Kekuasaan Dalam Islam, Antara Amanah dan Ambisi
Fitrah Nugraha, telisik indonesia
Jumat, 02 April 2021
0 dilihat
Ilustrasi seorang pemimpin. Foto: Repro google.com
" Sungguh kalian akan berambisi terhadap kepemimpinan (kekuasaan), sementara kepemimpinan (kekuasaan) itu akan menjadi penyesalan dan kerugian pada hari kiamat kelak. Alangkah baiknya permulaannya dan alangkah buruknya kesudahannya. "
KENDARI, TELISIK.ID - Menduduki suatu jabatan, khususnya menjadi penguasa dalam suatu wilayah adalah perkara yang penting dalam Islam.
Muballigh Sulawesi Tenggara (Sultra), Ustadz Muhammad Yasin, S.Pd., M.Pd mengungkapkan, peran orang yang punya kekuasaan sangat penting dalam agama Islam. Saking pentingnya kekuasaan ini, Islam memberikan rambu-rambu dalam menjalankannya.
Hanya saja kata dia, banyak orang berambisi menjadi penguasa, menjadi pejabat negara. Kalau perlu, seumur hidupnya. Segala cara dilakukan. Tak peduli halal haram, yang penting kekuasaan ada di tangan, yang mengganggu kekuasaan ditendang, sedangkan yang tak taat dengannya disingkirkan. Inilah fitnah kekuasaan.
Jauh-jauh hari Rasulullah SAW telah mensinyalir ambisi kekuasaan ini. Beliau pun mengingatkan umatnya agar hati-hati terhadap akibatnya yang artinya, "Sungguh kalian akan berambisi terhadap kepemimpinan (kekuasaan), sementara kepemimpinan (kekuasaan) itu akan menjadi penyesalan dan kerugian pada hari kiamat kelak. Alangkah baiknya permulaannya dan alangkah buruknya kesudahannya," (HR al-Bukhari, an-Nasa’i dan Ahmad).
Peringatan Rasulullah SAW ini sangat jelas. Ash-Shan’ani di dalam Subul as-Salâm menjelaskan bahwa Nabi SAW melarang meminta al-imârah (kepemimpinan/kekuasaan).
Baca juga: Jelang Ramadan, Ini 4 Amalan yang Perlu Dilakukan
Karena itulah Rasul SAW memberikan contoh dengan tidak memberikan kekuasaan atau jabatan kepada orang yang meminta kekuasaan atau jabatan tersebut.
Beliau pernah bersabda, "Kami, demi Allah, tidak akan mengangkat atas tugas ini seorang pun yang memintanya dan yang berambisi terhadapnya," (HR Muslim, Ibnu Hibban, Ibn al-Jarud dan Abu ‘Awanah).
Dalam redaksi lain dinyatakan, "Kami tidak akan mengangkat—atas tugas kami—orang yang menginginkannya," (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasa’i).
Abu Bakar ath-Tharthusi dalam Sirâj al-Muluk menjelaskan, bahwa rahasia di balik semua ini adalah bahwa kekuasaan (jabatan) adalah amanah. Berambisi atas amanah adalah salah satu bukti dari sikap khianat.
Jika seseorang yang khianat diberi amanah maka itu seperti meminta serigala untuk menggembalakan domba. Akibatnya, rusaklah sikap rakyat terhadap penguasanya.
Pasalnya, jika hak-hak mereka hancur dan harta mereka dimakan oleh penguasa mereka, maka rusaklah niat mereka dan lisan mereka akan mengucapkan doa (yang buruk) dan pengaduan atas penguasa mereka.
"Dalam Islam, kekuasaan dan jabatan adalah amanah. Amanah kekuasaan atau jabatan itu akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak," katanya, Jumat (2/4/2021).
Baca juga: Jelang Ramadan, Ini 4 Amalan yang Perlu Dilakukan
Kewajiban penguasa seperti dalam hadis Abdullah bin Umar ra adalah memelihara urusan-urusan rakyat (ri’âyah syu`ûn ar-ra’yah). Ri’âyah itu dilakukan dengan siyasah (politik) yang benar, yaitu seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim.
"Ri’âyah atau siyâsah yang baik itu tidak lain dengan menjalankan hukum-hukum syariah, serta mengutamakan kemaslahatan dan kepentingan rakyat," ujarnya.
Imam ath-Thabari, dalam Tafsîr ath-Thabarî, menukil perkataan Ali bin Abi Thalib ra., “Kewajiban imam/penguasa adalah berhukum dengan hukum yang telah Allah turunkan dan menunaikan amanah. Jika ia telah melaksanakan hal itu maka orang-orang wajib mendengarkan dan menaatinya, juga memenuhi seruannya jika mereka diseru,”
Olehnya itu, Ustadz Muhammad Yasin menjelaskan, dua sifat yang melekat pada pemimpin yang adil. Pertama, menjalankan hukum-hukum Allah SWT dalam pelaksanaan ibadah umat, muamalah, hukum-hukum ekonomi Islam (tentang kepemilikan, pengelolaan kekayaan milik umum, keuangan negara), hukum peradilan dan pidana Islam (hudud, jinayat, ta’zir maupun mukhalafat), hukum-hukum politik luar negeri, dan sebagainya.
Kedua, menunaikan amanah ri’âyah, yakni memelihara semua urusan umat seperti menjamin pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan bagi tiap individu warga negara), menjamin pemenuhan pendidikan, kesehatan dan keamanan secara cuma-cuma, serta melindungi rakyat dari berbagai gangguan dan ancaman.
"Dalam memelihara urusan rakyat, penguasa hendaklah seperti pelayan terhadap tuannya. Sebabnya, sebagaimana hadist riwayat Abu Nu’aim bahwa Sayyidu al-qawmi khâdimuhum (Pemimpin kaum itu laksana pelayan mereka)," pungkasnya. (B)
Reporter: Fitrah Nugraha
Editor: Haerani Hambali