Hidayatullah: Permendagri Soal Pendanaan Bawaslu Berpotensi Menyimpang

Fitrah Nugraha

Reporter

Sabtu, 16 November 2019  /  4:20 pm

Ketua Presidium JaDi Sultra, Hidayatullah Foto: Repro Google.com

KENDARI, TELISIK.ID - Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Sulawesi Tenggara (Sultra), Hidayatullah, memberikan kritikannya terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 54 tahun 2019 tentang pendanaan untuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 mendatang.

Menurutnya, Permendagri yang berkaitan dengan pendanaan kegiatan Pilkada serentak tahun 2020 untuk Bawaslu Kabupaten/Kota ini berpotensi menyimpang.

Dimana, kata dia, Lembaga Bawaslu Kabupaten/Kota tidak dikenal dalam undang-undang (UU) No. 1/2015 tentang Penetapan Perppu No. 1/2014 sebagaimana diubah dengan UU No. 8/2015 terakhir dengan UU No. 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali kota.

Dalam ketentuan umum Pasal 1 Permendagri No. 54/2019 memaknai bahwa “Badan Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Bawaslu Kabupaten/Kota adalah badan untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum di wilayah kabupaten/kota”.

Pasal ini berkaitan dengan dengan penandatangan NPHD Pilkada Pasal 13 ayat (2) huruf b,  “Belanja Hibah Kegiatan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati/Wali Kota dan Wakil Wali Kota kepada Bawaslu Kabupaten/Kota dituangkan dalam NPHD dan ditandatangani oleh Bupati/Wali Kota dengan Ketua Bawaslu kabupaten/kota.”

Pemaknaan Bawaslu Kabupaten/Kota menurut Permendagri No. 54/2019  disadur dari UU No. 7/2017 tentang Pemilu mulai Pasal 101 - Pasal 104 baik tugas, wewenang dan kewajiban Bawaslu Kabupaten/Kota adalah mengawasi penyelenggaraan Pemilihan Umum di wilayah Kabupaten/Kota.

Sementara Pilkada Serentak itu diselenggarakan menurut ketentuan UU 8 Tahun 2015 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 10 Tahun 2016. Dan dalam UU Pilkada tersebut tidak mengenal keberadaan lembaga yang dimaksud Bawaslu Kabupaten/Kota.

Namun dalam UU No. 8/2015 hanya mengenal Panitia Pengawas Pemilihan di Kabupaten/Kota yang bersifat adhock sebagaimana Pasal 24 ayat (1) bahwa “Panwas Kabupaten/Kota dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan persiapan penyelenggaraan Pemilihan dimulai dan dibubarkan paling lambat 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilihan selesai”. Selanjtnya ayat (2) bahwa “Panwas Kabupaten/kota dibentuk dan ditetapkan oleh Bawaslu Provinsi.”

Sehingga sudah menjadi konsep dan pemahaman bersama, bahwa Pilkada bukanlah rezim Pemilu dan ini bukan opini, tapi menurut UUD 1945 bahwa Pemilu diatur berdasarkan Pasal 22E UUD 1945. Sedangkan Pilkada itu diatur dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 1945.

"Kalau dilihat dari syarat perundangan maka Permendagri No. 54/2019 menyimpang dari kewenangan pendelagasian yang diberikan berkaitan pengaturan anggaran Bawaslu Kabupaten/Kota," katanya.

Selain itu, Ia melanjutkan, Permendagri No. 54/2019 ini adalah peraturan menteri yang diberi delegasi untuk melaksanakan ketentuan Pasal 166 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang, bahwa “perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur Bupati, dan Wali Kota yang bersumber dari APBD”.

"Jadi doktrin perundangan kita dalam Pasal 8 ayat satu (1) UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dikaitkan dengan Permendagri No. 54/2019 adalah Peraturan menteri yang dibentuk atas dasar perintah dari undang-undang sehingga dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan atas dasar delegasi (delegated legislation)," ujarnya.

Dengan demikian, Ia mengungkapkan, secara umum peraturan perundang-undangan delegasi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Maka terkait pendanaan Pilkada sepatutnya Permendagri No. 54/2019 mengikuti Undang-Undang Pilkada yang (lex spesialis) bukan Undang-Undang Pemilu.

Terhadap problematika regulasi ini terdapat lima masalah serius yang ditimbulkan. Pertama, Bawaslu Kabupaten/Kota yang dimaksud dalam UU No. 7/2017 Pasal 101 sampai dengan Pasal 104  tentang Pemilu tidak memiliki wewenang dan otoritas melakukan pengawasan pelaksanaan Pilkada di Kabupaten/Kota, karena Pilkada serentak diawasi oleh lembaga yang disebut Panitia Pengawas (Panwas) Kabupaten Kota diatur menurut ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan (2) UU No 8/2015 tentang perubahan UU No. 1/2015 yang diubah terakhir dengan UU No. 10/2016 tentang Pilkada.

Kedua, Permendagri No. 54/2019 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali kota yang bersumber dari APBD sepanjang berkaitan dengan pendanaan Bawaslu Kabupaten/Kota harus dianggap tidak berlaku karena bertentangan dengan Peraturan Perundangan diatasnya.

Ketiga, Ketua Bawaslu Kabupaten/Kota yang telah melakukan penandatanganan NPHD dana kegiatan Pilkada 2020 adalah suatu kekeliruan regulasi sehingga apabila digunakan akan berpotensi menyimpang (korupsi) karena menggunakan anggaran APBD tidak sesuai peruntukan dan kewenangannya.

Keempat, Kemandirian lembaga Bawaslu terdikte dan ikut menyimpang apabila mengikuti Permendagri No. 54/2019 tanpa ada upaya koreksi dan perbaikan.

Dan kelima adalah apabila UU No. 10/2016 tentang Pilkada tidak dilakukan perubahan atau revisi tentang pengawasan Pilkada di tahun 2020, maka lembaga Bawaslu Kabupaten/Kota tidak dibenarkan oleh perundangan untuk melakukan pengawasan Pilkada dan tidak dapat menggunakan dana Pilkada yang bersumber dari APBD.

"Semoga menjadi perhatian bagi Mendagri, Bawaslu RI serta Gubernur, Bupati dan Wali kota yang daerahnya terdapat Pilkada di tahun 2020," tutupnya.

Reporter: Fitrah Nugraha
Editor: Sumarlin