Menipisnya Opsi Puan sebagai Capres

Efriza

Kolumnis

Sabtu, 22 Oktober 2022  /  1:24 pm

Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbita

PENETAPAN pasangan calon presiden dan wakil presiden serta kemungkinan koalisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sepertinya durasinya masih lama, disinyalir dapat saja di last minute.

PDIP beralasan masih konsentrasi membantu pemerintah untuk fokus kepada permasalahan ekonomi. Padahal ditenggarai PDIP masih kesulitan menetapkan pilihannya antara Puan Maharani atau Ganjar Pranowo.

Puan Maharani yang digadangkan oleh PDIP untuk diusung sebagai calon presiden (capres). Sayangnya, jika dilakukan perbandingan elektabiltas Ganjar Pranowo dengan Puan Maharani, sangat jauh terpaut. Meski PDIP masih terus mencoba untuk mendongkrak elektabilitas Puan agar bisa dicapreskan PDIP.

Puan Maharani Potensial Terdegradasi

Jika merujuk hasil berbagai survei, elektabilitas Puan Maharani tetap berada di papan bawah nominasi capres maupun cawapres. Puan adalah capres yang potensial terdegradasi.

Sejak 2020 survei berseliweran, Puan Maharani angkanya hanya nol sekian paling tinggi adalah tiga persen sekian. Sedangkan Ganjar Pranowo tetap berada dalam tiga besar bersaing dengan Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.

Menariknya, membaca hasil riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), saat ini elektabilitas PDIP sekitar 28 persen tetapi ketika memasukkan nama Puan Maharani sebagai capres pada 2024 maka elektabilitas PDIP justru akan tergerus menjadi 25 persen.

Berbeda jika mengusung Ganjar Pranowo maka elektabilitas moncong putih akan melonjak menjadi 43 persen (katadata.co.id, 3 Oktober 2022).

Baca Juga: PDIP Turun ke "Lantai Dansa"

Upaya mendongkrak elektabilitas Puan Maharani telah intens dilakukan. Puan Maharani telah berupaya melakukan pencitraan politik, mengadakan pertemuan dan kunjungan ke daerah-daerah, juga bersilaturahmi dengan masyarakat. Nyatanya, elektabilitas Puan Maharani masih nyaman berada di papan bawah.

Kerja membangun personal branding Puan Maharani intens dilakukan, yang terjadi kerap menimbulkan polemik di masyarakat. Sehingga tidak berdampak kenaikan signifikan elektabilitas Puan Maharani. Contoh polemik, saat Puan menanam padi di kala hujan, ia berlagak sebagai tukang bangunan, menanam padi dengan cara maju, dan tatkala ia membagi-bagi kaos kepada warga.

Puan Maharani semakin mutung, ternyata anggota internal kader PDIP juga tidak menjatuhkan pilihan kepada dirinya melainkan Ganjar Pranowo. Survei Charta Politika, sebesar 44,7 persen pemilih PDIP melabuhkan pilihan kepada Ganjar sedangkan Puan Maharani hanya mengantogi 4,8 persen pemilih PDIP saja, (detik.com, 12 Agustus 2021). 

Simulasi dengan nama Puan Maharani merujuk SMRC juga menunjukkan pergerakan suara Puan kenaikan suaranya tidak signifikan, hanya naik 0,5 persen menjadi 1 persen. Sedangkan Ganjar Pranowo bergerak dari 8,8 persen menjadi 25,5 persen. Ini menunjukkan jika Puan harus bersaing dengan Prabowo Subianto dan Anies Baswedan akan tertinggal jauh dan tidak kompetitif (kabarjakarta.com, 16 September 2022).

Puan Maharani tentu akan lebih dongkol, melihat kenyataan berdasarkan berbagai survei lainnya. Puan dipasangkan sebagai capres maupun cawapres, dirinya cenderung tidak kompetitif bahkan Puan cenderung memperlemah pasangannya, seperti disampaikan rilis SMRC (tirto.id, 23 September 2022).  

Tanda Awal Kegagalan Komunikasi Politik

Puan Maharani telah dipercaya untuk melakukan silaturahim dengan ketua umum-ketua umum partai-partai lain untuk membangun koalisi namun pasca pertemuan itu malah kontra produktif.

Realitas pasca pertemuan itu adalah Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres dengan dipercepat pula. Pasca pertemuan dengan Prabowo Subianto dan Muhaimin Iskandar malah menghasilkan wacana Prabowo-Muhaimin menguat dari koalisi Gerindra-PKB.

Terakhir, pasca pertemuan dengan Airlangga Hartarto selaku Ketua Umum Partai Golkar, malah hasil survei LSI Denny JA menunjukkan Ganjar-Airlangga yang berpotensi menang.

Opsi Puan Maharani jika dipelajari dengan seksama hanya menyisakan dua opsi. Pertama adalah kans Puan Maharani membangun koalisi PDIP dengan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Hanya saja gelagatnya PAN dan PPP lebih mengharapkan Ganjar Pranowo, ini dibuktikan oleh suara arus bawah internal kedua partai itu yang telah mendeklarasikan di beberapa daerah kepada Ganjar Pranowo.

Malah jika Puan Maharani yang diusung oleh KIB, berpotensi KIB bubar. Dan, jika PDIP menguat cawapresnya kepada salah satu partai diantara Golkar, PAN, dan PPP, maka kedua partai lainnya ditenggarai akan memilih kepada opsi bergabung pada poros lain di antara Koalisi Gerindra-PKB atau Nasdem-PKS-Partai Demokrat.  

PDIP Maju Sendiri Tanpa Berkoalisi

Jika Puan Maharani lagi-lagi tak diperhitungkan dari kemungkinan sebagai capres dalam komunikasi membangun koalisi dari KIB plus PDIP. PDIP tetap kekeuh mengajukan Puan Maharani sebagai capres.  

Maka opsi terakhir adalah PDIP memajukan pasangan calon sendiri tanpa berkoalisi. Jika opsi ini dipilih tentu saja PDIP akan bersikeras agar Puan Maharani sebagai capres, sedangkan Ganjar Pranowo adalah cawapresnya.

Jika opsi itu yang dipilih, sebenarnya masih miris dan terlalu memaksakan. Semestinya, kegagalan Puan Maharani menaikkan elektabilitas dirinya telah menjadi alarm bagi PDIP, jika perlu punishment sehingga tidak lagi memaksakan Puan Maharani sebagai capres dari PDIP.  

Partai-partai lain sebenarnya cenderung lebih mendukung bersama PDIP dan berkenan berkoalisi jika yang diajukan Ganjar Pranowo. Semestinya, PDIP lebih realistis dengan memilih dan mengusung Ganjar Pranowo sebagai capresnya.

Sebab, Ganjar juga memang lebih didukung oleh anggota internal PDIP. Jadi, jika ingin memaksakan Puan Maharani dan berpotensi menang sebaiknya mengusung Ganjar-Puan dengan maju sendiri tanpa berkoalisi.

PDIP tidak bijak dan membohongi diri. Jika memaksakan Puan Maharani dan bersiap oposisi. Sebab, PDIP sebagai oposisi juga tidak sukses, karena PDIP butuh menunggu satu dekade untuk memimpin kembali.

Jangan lupakan pula, Taufik Kiemas sampai “merengek” ingin bergabung dengan koalisi bersama Partai Demokrat pasca pemilihan presiden (Pilpres) 2009 lalu. Penyebabnya, karena lelah menjadi oposisi.

Nyatanya, PDIP kala itu memperlunak bahasa dari oposisi dengan istilah mitra kritis dan juga menerima jabatan Ketua MPR yang diduduki oleh Taufik Kiemas atas dukungan Partai Demokrat sebagai penguasa saat itu.

Hal lain yang juga patut menjadi kalkulasi, jika bukan karena Partai Demokrat terdampak “tsunami politik” akibat korupsi yang dilakukan kader-kadernya. Di sisi lain, juga karena kehadiran fenomenal dari sosok Joko Widodo sebagai capres, tentunya patut diragukan PDIP dapat memimpin kembali pemerintahan. Joko Widodo adalah faktor kunci kemenangan satu dekade PDIP dibandingkan sebagai oposisinya. 

Jadi, apakah PDIP telah benar-benar siap menerima konsekuensi menjadi oposisi selama satu dekade jika memaksakan Puan ditengah kemungkinan memerintah untuk ketiga kalinya? Dan, juga patut diingat, kecenderungan pemilih Indonesia, akan memilih selama dua periode capres yang telah memenangkan Pilpres pertamanya.

Kelemahan Puan Maharani

PDIP kesulitan untuk mengangkat elektabilitas Puan Maharani karena karakter personal dari Puan Maharani sendiri. Padahal, ia sudah lama berada dalam kancah politik dan telah mengemban berbagai jabatan di pemerintahan. Tetapi memang figur dirinya juga kinerjanya ditenggarai tak tertanam dan melekat erat di benak masyarakat.

Baca Juga: Upaya PDIP Menahan Laju Dinamika Koalisi

Puan selama ini dianggap sebagai sosok yang elitis dan kaku. Runyamnya, ia dianggap tak dapat mendekatkan diri bersama masyarakat. Ia juga dianggap tak nyaman ketika berada di kerumunan dengan masyarakat. Ini ditunjukkan dengan polemik Puan Maharani saat dikerumunan masyarakat sedang membagi-bagikan kaos.

Ini Pekerjaan Rumah (PR) bagi PDIP untuk merubah image Puan Maharani. PDIP juga perlu memperhatikan mood dari Puan Maharani, juga membangun hubungan erat Puan dengan kader dan masyarakatnya. Namun, ini butuh waktu lama, dan juga perlu kenyamanan Puan Maharani melakukan itu dengan rasa sukarela dari hatinya.

Puan Maharani sebenarnya lebih tepat bekerja sebagai pejabat partai semata. Ia berpotensi besar selain Prananda untuk suksesi kepemimpinan ketua umum Megawati Soekarnoputri. Sedangkan untuk capres, PDIP lebih baik memberikan saja kepada Ganjar Pranowo.

Memajukan Ganjar Pranowo menunjukkan PDIP memang peduli aspirasi kadernya dan masyarakat. PDIP telah menunjukkan sebagai partai modern dengan rekrutmen terbuka, yang dipilih adalah kader yang memang dipilih oleh masyarakat, tidak lagi mengutamakan unsur nepotisme maupun politik kekerabatan. 

Jika, PDIP tetap kekeuh ingin memaksakan Puan Maharani, cukup jadikan Puan Maharani sebagai cawapres dengan syarat maju melalui paket pasangan sendiri tanpa berkoalisi yakni Ganjar Panowo dan Puan Maharani.

Meskipun Puan Maharani berpotensi memperlemah pasangannya karena elektabilitas dirinya dianggap tidak kompetitif. Tetapi setidaknya, kader-kader PDIP malah solid mendukung keputusan tersebut dengan konsekuensi bekerja lebih keras.

Bahkan, kalah juga kadernya akan menerima dengan senang hati. Dan, jangan lupakan pula, PDIP meski kalah, tetapi limpahan suara dan kursi di legislatif diprediksi masih tetap signifikan. (*)