Selamatkan Hak Konstitusional Lewat Data Pemilih

M. Najib Husain, telisik indonesia
Minggu, 19 Juni 2022
0 dilihat
Selamatkan Hak Konstitusional Lewat Data Pemilih
Dr. M. Najib Husain, Dosen FISIP UHO. Foto: Ist.

" Problematika yang prinsipil ini harus dituntaskan oleh pemangku tanggung jawab untuk menghindari kerugian konstitusional dalam pelaksanaan pemilu dan demi menjaga kedaulatan suara rakyat "

Oleh: Dr. M. Najib Husain

Dosen FISIP UHO

PEMILIHAN umum tidak saja menjadi ajang persaingan politik antar peserta, baik calon presiden dan wakil presiden, maupun partai politik, serta calon legislatif. Tetapi pemilu juga menjadi ajang pertarungan informasi dan data dari peserta pemilu.

Kamis 18 Juni 2022, saya diundang oleh Bawaslu Sulawesi Tenggara untuk membawahkan materi kualitas data pada rapat koordinasi di salah satu hotel di Kota Kendari. Menarik, karena pada kegiatan tersebut memberikan kesempatan bagi pihak KPU Sultra dan Dukcapil Sultra duduk bersama, saling menyampaikan dan memaparkan data pemilih sementara di Sultra yang jumlahnya berbeda.

Perbedaan ini tidak bisa dianggap hal yang biasa dan cukup dijawab dengan alasan metodolongi yang digunakan berbeda, tapi harus dicari penyebab perbedaan agar tidak berbeda terus dan akan menjadi awal permasalahan dalam Pemilu 2024.

Pada 2019, kami melakukan riset pemilu dan menunjukkan bahwa ada beberapa permasalahan dalam pemilu yaitu electoral process, akurasi daftar pemilih tetap, distribusi logistik (kondisi geografis), prosedur pencairan anggaran dan lemahnya kapasitas badan adhock pemilu. Salah satunya adalah akurasi data pemilih.

Hal itu juga diakui oleh mantan Ketua KPU RI Arief Budiman bahwa penyebab dari masalah data pemilih disebabkan oleh tiga faktor yaitu, pertama adanya daerah-daerah yang sulit dijangkau itu seperti area perkebunan, pertambangan, dan sejenisnya, daerah yang memiliki banyak mahasiswa pendatang, daerah pedalaman, hutan nasional, kelompok adat, dan pulau tepencil.

Kemudian, kompleks apartemen, pondok pesantren, lembaga pemasyrakatan, rumah sakit dan korban bencana alam atau konflik sosial juga menjadi daerah yang sulit dijangkau. Kedua, Permasalahan pada pemutakhiran data pemilih, yakni pemilih yang belum terdata di DPT pada TPS Tambahan dan lokasi-lokasi yang jauh dari permukiman yang masuk ke dalam TPS Khusus.

Ketiga, KPU juga menghadapi berita-berita hoaks yang terkait pemutakhiran data pemilih. Beredar di media sosial ada 31 juta data pemilih siluman sehingga diduga ada kecurangan dalam Pemilu 2019 serta beredar kabar dan foto orang yang disebut mengalami gangguan jiwa ikut dalam simulasi pemilihan.  

Problem administratif akan dapat menghilangkan hak politik warga negara. Problematika yang prinsipil ini harus dituntaskan oleh pemangku tanggung jawab untuk menghindari kerugian konstitusional dalam pelaksanaan pemilu dan demi menjaga kedaulatan suara rakyat. Untuk itu, perbaikan data harus segera dilakukan oleh KPU dan Dukcapil serta diawasi oleh Bawaslu agar didapatkan data yang berkualitas.  

Baca Juga: Kiai Pondok Pesantren jadi Rebutan

Menurut McLeod dan Schell (2007), data terdiri dari fakta dan gambaran yang secara umum tidak dapat digunakan oleh user (perlu diolah). Salah satu hal yang tidak boleh diabaikan dalam penyusunan data adalah faktor kualitas. Apapun bentuk data, jika tidak berkualitas maka tidak bisa dijadikan pedoman penyusunan program maupun pengambilan keputusan.

Belajar dari pengalaman pelaksanaan pemilu sebelumnya terjadi masalah terkait hak pilih, secara khusus jaminan hak memilih (right to be voters) belum tuntas. Hak memilih ini kerap menjadi dalil di ujung tahapan yang diperkarakan di Mahkamah Konstitusi.

Bagaimana tidak, keakuratan daftar pemilih tetap (DPT) kerap menjadi permasalahan. Data pemilih pada Pemilu 2019 sempat menjadi polemik yang dipicu oleh akurasi data yang dinilai tidak valid. Bawaslu menemukan 1.013.067 identitas pemilih ganda pada daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019. Jumlah tersebut merupakan hasil dari analisis Bawaslu terhadap 285 kabupaten/kota dari 514 kabupaten/kota di Indonesia.

Padahal, UU No.7 Tahun 2017 Pasal 198 ayat 2 menyatakan bahwa warga negara Indonesia didaftarkan satu kali oleh penyelenggara pemilu dalam daftar pemilih. Polemik data pemilih kemudian menjadi "ricuh" dengan viralnya berita ditemukan ribuan e-KTP tercecer di sejumlah wilayah. Spekulasi bermunculan akan adanya potensi kecurangan. Selain itu, masih ditemukan dalam verifikasi data pemilih, pemilih yang sudah meninggal dunia.  

Begitu panjangnya proses yang dilalui dalam menghasilkan DPT mulai dari data Disdukcapil, data dari petugas coklit dan sampai pada pemanfaatan aplikasi Sidalih, namun yang menjadi pertanyaan, mengapa persoalan data pemilih terus berulang pada setiap pelaksanaan pemilu?  

Data Pemilih Berkelanjutan (selanjutnya ditulis DPB) adalah amanat UU 7 Tahun 2017, DPB adalah angin segar buat KPU, dalam hal ini KPU mempunyai waktu dan ruang menyajikan data pemilih sedini mungkin. Problematika waktu dan IT biasanya menjadi terakumulasi menjelang hari penetapan DPT.

Oleh sebab itu, pihak Disdukcapil harus proaktif dan jangan hanya menunggu permintaan dari masyarakat dalam menerbitkan suatu akta kematian. Akibatnya ketika keluarga tidak mengajukan permintaan akan akta kematian maka banyak kematian tidak memiliki akta kematian sehingga orang mati tetap saja bercokol dalam data pemilih.

Baca Juga: Pergeseran Peran Rekrutmen Politik

Hal yang sama juga berlaku dalam kasus pengurusan surat keterangan alih status dan pindah domisili. Tanpa permintaan dari masyarakat yang bersangkutan itu sendiri, perubahan data alih status atau pindah domisili tidak bisa terbarukan.

Sejalan dengan itu, persoalan human error dan skill petugas yang menjadi operator dalam melakukan entry data bagi pembaruan data pemilih juga ikut menjadi persoalan tersendiri. Pembenahan kesadaran dari KPU, Ditjen Dukcapil, serta Bawaslu untuk melakukan pembenahan pada daftar pemilih di Pemilu 2024 perlu dilakukan.

Dari pelajaran Pemilu 2019, KPU, Ditjen Dukcapil, Bawaslu, dan peserta pemilu harus selalu bersinergi untuk bersama-sama melakukan pencermatan data pemilih guna menghasilkan data pemilih yang benar-benar akurat, komperhensif, dan mutakhir.

Perlu dingat bahwa ketidaktercatatan kependudukan secara administratif dapat menghilangkan kesempatan atau hak pilih untuk pemilu yang akan terabaikan. Jangan lagi ada  pertarungan antara data pemilih vs data kependudukan. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga