Liputan6.com Kecam Aksi Doxing kepada Jurnalisnya dan Tempuh Jalur Hukum

Muhammad Israjab

Reporter

Sabtu, 12 September 2020  /  2:29 pm

Jurnalis liputan6.com mendapatkan perlakuan doxing dengan penyebarluasan data pribadinya dan ini mendapat kecaman. Foto: Repro google.com

JAKARTA, TELISIK.ID - Liputan6.com mengecam tindakan doxing yang menimpa jurnalisnya, Cakrayuri Nuralam.

Pimpinan Redaksi Liputan6.com Irna Gustiawati mengatakan, pihaknya akan menempuh jalur hukum atas aksi tersebut.

Cakrayuri Nuralam, jurnalis Liputan6.com, mengalami doxing atau menyebarluaskan informasi pribadi di jagad maya, karena menulis artikel Cek Fakta terkait Politikus PDIP Arteria Dahlan.

Irna mengatakan, aksi doxing kepada Cakra sangat berbahaya. Terlebih, aksi doxing ini dengan mencantumkan link yang mengarah kepada alamat rumah, foto keluarga, termasuk foto anak bayi Cakra yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan materi berita yang ditulis.

Doxing dialami oleh Cakra usai memverifikasi klaim yang menyebut politikus PDI Perjuangan, Arteria Dahlan merupakan cucu pendiri PKI di Sumatera Barat, Bachtaroeddin.

"Karena itu kami akan menempuh jalur hukum untuk merespons tindakan ini. Karena doxing adalah bentuk tindakan kekerasan dan jelas sangat berbahaya," kata Irna dalam keterangannya, dikutip dari merdeka.com, Sabtu (12/9/2020).

Dia menegaskan pihak yang keberatan dengan pemberitaan Liputan6.com seharusnya menempuh jalur yang telah diatur dalam Undang-undang Pers Nomor 40 tahun 1999. Sebab, kerja-kerja jurnalistik telah diatur UU Pers, Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Media Siber.

"Wartawan tidak bekerja atas nama pribadinya, melainkan atas nama institusi dan dalam sistem yang dilindungi serta sekaligus patuh pada ketentuan undang-undang pers," tambahnya.

Selain itu Irna menegaskan, menjadikan wartawan sebagai sasaran dengan melakukan tindakan kekerasan seperti doxing, bukan saja salah alamat, tapi sangat berbahaya.

Sementara, Direktur LBH Pers Ade Wahyudin, menyatakan, doxing adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap wartawan.

Saat ini jurnalis banyak terkena doxing berupa mempublikasikan nomor, link akun media sosial, dan pendidikan.

Baca juga: Ini Jadwal Libur Nasional dan Cuti Bersama 2021

"Doxing semacam ini bukan yang pertama kali terjadi. Okelah saat ini kita belum memiliki aturan terkait dengan perlindungan data pribadi tapi dengan melihat motif, saya pikir peristiwa doxing adalah bentuk hambatan pekerjaan terhadap pers," katanya, Sabtu (12/9/2020).

LBH mencatat, setidaknya ada tiga jurnalis Cek Fakta yang sudah terkena doxing pada tahun ini. Dua jurnalis lain adalah dari media Tempo.

Ade menilai, ini terjadi karena belum adanya aturan yang lebih tegas soal penyebaran informasi data pribadi sehingga pada pelakunya tidak bisa diseret ke meja hijau.

Bahwa Ade melanjutkan, di dalamnya ada intimidasi, pelecehan, atau ancaman kekerasan.

"Itu bisa ditindaklanjuti ke proses hukum. Karena itu sekarang dipantau saja apakah akibat dari penyebaran informasi itu terdapat intimidasi, ancaman kekerasan, pelecehan. Tinggal dimonitoring sambil kemudian teman-teman yang lain untuk melaporkan akun si penyebar doxing," papar dia.

Bermula saat Cakra, sapaan Cakrayuri Nuralam, mengunggah artikel Cek Fakta berjudul "Cek Fakta: Tidak Benar Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Cucu Pendiri PKI di Sumbar", pada 10 September 2020. Artikel tersebut memuat hasil konfirmasi terkait klaim yang menyebut Politikus PDIP tersebut merupakan cucu dari pendiri PKI Sumatera Barat, Bachtaroedin.

Sehari kemudian, serangan doxing mulai terjadi pada Jumat 11 September 2020, dengan skala massif. Sekitar pukul 18.20 WIB, akun Instagram @d34th.5kull mengunggah foto korban tanpa izin dengan keterangan foto sebagai berikut:

"mentioned you in a comment: PEMANASAN DULU BRO?? No Baper ye jurnalis media rezim. Hello cak @cakrayurinuralam. Mau tenar kah, ogut bantu biar tenar ????. #d34th_5kull #thewarriorssquad #MediaPendukungPKI," tulis akun tersebut dalam unggahannya.

Tidak hanya itu, akun Instagram cyb3rw0lff__, cyb3rw0lff99.tm, _j4ck__5on__, dan __bit___chyd_____, menyusul dengan narasi serupa sekitar pukul 21.03 WIB, akun @d34th.5kull mengunggah video dengan narasi:

"mentioned you in a comment: Demi melindungi kawannya yang terjebak dalam pengeditan data di Wikipedia,oknum jurnalis rela melakukan pembodohan publik Dan diikuti oleh team kecoa nya di masing-masing media rezim, sementara kita buka dulu 1 monyetnya...sisanya next One ShootOne Kill ??????????????," tulis akun-akun tersebut yang juga membeberkan sejumlah alamat surel Cakra dan juga akun-akun sosial media yang dimilikinya dan nomor telepon seluler.

Baca juga: Rawan Terpapar COVID-19, DPR RI Imbau Ibu-Ibu Tunda Kehamilan

Unggahan serupa juga dibuat oleh akun __bit___chyd____. Mereka membuat video dan mengambil data korban di media sosial. Selanjutnya pada pukul 22.10 WIB, akun Instagram i.b.a.n.e.m.a.r.k.o.b.a.n.e juga mengunggah video serupa.

Setidaknya terdapat empat akun yang teridentifikasi melakukan doxing terhadap Cakra terkait unggahan artikel tersebut sebelumnya. Mereka adalah: 1. https://www.instagram.com/cyb3rw0lff99.tm/2. https://www.instagram.com/d34th.5kull/3. https://www.instagram.com/cyb3rw0lff__/4. https://www.instagram.com/_j4ck__5on___

Berdasarkan penelusuran, dari satu akun tersebut beberapa akun lainnya ikut me-repost unggahan ke jejaring media sosialnya hanya dalam hitungan jam.

Dikutip dalam siaran pers Dewan Pers, 31 Agustus 2020, kasus doxing juga dialami beberapa media dan awak media nasional beberapa pekan lalu. Situs Tempo.co mengalami peretasan pada 22 Agustus 2020 yang menyebabkan tampilan laman berita menjadi hitam dan sejumlah pesan yang menyudutkan redaksi.

Tirto.id mengalami hal serupa, dimana artikel yang menuliskan kontroversi temuan vaksin COVID-19 yang menyinggung keterlibatan dua lembaga negara mendadak hilang. Begitu pula dengan Kompas.com dan Detik.com.

Dewan Pers mengartikan doxing sebagai tindakan penyebaran informasi pribadi wartawan kepada publik tanpa seizin yang bersangkutan.

Dewan Pers mengimbau bila ada sengketa informasi dalam setiap pemberitaan, hendaknya diselesaikan dengan mekanisme yang diatur di dalam UU Pers Nomor 40 tahun 1999.

Dan semua pihak menghindari tindakan-tindakan yang mengarah pada teror dan pembungkaman.

Reporter: Muhammad Israjab

Editor: Haerani Hambali