Laporan Ajudan Gubernur Soal Pencemaran Nama Baik Dinilai Cacat Hukum, Begini Kata Advokad

Aris

Reporter Buton Utara

Jumat, 21 Januari 2022  /  8:57 pm

Praktisi hukum, Apri Awo (kanan) bersama rekannya. Foto: Ist

BUTON UTARA, TELISIK.ID - Praktisi Hukum Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Apri Awo turut berkomentar soal laporan dugaan pencemaran nama baik terhadap Gubernur Sultra, Ali Mazi yang diajukan Ajudannya, Ulil Amri dinilai cacat hukum.

Menurut Apri Awo, jika terkait pencemaran nama baik, harusnya yang bersangkutan sendiri melaporkan. Itu tidak bisa diwakili terkecuali kuasa hukum bersangkutan.

"Karena yang merasakan sendiri kan pribadi yang bersangkutan, bukan orang lain," jelas Advokad Apri Awo ketika dihubungi melalui sambungan teleponnya, Kamis (20/1/2022).

Kata dia, ketika diwakili maka sudah tidak memenuhi unsur, baik materil maupun non materil. Karena yang bersangkutan sendiri yang harus melaporkan secara langsung kerugian materil maupun non materil dalam bentuk laporan ke pihak kepolisian.

"Atau kuasa hukumnya, kuasa ini kan hanya atas nama, tapi yang melaporkan ini sesungguhnya adalah orang yang merasa tercemar kan," ujarnya.

"Tapi kalau orang lain tanpa kuasa hukum, saya kira itu cacat prosedural dan saya yakin kalau penegak hukum dalam hal ini kepolisian menerima laporan itu kemudian melanjutkan proses pidananya saya kira cacat," jelasnya melanjutkan.

Ia juga menegaskan, orang yang merasakan langsung bukan orang lain yang sibuk mengurusi, tapi pribadi yang bersangkutan sendiri. Kemudian konteks pencemaran nama baik itu adalah orang yang merasakan langsung bahwa orang yang bersangkutan merasa memang dia dicemarkan nama baiknya.

"Kita bisa mengukur dalamnya perasaannya orang. Sejauh mana perasaannya orang itu terluka? Misalnya tadi RI satu, meski mereka membuatkan karikatur yang buruk tapi perasaan hatinya bisa menerima misalnya seperti itu, maka tidak merasa dicemarkan nama baiknya," ungkap Apri Awo.  

Alumni Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK) ini menerangkan, jika orang lain yang membawa perasaan ini jelas akan terasa bahwa gubernur itu bukan dilihat sebagai gubernurnya tapi selaku Ali Mazi-nya.

"Dan orang-orang terdekatnya itu keluarganya, pasti orang tersinggung kalau pada posisi itu. Tapi karena posisi Ali Mazi sebagai gubernur dan yang melakukan aksi itu adalah rakyatnya maka dia tersinggung begitu. Itu yang harus dicermati oleh penegak hukum ini," jelasnya.

"Namum dalam proses pencemaran nama baik, baik ITE maupun non ITE sudah ada Protap baru kemarin bahwa itu diselesaikan secara mediasi," lanjut Apri Awo.

Apri Awo berharap dalam penafsirannya nanti, utamanya kepolisian yang menerima laporan itu bisa melakukan klarifikasi dan tahapan mediasi soal pencemaran nama baik.

Terlebih UU ITE memang jika melihat dari subjek hukumnya bukan yang merasa dirugikan secara materil maupun non materil dalam konteks pencemaran nama baik yang melakukan pengajuan laporan, tapi dalam proses kepolisian menerima laporan itu mencari solusinya dalam proses ini. Artinya, tidak juga yang dirugikan, laporan tetap diterima tapi dalam konteks meja hijau sudah melalui proses hukum.

"Jadi untuk bisa memenuhi unsur pencemaran nama baik harus Pak gubernur sendiri yang melapor, atau melalui kuasa hukumnya. Pencemaran nama baik itu kan terjemahannya barang siapa dengan sengaja melakukan pencemaran," ungkap Apri Awo.  

Apri menjelaskan, yang dimaksud pencemaran nama baik itu kan dalam konteks kemarin kalau dibuka Undang-Undang di pasal 310 KUH Pidana, yang berbunyi: (1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya.

"Di pasal 315 itu kapan begitu? Tapi ini kan dalam konteks perbuatan, kemudian masyarakat menilai ketika menjadi wacana di media yang disajikan dalam bentuk tertulis, selanjutnya dalam konteks perbuatan nya adik-adik kita waktu itu melakukan aksi," kata Apri.

Meski demikian, Apri kembali menegaskan, pada intinya kembali pada pihak yang merasa dirugikan. Apakah kembali mengunakan rasa, lalu rasa orang yang dicermarkan nama baiknya kembali diceguh kemudian dicermarkan.

"Saya juga belum tahu siapa yang melaporkan, apakah Pak Gub langsung atau kerabatnya? Kalau kerabatnya itu bisa di-SP3 sih," kata Apri Awo.

Apri Awo juga menilai, dalam laporan tersebut harusnya dibedakan dua hal. Pertama Ali Mazi sebagai individu dan kedua, Ali Mazi sebagai Gubernur Sultra selaku pemerintah. Dalam posisi Ali Mazi sebagai individu, tentu tidak bisa juga disalahkan kerabatnya melaporkan hal itu.

"Tapi ketika melihat Ali Mazi sebagai gubernur, maka lain lagi kacamata yang dipakai bahwa yang melakukan aksi itu adalah rakyatnya gubernur. Artinya kami sudah kaji, bahwa misalnya waktu SBY dibuatkan karikatur gambar kerbau, tapi posisi itu SBY tidak melaporkan karena memang dia sebagai presiden," katanya.

Sehingga menurut Apri Awo, tidak mungkin ada asap jika tidak ada api. Tuntutan masyarakat Buton Utara adalah janji politik Gubernur Sultra Ali Mazi ketika mencalonkan sebagai gubernur bersama Lukman Abunawas, jika ketika jadi Gubernur Sultra, maka jalan Buton Utara ke Baubau itu akan diaspal.

"Mereka ini menagih janji, dan akan terbuka maka saya lihat tak mungkin Ali Mazi dalam kapasitas dia sebagai gubernur ketika ditagih janjinya, kemudian dia melaporkan orang yang menagih janji," ungkapnya.

Apri Awo juga merasa heran dan mempertanyakan mengapa harus ditangkap. Jika ditangkap, berarti penyidik sudah mengantongi dua alat bukti yang sah. Pertanyaannya, alat bukti mana? Mungkin saja kata dia, foto alat bukti waktu aksi, selanjutnya ada surat aksi selaku SDPnya.

"Dan tinjauan kepolisian apa ketika orang dihina, lalu orang lain bisa melaporkan itu? Sementara itu bukan pidana umum. Itu tindak pidana aduan, maka dalam dilik aduan yang merasa dirugikan lah yang berhak membuat laporan atau diwakili oleh kuasa hukumnya," tegas Apri Awo.

Baca Juga: Meski Harga Minyak Goreng Mahal, Pedagang Gorengan Enggan Naikan Harga

Apri mengatakan, kuasa hukum pun hadir di sana sesuai permintaan klien, bukan pribadi kuasa hukum. Sehingga ia mempertanyakan, apakah yang melaporkan itu adalah kerabat dalam tanda petik keluarga? Atau dia sebagai kuasa hukum.

"Kalau kuasa hukum, lain cerita, bisa proses. Kemudian dengan karprotes justis ini kepolisian tidak serta merta sih melakukan proses gelar perkara. Mudah-mudahan itu tahap klarifikasi, dari pihak pelapor kemudian terlapor, lalu biasanya dicari proses penyelesaian di kepolisian," katanya.

Untuk diketahui, seorang mahasiswa asal Kabupaten Buton Utara (Butur) ditangkap Kepolisiam Daerah (Polda) Sultra atas dugaan pencemaran nama baik Gubernur Sultra, Ali Mazi saat demonstrasi jalan rusak di pertigaan Desa Ronta, Kecamatan Bonegunu, Kabupaten Butur, pada (2/12/2021) lalu.

Mahasiswa tersebut bernama Baada Yung Hum Marasa. Ia ditangkap di kediamannya di lorong wasula, Desa Lanoipi, Kecamatan Bonegunu, Kabupaten Butur, Senin (17/1/2022) pukul 22.00 Wita.

Sebelumnya pada 2 Desember 2021, puluhan mahasiswa bersama warga Butur membuat replika Kuburan Gubernur Sultra, Ali Mazi di pertigaan Desa Ronta, Kecamatan Bonegunu, Kabupaten Butur.

Replika kuburan Ali Mazi itu dibuat lantaran warga Butur kesal, Gubernur Ali Mazi belum memenuhi janji politiknya untuk melakukan perbaikan jalan provinsi di Kabupaten Butur.

Warga Butur yang membuat replika kuburan Ali Mazi tersebut pada saat melakukan aksi unjuk rasa menuntut perbaikan jalan di Kabupaten Butur.

Baca Juga: Video Sambangi dan Cium Tangan Pengamen Tuna Netra Viral, Kapolres Muna Panen Pujian

Replika kuburan itu juga dipasangkan foto Gubernur Ali Mazi, sampai malam hari warga juga mengelilingi replika Kuburan Gubernur Ali Mazi dengan lilin.

Dalam unjuk rasa ini, puluhan warga Butur tidak segan-segan memblokade jalan untuk menutup akses jalan di pertigaan Desa Ronta yang menghubungkan Maligano-Ronta-Ereke-Baubau. (C)

Reporter: Aris

Editor: Kardin