Mengambil Upah dari Mengajar Al-Qur'an, Apakah Boleh?

Irawati

Reporter

Kamis, 09 Desember 2021  /  4:58 pm

Mengajarkan Al-Qur'an. Foto: Repro republika.co.id

KENDARI, TELISIK.ID - Mengajarkan Al-Qur'an, yaitu mengajari orang lain cara membaca Al-Qur’an yang benar berdasarkan hukum tajwid.

Mengajarkan ilmu-ilmu lain secara umum atau menyampaikan sebagian ilmu yang dimiliki kepada orang lain adalah perbuatan mulia dan mendapatkan pahala dari Allah SWT.

Ketika seseorang mempelajari dan mengajarkan Al-Qur'an, seseorang akan mendapatkan nilai pahala yang tinggi. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Sebaik-baik kalian adalah siapa yang memperlajari Al-Qur'an dan mengamalkannya.” (HR. Bukhari).

Akan tetapi, tidak sedikit dari masyarakat Muslim yang menjadikan keahliannya dalam membaca Al-Qur’an sebagai mata pencaharian. Misalnya, dengan cara mengajarkan Al-Qur’an atau membaca Al-Qur’an pada momen-momen tertentu, seperti pada sebuah acara seremonial di beberapa hari besar Islam.

Sebenarnya bolehkah bagi mereka mengambil upah atas jasa membaca Al-Qur’an atau mengajarkan Al-Qur’an yang telah mereka lakukan?

Melansir dari islam.nu.or.id, dalam hadis telah dijelaskan beberapa kejadian yang dialami oleh para sahabat dalam menyikapi hal di atas, misalnya seperti yang tercantum dalam hadis shahih berikut:

Diriwayatkan dari Sahabat Abi Said Al-Khudri Radliyallahu ‘Anhu bahwa sekelompok sahabat mendatangi suatu kabilah dari beberapa kabilah Arab, namun mereka tidak mempersilahkan masuk terhadap para sahabat.

Hal itu terus berlangsung, sampai suatu ketika pemuka kabilah tersebut digigit (ular), lalu mereka berkata "Apakah kalian membawa obat atau adakah orang yang bisa meruqyah?" para sahabat pun menjawab, "kalian tidak mempersilakan masuk pada kami, kami tidak akan meruqyahnya (mengobatinya) sampai kalian memberikan upah pada kami."

Lalu, mereka pun memberikan beberapa potongan kambing sebagai upah, lalu seorang sahabat membaca Surah Al-Fatihah, dan mengumpulkan air liurnya lalu mengeluarkannya (baca: melepeh) hingga, sembuhlah pemuka kabilah yang tergigit ular, dan mereka memberikan kambing.

Para sahabat berkata, "kami tidak akan mengambilnya, sampai kami bertanya pada Rasulullah SAW." Mereka pun menanyakan, perihal kejadian tersebut pada Rasulullah, beliau lalu tertawa dan berkata: "Apa itu Ruqyah? Ambillah, dan berilah bagian untukku.” (HR. Bukhari).

Dalam beberapa redaksi hadis yang lain, Rasulullah SAW melanjutkan perkataannya kepada para sahabat:

“Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah (membaca) kitab Allah.” (HR. Bukhari).

Menanggapi hadis di atas, salah satu pemuka ulama Mesir, Syekh Abdullah bin Shidiq al-Ghumari menjadikan hadis tersebut sebagai hujjah atas bolehnya mengambil upah atas bacaan Al-Qur’an, beliau menjelaskan dalam himpunan fatwanya:

“Berdasarkan hadis ini, dapat ditarik kepahaman bahwa mengambil upah atas membaca Al-Qur’an adalah hal yang diperbolehkan, sebab Nabi membiarkan sahabat untuk mengambil kambing sebagai ganti atas bacaan mantra berupa Surah Al-Fatihah dan beliau mengambil bagian (atas kambing tersebut) bersama mereka, lalu beliau mengglobalkan hukum dengan berkata:

"Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah (membaca) kitab Allah."

Dalil ini, merupakan paling kuat yang mengindikasikan pengglobalan hukum (boleh). Sedangkan hadis “Bacalah Al-Qur’an, jangan menjadikannya kering, jangan menjadikannya mahal dan jangan (mencari) makan dengan Al-Qur’an,” adalah hadis yang lemah, sanadnya terputus.

Jika dikira-kirakan keshahihan hadis tersebut, maka sesungguhnya hadis yang telah dijelaskan di atas lebih shahih dan lebih kuat, sebab terdapat dalam dua kitab shahih (Bukhari Muslim). Sedangkan hadis ini terdapat dalam kitab Musnad Ahmad. Sedangkan kitab musnad tidak tertentu (mencantumkan) hadis shahih saja, tapi di dalamnya juga terdapat hadis yang lemah, seperti halnya keterangan yang telah diketahui. (Syekh Abdullah bin Shidiq al-Ghumari, al-Hawi fial-Fatawi al-Ghumari, hal. 36).

Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kajian lintas mazhab, ulama mazhab Hanafi berpandangan berbeda. Mereka berpendapat bahwa mengambil dan memberi upah atas bacaan Al-Qur’an, merupakan hal yang terlarang bahkan tergolong sebagai perbuatan yang mengakibatkan dosa.

Berbeda halnya menurut mazhab yang lain yang notabene memperbolehkan hal di atas. Perbedaan pendapat ini secara sistematis disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:

“Ulama Hanafiyah menegaskan bahwa tidak boleh membaca Al-Qur’an dengan adanya imbalan dan hal tersebut tidak mengakibatkan wujudnya pahala, orang yang mengambil dan memberi upah sama-sama terkena dosa."

Realita yang terjadi pada masa kita berupa membaca Al-Qur’an di sisi kubur dan di tempat umum merupakan hal yang tidak diperbolehkan secara "syara." Akad ijarah (menyewa jasa) atas bacaan Al-Qur’an, merupakan hal yang batal dan hukum asal dari akad ijarah atas mengajar Al-Qur’an adalah tidak diperbolehkan.

Tetapi, ulama muta’akhirin (kontemporer) memperbolehkan akad ijarah atas mengajar Al-Qur’an dengan dalil istihsan. Begitu juga pada hal-hal yang berhubungan dengan syiar agama, seperti menjadi imam dan muazin karena merupakan suatu kebutuhan.  

Imam Malik dan Imam Syafi’i memperbolehkan mengambil upah atas bacaan Al-Qur’an dan mengajarkannya. Pendapat demikian, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Qalabah, Abu Tsur, dan Ibnu Mundzir, sebab Rasulullah SAW pernah menikahkan "seseorang dengan bacaan Al-Qur’an yang ia kuasai dan hal tersebut diposisikan sebagai mahar, maka diperbolehkan mengambil upah atas Al-Qur’an dalam akad Ijarah.” (Kementrian Wakaf dan Urusan Keagama’an Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz 1, hal. 291)

Tentang hukum mengambil upah dari bacaan Al-Qur’an, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama memperbolehkan, sedangkan menurut mazhab Hanafi tidak diperbolehkan. Perbedaan pendapat ini sekaligus mengakomodasi beberapa pandangan ulama yang tersebar di Nusantara yang sebagian kalangan memperbolehkannya, dan sebagian lain mengharamkannya.   

Menyikapi hal demikian, sebaiknya kita selektif dalam memilih pendapat. Jika, memang dalam keadaan mendesak, tidak masalah jika kita mengambil upah atas jasa bacaan Al-Qur’an yang telah kita lakukan dengan berpijak pada ulama yang memperbolehkan hal tersebut.

Baca Juga: Tuntunan Islam Menghadapi Orang Bodoh

Namun, ketika dalam keadaan lapang dan kondisi ekonomi yang mapan, sebaiknya kita tidak mengambil upah atas Al-Qur’an yang kita baca atau kita ajarkan, terlebih ketika guru-guru kita melarang terhadap perbuatan tersebut. 

Melansir dari republika.co.id, Dr. Abdul Majid Khon, dalam bukunya "Hadits Tarbawi hadis-hadis Pendidikan" mengatakan hadis di atas menjelaskan larangan menerima hadiah atau gaji. Teks hadis ini tampaknya diawali dengan kata yang menyenangkan tetapi sesungguhnya merupakan ancaman. "Jika engkau senang dikalungi api neraka." 

Tentu, tidak ada yang senang kalung dari api, bahkan menyedihkan dan membinaskan. Itulah ancaman orang yang menerima hadiah dalam pengajaran Al-Qur'an.   

Namun, menurut kitab Auwn al-Ma bud Syarah Sunan Abi Dawud disebutkan, Imam Al-Khathaby menyatakan, para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadis di atas. 

Sebagai ulama, kata dia, mengambil makna hadis secara tekstual bahwa, mengambil upah atau gaji dalam mengajarkan Al-Qur'an terlarang sebagaimana pendapat al-Zuhriy, Abu Hanifah, dan Ishak bin Rahawayh.

Sebagian mereka berpendapat, tidak apa menerima upah atau gaji dalam pengajaran Al-Qur'an selagi tidak dipersyaratkan, artinya kehendak santri atau murid yang diajar, pendapat al-Hasan, al-Bashriy, Ibnu Sirin dan al-Sya'biy.

Sedangkan, sebagian lain berpendapat boleh memberikan upah atau gaji dalam pengajuan sebagaimana pendapat Malik, Atha,  Syafi’i, dan Tsawr.

Abdul menjelaskan, alasan para imam mazhab itu yang pertama hadis Sahal bin Saad yang menjelaskan bahwa, Rasulullah SAW bersabda kepada seorang laki-laki yang akan menikah, tetapi tidak ada kemampuan harta untuk mahar.

"Aku nikahkan engkau akan dia dengan mas kawin apa yang kau hafal dari Al-Qur'an.” (HR. Mutafaqun Alaih).

Menurut Abdul hadis-hadis di atas dipahami mereka sebagai sukarelawan, dari awal niatnya mencari pahala bukan mencari pekerjaan. Maka dilarang oleh Rasulullah. Kedua kondisi Ahl al-Shuffah orang miskin hidupnya maka sedekah dari kaum muslimin, seharusnya memang dibantu bukan dipungut biaya.   

Sebagian lagi berpendapat jika seseorang yang mengajar Al-Qur'an itu merupakan kewajiban "ain" tidak boleh memungut upah, atau gaji tetapi jika kewajiban kifayah boleh mengambilnya. 

Hadis tentang mengambil upah dalam pengajaran Al-Qur'an atau agama memang terjadi kontradiktif, ada hadis yang melarang dan ada pula yang memperbolehkannya, dalam teori ilmu hadis disebut "ilmu mukhtalaf al-Hadis." 

Baca Juga: Mengapa Kesurupan Banyak Terjadi Pada Kaum Wanita? Ini Alasannya

Tetapi, dalam hal ini kedua hadis di situ dapat dikompromikan yakni, kemutlakan larangan dibatasi dengan beberapa catatan. Menurut pendapat yang masyhur, jika terjadi kontradiksi dua hadis antara larangan dan kebolehan, hendaknya didahulukan yang larangan, namun dua hadis di atas bukan kontra yang sesungguhnya karena konteksnya berbeda.   

"Hadis kebolehan menerima upah dalam konteks ruqiyah atau pengobatan sedangkan, hadis larangan dalam konteks mengajar Al-Qur'an," katanya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, hukum menerima upah atau gaji dalam pengajaran Al-Qur'an atau agama boleh saja, dengan melihat situasi, dan kondisi murid yang diajar dan guru yang mengajarkan secara wajar. Di antara kondisi murid bukan anak orang miskin, upah tidak persyaratan utama, tidak materialis dan tidak fardhu ain.

Jadi, mengambil upah dalam mengajarkan Al-Qur'an menurut mayoritas ulama membolehkan dengan catatan upah bukan persyaratan utama, dan juga melihat situasi, dan kondisi santri yang diajar dan guru yang mengajarkan secara wajar. (C)

Reporter: Irawati

Editor: Haerani Hambali