Menjelajah Benteng Tindoi, Cagar Budaya di Puncak Tertinggi Pulau Wangi-Wangi Wakatobi

Adinda Septia Putri

reporter

Minggu, 14 Mei 2023  /  12:11 am

Benteng Tindoi merupakan cagar budaya yang punya nilai spiritual di dalamnya. Pengunjung benteng dilarang memakai pakaian berwarna merah. Foto: Dok. Telisik

KENDARI, TELISIK.ID - Wakatobi dikenal dengan wisata baharinya, namun siapa sangka wilayah itu juga tak kalah dalam wisata situs cagar budaya yang mencerminkan wajah lampau masa kerajaan.

Benteng Tindoi menjadi situs cagar budaya yang tak banyak diketahui orang-orang. Benteng Tindoi berada di puncak ketinggian tertinggi di Pulau Wangi-Wangi, sehingga memiliki cakupan view yang sangat luas dengan panorama indah, selain itu keberadaan pemakaman, reruntuhan benteng dan sisa-sisa peninggalan pemukiman masyarakat di masa lampau memiliki daya tarik tersendiri, khususnya wisata sejarah.

Salah seorang pegiat sosial di Wakatobi, Saleh Hanan mengatakan, benteng tersebut diyakini sebagai salah satu pusat pemerintahan pertama pada masa kerajaan di Wakatobi.

Baca Juga: Kain Tenun Kamohu, Warisan Budaya Nasional dari Pulau Buton

“Ada berbagai macam tokoh legenda zaman dulu diceritakan datang ke situ, dari berbagai penjuru dunia,” katanya, Kamis (1/6/2023).

Suasana di dalam pagar Benteng Tindoi, benteng ini berada di tengah hutan di puncak tertinggi Pulau Wangi-Wangi. Foto: Pusatstudiwakatobi.blogspot.com

 

Ia menutur, hal yang menarik dari benteng itu adalah karena letaknya di puncak tertinggi Pulau Wangi-Wangi, di dalamnya terdapat hutan dan ekosistem alam yang masih asri. Di dalam wilayah benteng, terdapat banyak aliran sungai kecil dan aliran air yang mengalir dari celah bebatuan.

Dilansir dari Pusatstudiwakatobi.blogspot.com, menurut salah satu kisah cerita rakyat lokal, disebut Tindoi karena berasal dari cerita pelayaran kapal Nabi Nuh, di mana setelah sekian tahun berlayar, mereka melihat warna putih di tengah lautan. Di perintahlah burung Gagak dan Itik untuk melihat buih itu.

Maka terbanglah kedua burung itu, hanya saja setelah melihat apa sebenarnya, gagak pulang melapor ke kapal perihal karang yang penuh dengan makanan. Itik tidak mau pulang, tetapi langsung makan, ia menggaruk di atas karang itu.

Setelah kapal merapat, dikutuklah itik untuk tidak dapat menggaruk seumur hidupnya. Kakinya diberikan daging yang membuat itik tak tak dapat menggaruk lagi seumur hidupnya sampai dengan anak cucunya.

Memasuki hutan Tindoi, sekitar dua puluh meter dari pinggir hutan setelah melewati jalan diantara batu-batu, Anda akan menemukan satu makam.

Namanya kuburan Bhonto. Jika anda sudah di makam itu, berdoalah Insya Allah hajat anda terkabulkan, setelah itu Anda akan melanjutkan langkah Anda dengan sedikit menanjak sekitar 10 meter. Di atas Anda sudah mulai memasuki Benteng.

Jika Anda terus, anda akan menemukan pintu bagian barat, tetapi jika Anda belok kanan, maka Anda akan menuju Kuburan La Samburaka dan Wa Ode Rio.

Baca Juga: Nikmati Keindahan Pulau Maginti Muna Barat

Namun sebelum masuk ke dua makam itu, Anda harus tahu bahwa etika masuk ke dalam wilayah benteng ini adalah Anda tidak diperbolehkan memakai baju merah, harus membuka alas kaki di depan pagar menuju kuburan Wa Ode Rio dan Samburaka, dan tidak diperbolehkan memetik atau mematahkan ranting pohon di dalam benteng dan Hutan Tindoi karena itu dilarang oleh masyarakat adat.

Jika kaki Anda telah masuk ke dalam pusat benteng, maka di kanan Anda akan melihat makam Wa Ode Rio, putri dari kesultanan Buton yang menjadi Istri La Samburaka karena jasanya memadamkan pemberontakan yang mengancam eksistensi kesultanan Buton.

Sebagai jasanya atas penumpasan pemberontak itu, maka La Samburaka ketika ditanya apa yang Anda Inginkan, maka ia hanya meminta sebutir telur. Maka dinikahkanlah beliau dengan Putri Sultan yang bernama Wa Ode Rio. Hanya saja perkawinaan itu tidak memiliki keturunan. (B-Adv)

Penulis: Adinda Septia Putri

Editor: Kardin

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS