Keterlibatan Perempuan dalam Tindak Terorisme di Indonesia

Warsito Hadi

Penulis

Minggu, 09 Mei 2021  /  12:43 pm

Warsito Hadi, APN Kemhan. Foto: Ist.

Oleh: Warsito Hadi

APN Kemhan  

PADA Maret 2021 yang lalu, di tengah semua daya dana dan pikiran bangsa Indonesia untuk menanggulangi wabah pandemi COVID-19 yang belum berakhir, dikagetkan terjadi penembakan yang diduga aksi teror terjadi di Markas Besar Kepolisian, Jakarta Selatan, yang dilakukan seorang wanita berpakaian hitam berhasil dilumpuhkan jatuh tersungkur dan akhirnya meninggal.

Dilanjutkan penangkapan secara berturut-turut di berbagai di berbagai wilayah oleh Densus 88, dimana kurang lebih 100 orang diduga teroris ditangkap selama operasi pencegahan dan penindakan terorisme yang dilaksanakan sejak Januari hingga April 2021.

Tindak pidana terorisme menurut UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme adalah perbuatan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat masal, dana atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan.  

Menurut para pakar ada empat sudut pandang yang dapat dijadikan pijakan dalam membatasi pemahaman terorisme, pertama berkaitan dengan legalitas yaitu memahami terorisme sebagai aksi kelompok yang dilakukan untuk melawan penguasa yang sah, sehingga tindakan yang dilakukan dianggap sebagai sesuatu yang ilegal.

Kedua, kekerasan yaitu memahami terorisme selalu dikaitkan dengan kekerasan. Ketiga, terorisme selalu dikaitkan dengan upaya untuk mencapai tujuan, baik dalam bentuk ideologi, kekerasan, maupun yang lain, walaupun ada juga tindakan terorisme yang tidak jelas tujuan dan arahnya.

Keempat, kemiliteran yaitu dipahami bahwa tindakan terorisme dikaitkan dengan operasi dan tindakan seperti cara-cara yang dilakukan oleh militer.

Keterlibatan perempuan dalam tindak teroris telah terlihat sejak tahun 2000an, dan adanya pergeseran peran perempuan dalam aksi terorisme di Indonesia dalam dekade belakangan ini.

Baca juga: Gerak Politik PKS dengan Safari Ramadan

Pada kurun waktu 15 tahun (2001-2015), peran perempuan dalam aksi terorisme lebih pada invisble rules atau di belakang layar,dimana mereka bertugas sebagai operasional fasilitator, pembawa pesan, dan perekrutan namun juga berkembang juga sebagai alat propaganda, karena mereka memang berada di bawah radar.  

Peran perempuan mulai bergeser dari visible rules menjadi pelaku aktif ”pengantin” terlihat turut andil dalam aksi mereka sejak tahun 2016,  Dian Yulia Novi akan beraksi di depan Istana Presiden dan seterusnya.

Pada malam tahun baru 2017, Ika Puspitasari ditangkap polisi karena terbukti merencanakan aksi melakukan bom bunuh diri di Bali.

Maret 2019, Marnita Sari Boru Hutauruk alias Solimah, istri Asmar Husain alias Abu Hamzah yang meledakkan diri saat dikepung Densus di Sibolga.  

Dewi Anggraini, yang merupakan istri Rabbial Muslim Nasution (pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan), berencana melakukan aksi bom bunuh diri di Bali pada November 2019.

Pada bulan Februari 2020, dikejutkan oleh pasangan suami istri Ruille Zeke dan Ulfa (mantan ISIS) asal Indonesia  melakukan bom bunuh diri di Filiphina.

Peneliti hukum dan HAM LP3ES sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Milda Istiqomah mengatakan motivasi mengetahui alasan di balik keputusan perempuan bergabung dalam aksi terorisme, selain konteks jihad adalah perempuan tersubordinasi dimana salah satu penyebab karena ada perasaan-perasaan yang terpinggirkan, diskriminasi, tidak mendapat keadilan.

Baca juga: Redistribusi Alami Ekonomi Saat Mudik

Sedangkan alasan mengapa memanfaatkan perempuan dalam teroris karena apa yang dilakukan kaum perempuan tidak terlalu menonjol atau dapat mengelabuhi masyarakat atau aparat hukum serta dapat memberikan elemen taktis kejutan terutama ketika perempuan terlihat kurang cenderung dicurigai daripada pria.

Dalam rangka mencegah tidak mudah terkena paham radikalisme dan terorisme dalam masyarakat termasuk bagi perempuan, maka langkah-langkah yang dapat dilaksanakan sebagai berikut; pertama, mendorong pemerintah mempercepat pemerataan pembangunan dan penegakan hukum secara adil.

Kedua edukasi dan literasi melalui media massa (medsos) karena 73,7% penduduk Indonesia sudah terkoneksi jaringan internet dengan membuat video dan podcast yang berisi pesan-pesan kebangsaan seperti persatuan, kebhinekaan, toleransi, cinta tanah air, dan anti radikal terorisme melalui soft approach yang ditampilkan dalam bentuk konten-konten kreatif serta pembelajaran bahwa bahwa kemajemukan dan keanekaragaman merupakan kemustahilan, kekayaan dan anugerah Tuhan harus disyukuri dan tidak dipertentangkan oleh komponen bangsa.

Ketiga, memperbaiki sistem deradikalisasi dengan meningkatkan  kerjasama dengan lembaga keagamaan (NU dan Muhamadiyah) tokoh agama dan tokoh masyarakat.

Keempat, meningkatkan sinergisitas antar kementerian/lembaga secara sistematis, terpadu, dan berkesinambungan dalam strategi penanggulangan terorisme melalui soft-approach dengan tujuan pencegahan secara dini, dengan memahami, memperbaiki, serta selalu siap siaga dan menangkal secara dini penyebab terjadinya aksi terorisme dari akarnya.

Ke-lima, melaksanakan sosialisasi radikalisme dan terorisme bagi aparatur pemerintahan dan masyarakat secara tatap muka maupun melalui media agar mendapatkan pemahaman sesuai perundangan dan nilai keagamaan sehingga diharapkan dapat meningkatkan peran aktif dalam penangkalan paham radikalisme  dan terorisme dalam keluarga dan masyarakat.

Terakhir keenam, memperdayakan aparat di daerah (Babinsa dan Babikamtipmas) sebagai ujung tombak penangkalan dan deteksi dini pencegahan radikalisme dan terorisme. (*)