Ini Penjelasan Pengamat Hukum Tata Negara soal Wewenang MK Mendiskualifikasi Peserta Pemilu

Siswanto Azis

Reporter

Rabu, 23 Desember 2020  /  6:24 pm

Pengamat Hukum Tata Negara Sultra, Dr. Laode Bariun, SH., MH. Foto: Ist.

KENDARI, TELISIK.ID – Empat pasangan calon bupati dan wakil bupati di Sulawesi Tenggara telah resmi mengajukan gugatan terkait perselisihan hasil Pilkada 2020 ke Mahkamah Konsitusi (MK).

Keempat pasangan calon yang mengajukan gugatan ke MK adalah LM Rajiun – La Pili (Muna), Muhamad Endang SA – Wahyu Ade Pratama Imran (Konawe Selatan), Arhawi – Hardin La Omo (Wakatobi), dan Muhammad Oheo Sinapoy – Muttaqin Siddiq (Konawe Kepulauan).

Menurut Pengamat Hukum Tata Negara Sultra, Dr. Laode Bariun, SH., MH, semua Paslon yang kalah dalam kontestasi lima tahunan ini memiliki hak secara konstitusi untuk mengajukan gugatan ke MK, berapapun selisih perolehan suara berdasarkan pleno KPU.

“Calon yang merasa tidak menerima hasil Pilkada, boleh mengajukan gugatan. Karena dalam gugatan ke MK itu tidak mutlak harus dari hasil suaranya, tetapi bisa dari pengaruh hasil perolehan suara,” katanya.

Lebih lanjut, Dr. Bariun menjelaskan, dasar keputusan hakim MK dalam sidang sengketa atau perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) nantinya berdasarkan bukti, bukan pendapat ahli.

Baca juga: Partisipasi Pemilih Pilkada Sultra Lampaui Target Nasional

"MK ini bukan forum penanganan pelanggaran pemilu, tapi MK itu berbicara mengenai hasil pemilu. Apakah pemohon dengan segala dalilnya yang mungkin bagi pendukung atau pembenci fanatik paslon akan disukai atau tidak disukai. Tapi hakim tidak melihat demikian," kata Laode Bariun.

Misalnya, Direktur Pasca Sarjana Universitas Sulawesi Tenggara ini mencontohkan, tim Endang Wahyu yang menyerukan adanya kecurangan dalam pemilu, namun yang akan menjadi pertimbangan hakim adalah apakah kecurangan tersebut mempengaruhi hasil pemilu atau tidak.

Pasalnya, menurut Bariun, dalam konteks sidang MK, dalil pemohon harus mempengaruhi hakim, bukan publik.

"Misalnya curang, curang mempengaruhi hasil atau tidak. Bukan publik yang harus dikuasai pemohon, tapi hakim. Hakim pun tidak gampang terpengaruh pendapat ahli-ahli. Tapi yang akan digali adalah bukti yang sah secara hukum," ujarnya kepada Telisik.id, Rabu (23/12/2020).

Selain itu, Doktor Bariun melanjutkan, semisal tangkapan layar pada akun media sosial atau berita media online dijadikan salah satu bukti, menurut dia hakim tidak akan lantas percaya.

Baca juga: Hanura: Pilkada Bukan Soal Menang Kalah, Semangat Kader jadi Prioritas

"Misalnya capture berita di media sosial, dia (hakim) tidak mungkin membernarkan dan mengambil putusan berdasarkan berita di media sosial tersebut, meskipun dari media tepercaya, hakim pasti akan meminta bukti lain, seperti pengerahan massa, mana buktinya," ucap Ladoe Bariun.

Ketua Granat Sulawesi Tenggara ini juga menjelaskan, dalam memutuskan suatu perkara, hakim akan melihat hal-hal secara mendalam atau tidak hanya pada permukaan peristiwa saja.

"Hakim akan menggali hal-hal yang sifatnya lebih dalam. Dia akan cari alat bukti yang meyakinkan dirinya untuk mengambil keputusan," tuturnya

Laode Bariun yakin, jika MK akan menjunjung transparansi dalam sidang tersebut. Dia pun mengimbau jika ada pihak yang tak percaya dengan profesionalisme hakim, untuk melakukan pengawasan sesuai mekanisme pengawasan yang ada.

"Kita harus fair. Semua ini dilakukan dalam ruang yang transparan. Dalam pengadilan, khususnya MK, telah dibuat sedemikian rupa hakim kalau buat putusan harus pakai alasan tertulis, itu biasanya ada di bagian pertimbangan dalam keputusan. Bisa kita baca, hakim-hakim yang mungkin nanti tidak sepakat dengan hakim lainnya juga bisa menulis keputusannya dalam disenting opinion," pungkas Laode Bariun. (B)

Reporter: Siswanto Azis

Editor: Fitrah Nugraha

TOPICS