakat, situasi politik, dan tuntutan demokrasi yang berlangsung dinamis di Indonesia. Pada situasi demikian tuntutan penyelenggaraan Pemilu yang berkualitas semakin disuarakan oleh para aktivis pro demokrasi dan pemerhati pemilu.
Konsep Pemilu Berkualitas
Istilah pemilu berkualitas memiliki makna jamak. Pemilu berkualitas adalah pemilu yang berlangsung secara demokratis yang sekurang-kurangnya memenuhi dua kriteria yaitu bebas dan adil. Law Insider mendefinisikan pemilu bebas sebagai keterlibatan semua warga negara dewasa dapat memberikan suara dalam pemilihan dan mencalonkan diri, dan calon pejabat sama sekali tidak dihalangi untuk berbicara kepada para pemilih.
Pemilu yang bebas berarti 'hak asasi manusia dan kebebasan mendasar dipatuhi selama proses pemilu, termasuk kebebasan berbicara dan berekspresi dari para pemangku kepentingan pemilu; dan kebebasan berkumpul dan berserikat; dan bahwa kebebasan akses informasi dan hak untuk mengirim dan menerima pesan politik oleh warga negara ditegakkan; bahwa prinsip-prinsip hak pilih orang dewasa yang setara dan universal dipatuhi, selain hak pemilih untuk menjalankan hak pilih mereka secara rahasia dan mendaftarkan pengaduan mereka tanpa batasan atau dampak yang tidak semestinya.’
Selanjutnya, penyelenggaraan pemilu dapat dikategorikan berdasarkan keadilan jika : (1) integritasnya tinggi; (2) melibatkan banyak warga; (3) berdasarkan hukum yang berkepastian tinggi; (4) imparsial dan adil; (5) profesional dan independen; (6) transparan; (7) tepat waktu sesuai dengan rencana; (8) tanpa kekerasan atau bebas dari ancaman dan kekerasan; (9) teratur; (10) peserta pemilu menerima wajar kalah atau menang.
Pemilu berkualitas diterjemahkan pula sebagai pemilu yang demokratis. Guru besar Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, yang mantan Ketua Bawaslu RI dan DKPP RI, Prof. Muhammad menyebutkan setidaknya ada lima indikator pemilu demokratis.
Pertama, adanya partisipasi politik yang luas dan otonom, dimana demokrasi mensyaratkan dan membutuhkan adanya keleluasaan partisipasi bagi siapapun, baik individu maupun kelompok, secara otonom. Kedua, terwujudnya kompetisi politik yang sehat dan adil.
Dalam konteks demokrasi liberal, seluruh kekuatan politik (partai politik) atau kekuatan sosial-kemasyarakatan (kelompok kepentingan dan kelompok penekan) diakui hak hidupnya dan diberi kebebasan untuk saling berkompetisi secara adil sebagai sarana penyalur aspirasi masyarakat, baik dalam pemilihan umum atau dalam kompetisi sosial-politik lainnya.
Ketiga, adanya suksesi atau sirkulasi kekuasaan yang berkala, terkelola, serta terjaga dengan bersih dan transparan, khususnya melalui proses pemilihan umum. Keempat, adanya monitoring, kontrol, serta pengawasan terhadap kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif, birokrasi, dan militer) secara efektif, juga terwujudnya mekanisme checks and balances di antara lembaga-lembaga negara. Kelima, adanya tatakrama, nilai, norma yang disepakati bersama dalam bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa.
Prof. Muhammad juga menyebutkan bahwa, pelaksanaan pemilu dapat dikatakan demokratis jika menghadirkan 2 (dua) aspek secara simultan, yaitu aspek prosedural dan aspek substantif. Dari aspek prosedural antara lain: regulasi pemilu (UU pemilu), Penyelenggara pemilu (Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum), peserta pemilu (Partai Politik dan/atau Calon Perseorangan), serta pemilih (Daftar Pemilih Tetap).
Indikator dari aspek prosedural ini adalah hasil yang sangat kuantitatif, sehingga pemilu identik dengan perebutan suara pemilih. Sementara itu, dari aspek substantif, Pemilu sejatinya menganut nilai dan prinsip bebas, terbuka, jujur, adil, kompetitif serta menganut azas langsung, umum, bebas dan rahasia.
Pertama, prinsip Pemilu bebas berarti seluruh warga negara yang memiliki hak suara, secara merdeka, tanpa tekanan dan/atau paksaan menggunakan hak pilihnya. Kedua, prinsip terbuka berarti Pemilu melibatkan semua pihak, sehingga pelaksanaannya transparan, akuntabel, kredibel dan partisipatif.
Ketiga, prinsip adil berarti pemilih dan peserta Pemilu mendapatkan perlakuan yang sama. Keempat, prinsip jujur berarti semua pihak yang terlibat dalam Pemilu harus bertindak dan bersikap dengan mengedepankan nilai-nilai kebenaran.
Kelima, prinsip kompetitif berarti Pemilu bebas dari segala bentuk mobilisasi politik baik dengan iming-iming uang, barang, jasa, jabatan maupun dengan intimidasi, tekanan dan paksaan.
Manajemen mitigasi pemungutan suara ulang dalam penyelenggaraan pemilu resiko kegagalan pemilu sangat mungkin terjadi. Pippa Norris mengidentifikasi empat faktor yang dapat menyebabkan kegagalan pemilu, yaitu kondisi struktural, pengaturan pembagian kekuasaan, lembaga pemerintahan, dan keterlibatan internasional.
Untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan pemilu, maka manajemen pemilu menjadi penting untuk dilakukan, salah satunya adalah melakukan mitigasi (pengurangan resiko) terjadinya pemungutan suara ulang. Pemungutan suara merupakan salah satu tahapan paling krusial bagi KPU, pemilih dan peserta pemilu.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 372 ayat (1) mengatur bahwa pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan.
Baca Juga: Memaknai Politik Identitas
Selain itu, pada ayat (2) disebutkan bahwa pemungutan suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan pengawas TPS terbukti terdapat keadaan: a. Pembukaan kotak dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Petugas KPPS meminta pemilih memberikan tanda khusus, menandatangani, atau menuliskan nama atau alamat, pada surat suara yang sudah digunakan; c. Petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah, dan/atau; d. Pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan.
Berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya pemungutan suara ulang di dalam pemilu dan pilkada diantaranya yaitu penggunaan hak pilih lebih dari satu kali, kekurangan surat suara di TPS, adanya pemilih yang tidak memenuhi syarat, adanya surat suara yang tercoblos sebelum dilangsungkan pemungutan suara, perbedaan jumlah surat suara dan suara yang hadir dalam pemilu, pembukaan kotak suara sebelum pemungutan suara, dan adanya kotak suara yang tidak tersegel.
Adapun beberapa upaya mitigasi untuk mencegah terjadinya pemungutan suara ulang, yaitu:
1. Bersihkan data pemilih. Akurasi data pemilih dapat mencegah terjadinya pemilih ganda, dan penyalahgunaan kertas suara oleh oknum penyelenggara pemilu maupun otoritas lainnya.
2. Tingkatkan kualitas PPK, PPS, dan KPPS. Pembukaan kotak suara dan adanya kotak suara yang tidak tersegel menjadi lemahnya pemahaman penyelenggara, sehingga menjadi penting untuk peningkatan kualitas penyelenggara Pemilu.
3. Sosialisasi Kepada Peserta Pemilih, adanya pemilih yang tidak memenuhi syarat dipicu oleh rendahnya pemahaman dan pengetahuan Pemilu. 4. Kerjasama intens dengan pihak terkait, adanya daftar pemilih ganda diantaranya dipicu oleh perbedaan data kependudukan yang dimiliki penyelenggara Pemilu dan pemerintah (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil), oleh karena itu kerjasama KPU dan pemerintah setempat akan meminimalisir terjadinya kesalahan data pemilih. 5. Koordinasi dengan Bawaslu.
PSU terjadi karena tidak terbangunnya koordinasi yang intensif antara KPU Kabupaten/kota dengan Bawaslu Kabupaten/kota sebagai pelaksana pemilihan dan pengawas pemilihan di tingkat Kabupaten/kota, sampai dengan penyelenggara adhoc di tingkat TPS.
Oleh karena itu koordinasi dan penguatan Bawaslu khususnya di tingkat Kabupaten/kota sampai dengan penyelenggara di tingkat TPS akan mengurangi resiko dilakukannya PSU.
Selain peningkatan kinerja penyelenggara, aspek lain yang juga penting dalam mencegah terjadinya PSU adalah perbaikan regulasi dan peningkatan integritas penyelenggara. Dalam aspek regulasi, seringkali peristiwa atau kejadian lapangan tidak terwadahi oleh regulasi yang ada, sehingga kejelian pembuat regulasi juga dapat mencegah terjadinya PSU.
Integritas penyelenggara juga sangat mempengaruhi kualitas pemilu, maka pemahaman terkait dengan kode etik penyelenggara, rekam jejak dan potensi terjadinya intervensi terhadap penyelenggara dapat diantisipasi melalui proses rekrutmen yang transparan, partisipatif dan akuntabel.
Kesukesan pemilu ditentukan oleh tiga aktor yaitu penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP), peserta pemilu (partai politik, calon, dan pemilih) dan pemerintah. Terjadinya pemungutan suara ulang menjadi indikasi dari lemahnya tiga aktor tersebut.
Oleh karena itu guna mencegah terjadinya pemungutan suara ulang, maka perlunya peningkatan profesionalisme dan kinerja penyelenggara pemilu, pengawasan pemilu, sosialisasi dan pendidikan pemilih, dan sinergitas penyelenggara pemilu, peserta pemilu (pemilih dan partai politik) dan pemerintah. (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS