Perokok Anak Meningkat, Alarm Sektor Kesehatan Indonesia
Zaenal Abidin, telisik indonesia
Minggu, 30 Juni 2024
0 dilihat
Zaenal Abidin, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia periode 2012-2015. Foto: Ist.
" Adiksi nikotin merupakan salah kendala dari aspek biologis atau fisiologis yang dapat membuat pasien kembali merokok meskipun telah mengalami berbagai penyakit sebagai dampaknya "
Oleh: Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia periode 2012-2015
TAHUN 2008, PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) membuat film dokumenter dalam rangka memperingati “Seabad Kebangkitan Nasional dan Seabad Kiprah Dokter Indonesia.” Dalam film terdapat bagian yang cukup menyita perhatian orang-orang yang menyaksikannya. Bagian tersebut menampilkan dua balita pribumi kurus tak berbaju sedang asyik mengepulkan asap rokok.
Perkiraan penulis, rokok itu dipungut dari puntung orang-orang Belanda. Boleh jadi kedua boca pribumi itu meniru orang Belanda. Bahwa dengan merokok mereka akan berpenampilan seperti orang-orang Belanda. Keduanya tentu tidak tahu bahwa puntung rokok yang diisapnya itu mengandung zat kimia yang sangat berbahaya.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setelah ujung depan rokok itu dibakar kemudian dihisap maka rokok akan mengeluarkan lebih dari 7.000 jenis bahan kimia. Sekitar 400 diantaranya merupakan zat beracun dan 69 di antaranya mampu berakumulasi dalam tubuh hingga berpotensi menjadi karsinogenik.
Di antara bahan kimia yang ada di dalam rokok terdapat zat radioaktif (ponium-201) dan bahan-bahan yang digunakan di dalam cat (acetone), pencuci lantai (ammonia), naphtalene, racun serangga (DDT), arsneic dan gas beracun (hydrogen cyanide) yang digunakan di “kamar gas maut” bagi narapidana yang menjalani hukuman mati.
Karena itu, ketika tersiar berita bahwa jumlah perokok aktif di Indonesia bertumbuh pesat melebihi 70 juta orang, dengan mayoritas anak muda, tentu membuat sebagian masyarakat tersadar. Mengapa tersadar? Sebab, mereka tahu kalau risiko merokok bagi kesehatan generasi penerus bangsa.
Sakit Akibat Rokok
Dari semua zat di dalam rokok, yang paling berbahaya adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida. Tar mengandung kurang lebih 43 bahan karsinogenik. Nikotin menyebabkan perokok berisiko mengalami penyakit jantung dan pembuluh darah. Selain itu, nikotin juga merupakan zat adiksi nomor wahid dibanding kokain, morfin, kafein dan alkohol. Hal ini menjadi penyebab mengapa pengguna rokok sulit sekali berhenti merokok.
Adiksi nikotin merupakan salah kendala dari aspek biologis atau fisiologis yang dapat membuat pasien kembali merokok meskipun telah mengalami berbagai penyakit sebagai dampaknya. Hal ini dapat terlihat dari 60% pasien infar miokard, 50% pasien laringetomi, dan 50% pasien pasca pneumonektomi yang telah sembuh, yang kembali lagi pada kebiasaan merokoknya. Nikotin mempengaruhi perasaan, pikiran, dan fungsi pada tingkat seluler.
Kendala dari aspek biologis atau fisiologis lainnya adalah efek putus nikotin (withdrawal effect). Perokok dapat mengalami gejala efek putus nikotin, mulai dari sakit kepala, mual, konstipasi, batuk, sulit konsentrasi, susah tidur, sering merasa lapar, mudah marah, dan bahkan merasa stres.
Gejala efek putus nikotin umumnya timbul 4-6 jam setelah lepas nokotin pada seseorang perokok reguler. Gejala biasanya mencapai puncak pada beberapa hari pertama dan bisa berlangsung sampai 2-4 minggu selama berhenti merokok. Pada kondisi ini perokok sering berusaha mempertahankan kadar nikotin serum minimal untuk mencegah efek putus nikotin yang terjadi dan mempertahankan efek nyaman dari nikotin dengan kembali merokok.
Baca Juga: Isu Hak dan Pilihan Bebas di Balik Sebatang Rokok
Berikutnya, karbon monoksida pada rokok. Karbon monoksida yang terisap bersama asap ini akan mengikat hemoglobin dara sehingga kemampuannya mengikat oksigen menjadi berkurang. Akibatnya, fungsi otot dan jantung akan menurun. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kelelahan, lemas, dan pusing. Dalam skala besar, orang yang menghirup gas ini bisa mengalami koma atau bahkan meninggal.
Jika hal ini berlangsung sejak usia anak-anak maka kemapuan otaknya pun akan berkurang. Dalam buku “Halal Haram Rokok Hingga Hukum Kebiri,” dr. Kartono Mohamad mengutip hasil penelitian Paula Rantakallio terhadap remaja perokok di Finlandia, yang melaporkan bahwa remaja yang sudah merokok sejak usia 14 tahun mempunyai prestasi sekolah dan olahraga yang rendah.
Penyakit terkait rokok adalah penyakit yang terjadinya berhubungan atau terkait dengan faktor pajanan asap rokok, baik aktif (pada seseorang yang merokok) maupun pasif (pada seseorang yang tidak merokok namun terpajan asap rokok lingkungan. Penyakit yang berhubungan dengan rokok ini telah banyak terdokumentasikan.
Setidaknya panyakit terkait rokok ini terdokumentasi dengan baik di dalam buku “Pedoman Diagnosis Penyakit Terkait Rokok" yang diterbitkaan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) tahun 2012. Terdapat 15 penyakit terkait rokok dan mekanismenya terangkum di dalam buku ini. Dan, tentu saja terdapat langkah-langkah diagnosis, pencegahan, dan tata laksana di dalamnya.
Kelima belas penyakit tersebut, yakni: stroke iskemik (infark serebri), penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh arteri perifer, kanker, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), asma, infeksi saluran pernapasan, gangguan pada kehamilan dan janin, dampak merokok terhadap ukuran janin, dampak merokok terhadap perkembangan neurologis dan kognitif, bayi berat lahir rendah (BBLR), sudden infant death syndrome (SIDS), gangguan kesuburan (infertilitas) dan impotensi, gangguan reproduksi perempuan, dan terakhir diabetes.
Trend Merokok pada Anak dan Remaja
Pada peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS), 31 Mei 2024, yang mengangkat tema “Lindungi Anak dari Campur Tangan Industri Produk Tembakau”. Ketika itu terungkap hasil survei yang mengatakan bahwa anak-anak berusia 13-15 tahun di sebagian besar negara secara konsisten menggunakan produk tembakau dan nikotin.
Pada momen HTTS ini pula terungkap bahwa Indonesia dihadapkan pada bahaya pertumbuhan perokok aktif, terutama pada anak dan remaja. Pertumbuhan perokok aktif ini tidak terlepas dari industri produk tembakau yang gencar memasarkan produknya.
Menjadikan anak dan remaja sebagai target pemasaran, tentu bukan suatu kebetulan. Industri rokok sangat mengerti sifat anak dan remaja yang suka meniru gaya hidup orang yang dikagumi. Seperti halnya balita pribumi ratusan tahun lalu, yang meniru gaya mengisap rokok orang-orang Belanda.
Anak dan remaja itu peniru ulung. Mereka sangat mudah terpengaruh oleh agresivitas iklan pemasaran rokok, yang terus-menerus membombardir dari segala penjuru. Seperti iklan pencitraan dan cuci otak, yang seolah-olah merokok itu keren, gaul, setia kawan, berani, berjiwa petualang, dan seterusnya. Atau dengan menciptakan istilah atau akronim guna menyasar berbagai kelompok usia, terutama anak dan remaja. Seperti, YAUS (Young Adult Urban Smokers), YAFS (Young Adult Female Smokers) dan YAMS (Young Adult Male Smokers).
Dibanding menarget orang dewasa yang tinggal menunggu sisa usia dan belum tentu mudah dipengaruhi, tentu lebih menguntungkan bila menarget anak dan remaja. Belum lagi sebagian dari orang dewasa sudah merokok dan juga sudah punya pilihan merek sendiri. Karena itu, mempengaruhi anak dan remaja dapat dipastikan lebih strategis. Karena itu, anak dan remaja ini perlu mendapatkan perlindungan dari negara dan pemerintah.
Setidaknya terdapat enam alasan mengapa anak dan remaja perlu dilindungi dari rokok. Pertama, biaya untuk memulihkan akibat dari kegagalan memberikan perlindungan anak dan remaja sangat tinggi; Kedua, melindungi anak dan remaja sebagai investasi masa depan bangsa dan negara; Ketiga, anak dan remaja seringkali mengalami pemisahan atau kesenjangan dalam pemberian pelayanan publik.
Baca Juga: Tandus Nilai Agama, Tindak Asusila Marak di Kampus
Keempat, anak dan remaja tidak punya hak suara dan kekuatan lobi untuk mempengaruhi agenda kebijakan pemerintah; Kelima, dalam banyak hal anak dan remaja sering tidak dapat mengakses perlindungan dan pentaatan hak-haknya; Keenam, anak dan remaja lebih beresiko dalam eksploitasi dan penyalahgunaan.
Catatan Akhir
Meroketnya angka perokok pada anak dan remaja tidak boleh dianggap remeh. Sebab, ini soal masa depan bangsa. Karena itu, mereka yang punya kepedulian akan nasib dan masa depan bangsanya seharusnya bergerak secara bersama-sama untuk melakukan upaya mencegah dan mengatasinya.
Upaya pencegahan, misalnya: 1) Mengaktifkan kampanye bahaya merokok bagi kesehatan; 2) Menyediakan layanan berhenti merokok secara luas dan mudah dijangkau; 3) Memasukkan penyakit akibat merokok ke dalam kurikulum sekolah; 4) Pembentukan teman sebaya atau komunitas anak dan remaja, “Sehat Cerdas Tanpa Merokok”; 5) Mendorong siswa untuk membuat konten kreator, “Sehat Cerdas Tanpa Merokok”.
Selanjutnya, 6) Meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum bagi perokok dan penjual rokok di area bermain anak-anak dan remaja; 7) Pengawasan dan penegakan hukum atas Permendikbud RI Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah; 8) Memperketat regulasi terkait tembakau, termasuk pembatasan iklan rokok dan peningkatan tarif pajak tembakau.
Langkah di atas bukan saja tanggung jawab pemerintah, tetapi merupakan upaya bersama untuk menciptakan masa depan bangsa Indonesia yang lebih sehat. Meski demikian, pemerintahlah yang memiliki tanggung jawab paling besar. Sebab, pemerintah yang diamanahi oleh konstitusi untuk menyehatkan rakyat. Lagi pula, bukankan industri rokok sering berkata bahwa pihaknya sudah memberi banyak kepada pemerintah.
Kini saatnya pendulun kebijakan negara dan pemerintah berpihak kepada kepentingan kesehatan rakyatnya sendiri dengan mencegah generasi bangsa menjadi sakit dan bodoh akibat rokok. Mencegah dijadikannya anak dan remaja negeri sebagai target pemasaran rokok, dengan dalih sponsorship event olahraga, seni dan musik, film anak-anak, dan sebagainya.
Melindungi anak dan remaja dari derita sakit dan kematian akibat merokok harus menjadi gerakan rakyat semesta. Meningkatnya perokok anak dan remaja di negeri ini adalah alarm serius bagi kesehatan bangsa ini. Lebih serius dari sekadar wacana kurangnya dokter spesialis, naturalisasi dokter asing, dan tidak ilmiahnya penggunaan stetoskop. Wallahu a'lam bishawab. (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS