Hukum Darurat dalam Islam Soal Produk AstraZeneca dan Vaksinasi di Bulan Ramadan

Andi Sulthan Mujahidin

Reporter

Jumat, 09 April 2021  /  8:09 am

Vaksin AstraZeneca. Foto: Repro News Detik.com

KENDARI, TELISIK. ID - Pandemi COVID-19 sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan yang belum teratasi. Vaksinasi yang dilakukan oleh pemerintah secara masif tetap dilakukan pada bulan suci Ramadan, diharapkan dapat menghentikan penyebaran COVID-19.

Dasar dari kebolehan tersebut mengacu pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 14 Tahun 2021 tentang Hukum Penggunaan Vaksin COVID-19 Produk AstraZeneca.

Pada produk AstraZeneca terdapat tripsin babi yang notabene haram untuk dikonsumsi oleh umat muslim.

Menanggapi hal itu, Ketua Fatwa MUI Sultra Abdul Gaffar menjelaskan bahwa hal itu dapat dibolehkan dalam kondisi darurat. Ada dua hukum untuk vaksin AstraZeneca, pertama status hukumnya dan yang kedua status penggunaan yang dalam pengkajiannya berbeda.

"Status hukum itu kaitan bahan dan proses," ungkap Abdul Gaffar saat ditemui di salah satu Kampus di Kota Kendari, Rabu (7/4/21).

Lanjutnya, status hukum yang dimaksud adalah dalam bahan tersebut terdapat sesuatu yang tidak memenuhi persyaratan halal maka akan tetap divonis haram, sedang dalam prosesnya melibatkan halal yang najis, unsur babi dan berbagi macamnya.

Ketua Fatwa MUI Sultra sekaligus dosen pada salah satu universitas di Kota Kendari ini juga menjelaskan, untuk hukum penggunaan adalah sebuah pembahasan lain karena hukum haram dapat digunakan dalam kondisi darurat.

"Darurat itu membolehkan halal yang diharamkan, tetapi darurat tidak serampangan. Ada Batasan-batasannya," jelasnya.

Baca juga: 4 Amalan yang Mendatangkan Pahala Berlimpah di Bulan Ramadan

"Darurat itu ada dua, satu kalau tidak dilakukan menyebabkan kematian, yang kedua kalau tidak dilakukan menyebabkan orang itu mendekati kematian, itu kalau untuk individu," tambahnya.

Dilihat dari aspek sosial atau masyarakat, pada lingkup wilayah sosial terdapat kelompok atau masyarakat yang tidak dapat menangkal virus COVID-19 maka hukum darurat tersebut berlaku.

"Ini jika dibiarkan dan tidak diobati, maka dapat menyebabkan sebagian masyarakat mengalami kematian atau setengah mati untuk melangsungkan kehidupannya, ini masuk hukum darurat dilihat dari teropong sosial atau kolektif," ungkapnya.

Abdul Gaffar kembali menjelaskan, meskipun vaksin AstraZeneca haram karena terdapat unsur babinya, tetapi dalam penggunaannya, itu dibolehkan karena darurat. Sebab darurat menurutnya ialah, penyakit ini terus menyebar dan butuh penanganan cepat, tidak tersedianya vaksin halal yang memenuhi dan tercukupi, tetap akan menggunakan vaksin halal hingga habis lalu beralih ke vaksin AstraZeneca.

"Darurat itu artinya, nanti betul-betul habis yang halal dan suci itu baru kita menggunakan yang haram tetapi boleh," terangnya.

Ia juga menjelaskan, vaksinasi yang dilakukan pada bukan Ramadan itu tidak membatalkan puasa. Puasa dapat dikatakan batal jika sesuatu masuk ke tubuh sempai ke maaiddatu (perut) melalui rongga-rongga seperti mulut, hidung, nadi dan lain-lain.

"Jika disuntikkan pada otot, itu tidak membatalkan puasa, karena dia bukan rongga," jelasnya.

Baca juga: Kekuasaan Dalam Islam, Antara Amanah dan Ambisi

Sedangkan menurut Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Kendari Moch Safruddin, menyatakan bahwa vaksinasi statusnya dibolehkan selama sesuatu itu tidak sampai ke tenggorokan.

"Yang membatalkan puasa itu kan, makan, minum dan melakukan hubungan seksual di siang hari," ungkapnya saat dihubungi via seluler.

Ia melanjutkan, menurut MUI Kota Kendari pada hasil rapat yang digelar, MUI Kota Kendari mengikuti hasil keputusan fatwa yang sudah ada dan dikeluarkan oleh MUI pusat.

"Kondisi darurat itu karena belum ada obat yang lain, bila telah ada obat yang statusnya bersih, suci dan aman itu baru bisa beralih," pungkasnya.

Sebagai informasi tambahan, dalam Fatwa MUI dituangkan beberapa poin di antaranya :

1. Vaksin COVID-19 produk AstraZeneca hukumnya haram karena dalam tahapan proses produksinya memanfaatkan tripsin yang berasal dari babi.

2. Penggunaan vaksin COVID-19 produk AstraZeneca, pada saat ini, dibolehkan (mubah) karena :

a. Ada kondisi kebutuhan yang mendesak yng menduduki kondisi darurat syar'i

b. Ada keterangan dari ahli yang kompeten dan terpercaya tentang adanya bahaya jika tidak segera dilakukan vaksinasi COVID-19

c. Ketersediaan vaksin COVID-19 yang halal dan suci tidak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi COVID-19 guna ikhtiar mewujudkan kekebalan kelompok

e. Pemerintah tidak memiliki keleluasaan memilih jenis vaksin COVID-19 mengingat keterbatasan vaksin yang tersedia

3. Kebolehan penggunaan vaksin COVID-19 produk AstraZeneca sebagimana dimaksud pada angka 2 tidak berlaku jika alasan sebagimana dimaksud angka 2 huruf a, b, c, d, dan/atau e hilang.

5. Umat muslim wajib berpartisipasi dalam program vaksinasi COVID-19 yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk mewujudkan kekebalan kelompok dan terbebas dari wabah COVID-19. (B)

Repoter: Andi Sulthan Mujahidin

Editor: Haerani Hambali

TOPICS