Gerak Politik PKS dengan Safari Ramadan
Efriza, telisik indonesia
Minggu, 09 Mei 2021
0 dilihat
Efriza, Dosen Ilmu Politik Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.
" Di antara pertemuan-pertemuan partai politik yang dilakukan PKS, yang menarik perhatian publik adalah PKS gencar menemui mitra koalisi di pemerintahan, padahal PKS hanya tinggal menyisakan satu silaturahim lagi dengan PAN. "
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
PARTAI Keadilan Sejahtera (PKS) dalam momentum Ramadan langsung bergeliat dengan politik silaturahim. Politik silaturahim PKS, dilakukan dengan mengunjungi PPP, Partai Demokrat, PDI Perjuangan, PKB, Partai Golkar, Partai Nasdem, dan Partai Gerindra.
Langkah PKS ini tentu saja disambut baik oleh partai-partai lain, sebagai momentum untuk menjalin mitra, memperoleh perhatian publik, wajar akhirnya orasi menyejukkan saling menyanjung menjadi konsumsi publik.
PKS tentu saja memiliki warna ideologi yang berbeda dengan partai lainnya, meski telah mendeklarasikan diri sebagai partai Islam terbuka.
Perbedaan, sekat antar partai-partai, sesegera hilang dalam pertemuan tersebut. Asumsi yang menyeruak di publik, upaya menjalin koalisi menghadapi Pemilu 2024, ada pula yang menyatakan PKS mencoba membangun politik kebangsaan setelah politik identitas.
Di antara pertemuan-pertemuan partai politik yang dilakukan PKS, yang menarik perhatian publik adalah PKS gencar menemui mitra koalisi di pemerintahan, padahal PKS hanya tinggal menyisakan satu silaturahim lagi dengan PAN. Tulisan ini ingin menganalisis gerak politik PKS.
Kekhawatiran PKS
Pasca Pilpres 2019 lalu, PKS mengalami kenaikan perolehan suara dan kenaikan peringkat dan lolos parliamentary threshold. PKS sebelumnya hanya memperoleh 7,88 persen dengan peringkat ketujuh, menjadi 8,21 persen dengan peringkat keenam.
Tetapi, PKS mengalami problematika permasalahan secara internal dan dalam kiprah politik di level nasional. Secara internal, PKS mengalami kerapuhan partai secara institusi, setelah terjadinya perpecahan di level elite dengan munculnya partai baru bernama Partai Gelora Indonesia.
PKS yang dulunya dianggap partai ideologis, partai yang kuat secara institusional, mengalami konflik dalam dua kubu yang digambarkan sebagai Faksi Keadilan dan Faksi Sejahtera. Faksi Keadilan dilabeli berhimpunnya orang-orang tua dan dengan gaya berpikir konservatif.
Sedangkan, Faksi Sejahtera dianggap kumpulan anak muda dengan dasar pembaharu, kubu ini dipimpin oleh Presiden PKS 2014 lalu yakni Anis Matta.
Baca juga: Pragmatisme Partai Politik
Kubu Anis Matta akhirnya memilih mendirikan Partai Gelora Indonesia. Partai Gelora tidak bisa dipandang sebelah mata sebagai kompetitor PKS, sebab Partai Gelora sejatinya merupakan pengeroposan kekuatan PKS dari dalam, berupa pembangkangan kader-kader terbaik partai baik dari level elite maupun tingkat grass root partai.
Bagi penulis, secara institusi PKS sedang mengalami tiga masalah fundamental, pertama, rapuhnya proses mekanisme konsensus konflik di tubuh PKS, kedua, melemahnya loyalitas kepartaian, dan ketiga, kerapuhan PKS dalam proses konsolidasi.
Kelemahan institusi PKS sebenarnya sudah mulai dapat dibaca sejak Pemilu 2004 lalu. Saat itu Hilmi Aminuddin sebagai Ketua Majelis Syuro PKS memegang kendali penuh terhadap kader-kadernya yang terpilih sebagai pejabat publik, sehingga pengelolaan partai menjadi bersifat tertutup, sedangkan Anis Matta menghendaki PKS menjadi partai terbuka dengan model demokrasi, (tirto.id, 18 Juli 2018).
Perkembangannya, PKS kian tak menentu arah, ketika pada 2009 lalu, PKS menyatakan dirinya sebagai partai terbuka, tidak lagi murni sebagai partai berbasis agama.
Perbedaan pendapat dalam pengelolaan partai antar dua faksi yang menyebabkan PKS mengalami perpecahan dan menghadirkan partai baru Partai Gelora Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya adalah seperti apa permasalahan kiprah politik PKS di level nasional?
Pasca Pilpres 2019, mitra koalisi PKS di Pilpres 2019 yakni Partai Gerindra memilih untuk mengakhiri berkoalisi bersama PKS dengan memilih berada di dalam pemerintahan.
Partai Gerindra secara resmi menerima tawaran untuk bergabung dalam koalisi pemerintahan dengan memperoleh 2 jabatan kursi menteri. Dibalik pisah koalisi dengan PKS, sebenarnya Partai Gerindra jengkel, karena politik identitas sebagai strategi kampanye menyebabkan partai Gerindra dianggap ambigu sebagai partai nasionalis.
Setelah ditinggalkan Partai Gerindra, maka mitra koalisi di luar koalisi pendukung pemerintah hanya tersisa PKS, PAN, dan Partai Demokrat. Kekuatan koalisi ini tidak memiliki suara yang cukup kuat untuk melawan kekuatan pendukung pemerintah, sebab ketiga partai itu hanya berjumlah 22,82 persen.
Baca juga: Redistribusi Alami Ekonomi Saat Mudik
Realitas yang turut mengikuti dalam perjalanan beberapa bulan tahun 2021 ini, Partai Demokrat dan PAN juga mengalami konflik internal, ikon PAN selama ini Amien Rais memilih untuk mendirikan partai baru yakni Partai Umat yang baru dideklarasikan.
Sedangkan Partai Demokrat, meski berhasil lolos dari kudeta melalui pengakuan kepengurusan yang sah diakui oleh Depkumham yakni kubu dari Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tetapi riak konflik internal masih akan terus berlangsung.
Persiapan dan Berbenah Diri
Kerapuhan secara institusi kepartaian yang terjadi pada ketiga partai di luar pendukung pemerintah. Menyadarkan PKS untuk melakukan pembenahan diri, di samping mempersiapkan diri menghadapi Pemilu 2024 mendatang.
Pembenahan secara internal, dilakukan dengan membranding ulang PKS, seperti mengganti logo partai sekaligus membangun semangat baru. Upaya konsolidasi internal tentu saja terus dilakukan PKS untuk mencegah terjadinya “bedol desa” kader-kader terbaik menuju kepada kekuatan kubu lawan yakni Partai Gelora Indonesia.
PKS juga menyadari iklim sistem multipartai di Indonesia, dengan juga pengaturan syarat presidential threshold yang masih sama dengan Pemilu 2019 lalu sebesar 20 persen, tentu PKS tak bisa berjalan sendiri. Apalagi Pemilu 2024 ke depan akan dilaksanakan Pemilu nasional serentak dan dilanjutkan Pemilu daerah serentak.
Menghadapi Pemilu nasional sebagai partai, PKS tidak ingin memilih preseden kurang bijak yang dilakukan oleh Partai Demokrat pada 2014 lalu, yang memilih untuk tidak berkoalisi dalam Pilpres 2014 lalu.
Partai tentu saja harus turut berkompetisi dalam memperebutkan kekuasaan, apalagi Pemilu 2024 situasinya mirip dengan Pemilu 2014 lalu, tidak adanya calon petahana. Ini menunjukkan setiap calon memiliki peluang yang sama untuk dicalonkan/dipasangkan dengan asumsi terbukanya kesempatan empat pasangan calon.
Kans PKS untuk mengajukan calon tentu sama besarnya dengan partai-partai lain, untuk itu PKS mencoba mengambil langkah lebih awal dan cepat dalam membangun koalisi.
Wajar dan rasional, PKS memilih menggembar-gemborkan pertemuan dengan partai-partai pendukung pemerintah, selain karena mayoritas partai pendukung pemerintah merupakan partai-partai besar, juga karena partai di luar koalisi pemerintah seperti Partai Demokrat dan PAN masih melakukan konsolidasi internal untuk menghadapi pesaingnya dari partai baru yang terjadi akibat konflik internal.
Baca juga: Hikmah Polemik Kamus Sejarah Indonesia
Meski begitu, diyakini PKS akan melakukan safari Ramadan kepada semua partai-partai yang berada di parlemen, PAN diyakini akan di sambangi apalagi PKS dan PPP juga mendengungkan keinginan membangun poros Islam pada Pemilu 2024.
Poros Islam acap dihembuskan setiap Pemilu tanpa petahana, seperti Pemilu 2014 lalu. Namun, penulis menyakini PKS melakukan silaturahim dengan dalih utamanya politik kebangsaan, dibandingkan dengan penjajakan berkoalisi, atau memilih bergabung sebagai pendukung pemerintah.
PKS sudah memperhitungkan kiprah politiknya. Saat ini, PKS dalam arus calon-calon presiden pada Pemilu 2024 mendatang, memang belum terlihat, meski sudah ada nama kader PKS Zulkieflimansyah, Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), mulai disebut potensial sebagai calon presiden dari poros Indonesia Timur.
Tetapi bisa diterka, PKS masih menghitung kekuatan dan kansnya, jika memang tidak memungkinkan, lebih baik PKS memilih menjadi bagian dari koalisi dibandingkan mengajukan calon presiden, tetapi tak punya kans untuk berkoalisi.
Meski begitu, kekuatan PKS sebagai partai secara level daerah, di tingkat lokal, PKS tak bisa dipandang sebelah mata. PKS di Pilkada 2020 kemarin, memenangkan sebesar 53,04 persen, PKS memenangkan 122 dari 230 Pilkada yang diikuti di wilayah Indonesia.
PKS memang lebih memperhitungkan membangun kekuatan pondasi partai di daerah-daerah, dengan lebih banyak berbicara di tingkat persaingan kepala-kepala daerah.
Jika di tingkat nasional, diyakini PKS lebih memilih berkeringat mengajukan diri sebagai mitra koalisi, tetapi di beberapa daerah-daerah, PKS akan lebih memilih sebagai pengusul dari pasangan calon yang memang PKS memiliki basis kekuatan mayoritas di daerah tersebut.
Geliat politik safari Ramadan PKS saat ini, bukan saja mengenai penjajakan untuk berkoalisi. Tetapi menunjukkan bahwa PKS juga ingin ikut tampil diperhatikan publik.
Geliat safari Ramadan juga menunjukkan mesin partai sedang melakukan konsolidasi, sekaligus unjuk popularitas terhadap kompetitor baru yang suka tidak suka akan lebih mengkhawatirkan menjadi pemicu besar dari terjadinya eksodus anggota-anggota PKS sebagai kekuatan pendukung Partai Gelora Indonesia. (*)