Kain Tenun Kamohu, Warisan Budaya Nasional dari Pulau Buton
Ahmad Badaruddin, telisik indonesia
Minggu, 14 Mei 2023
0 dilihat
Kain tenun Kamohu yang telah masuk jadi warisan budaya tak benda sejak 2019. Foto: Repro Goodnewsfromindonesia.id
" Kain tenun Kamohu berasal dari Kecamatan Mawasangka, Buton Tengah, dikenal memiliki banyak sejarah yang terus melekat pada tiap rajutan dan pintalan benangnya "
BUTON TENGAH, TELISIK.ID - Selain terkenal dengan kain tenun Maslili dan Motif Wulele Sorume, rupanya Sulawesi Tenggara masih memiliki kain tenun yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak benda (WTBD) pada 2019 lalu. Kain tersebut adalah Kain Tenun Kamohu.
Kain tenun Kamohu berasal dari Kecamatan Mawasangka, Buton Tengah, dikenal memiliki banyak sejarah yang terus melekat pada tiap rajutan dan pintalan benangnya. Bagaimana tidak, Kain Kamohu diyakini sudah ada sejak abad ke-19.
Pada masa itu, Kamohu kerap digunakan oleh keluarga Kesultanan Buton dan para tokoh adat saat menghadiri upacara-upacara adat seperti akikah, pernikahan, pingitan, dan lainnya.
Seiring berjalannya waktu, Kamuho juga mulai dikenakan oleh masyarakat. Tapi untuk membedakan strata sosial dan jabatan, maka dibuatlah aturan penggunaan yang disadarkan pada warna kain. Selain itu, ada juga aturan motif yang menunjukan gender. Misalnya motif garis lurus untuk kaum wanita dan motif garis bersilangan yang membentuk kotak-kotak untuk kaum pria.
Ketika Belanda mulai masuk Indonesia, bersama rempah-rempah, kain tenun ini juga menjadi salah satu komoditi yang diperdagangkan oleh Belanda pada masa itu. Bahkan hingga saat ini kain tenun tersebut masih diperjualbelikan sebagai oleh-oleh khas Sulawesi Tenggara.
Dilansir dari Pariwisataindonesia.id, tidak ada yang tahu pasti kapan dan siapa yang pertama kali membuat Kamohu. Tapi menurut cerita, konon Kamohu berawal dari kisah seorang wanita kaya raya yang memiliki alat tenun pertama dan satu-satunya di daerah Buton.
Pada satu ketika, ada pihak yang ingin mencuri alat tenun tersebut, sehingga sang wanita kabur sambil membawa alat tenunnya dan bersembunyi di salah satu gua yang ada di Desa Gumanano, Kecamatan Mawasangka.
Meski setelah sekian lama kabur, keberadaan wanita tersebut tidak diketahui. Akhirnya masyarakat pun mencoba meniru alat tenun yang dimiliki dan mulai menenun kain yang disebut kemudian Kamohu.
Kain Tenun Kamohu terbuat dari kapas yang dibuat secara tradisional. Namun, seiring perkembangan zaman dan banyaknya kesibukan masyarakat, kini pembuatan tenun juga memanfaatkan bahan buatan pabrik, salah satunya pada bahan benangnya. Meskipun demikian, kain tenun Kamohu masih terus ada dan diproduksi masyarakat sekitar.
Yang menarik dari kain tenun yang satu ini adalah selain kain tenunnya yang sarat akan tradisi dan sejarah, prosesi menenun juga menjadi tradisi yang diajarkan secara turun temurun.
Dilansir dari rilis resmi Kemenkop UKM (2022), di desa-desa yang ada di Mawasangka, menenun menjadi keterampilan yang wajib dimiliki oleh para perempuan meskipun mereka memiliki pendidikan yang tinggi. Bahkan dikatakan, perempuan yang belum pandai menenun tidak diperbolehkan untuk turun tanah dan keluar rumah (dalam arti menikah).
Jumalia, salah satu warga Desa Gumanano, Mawasangka mengatakan pada Telisik.id via WhatsApp bahwa kemampuan para perempuan untuk menenun dipercaya akan mempengaruhi kehidupan rumah tangga mereka nantinya.
"Ketika mereka (para perempuan) pandai menenun, mereka dapat merajut kehidupannya, karena sesuai sejarahnya maka kegiatan menenun dilakukan di bawah rumah," ucap wanita yang kerap disapa Lia.
Kepercayaan tersebut dipegang teguh dan diwariskan secara turun temurun, karena diyakini bahwa kemampuan menenun bisa menjadi bekal untuk merajut kehidupan yang akan berpengaruh pada kehidupan rumah tangga nantinya.
Hal ini kemudian terbukti, ketika berkunjung ke desa-desa yang ada di Mawasangka, pengunjung akan mendapati banyak ibu-ibu dan anak perempuan yang sedang menenun di samping atau di kolong rumah panggung.
Namun, kegiatan menenun ini tidak bisa dilakukan setiap hari. Ada waktu-waktu tertentu dimana kegiatan menenun menjadi aktivitas yang dilarang, misalnya saat ada kedukaan, baik yang meninggal adalah keluarga penenun maupun warga yang tinggal di wilayah itu. Khusus di hari-hari tersebut, masyarakat tidak diperbolehkan menenun.
Hasil dari kain tenun Kamohu biasanya dijadikan sarung oleh masyarakat sekitar. Namun, seiring perkembangan zaman, para pemuda daerah Mawasangka kemudian menyulap Kamohu menjadi produk lain, seperti tas selempang, syal, dan lainnya.
Dilansir dari laman Jadesta.kemenparekraf.go.id, rata-rata, harga kain dipatok di kisaran Rp 200.000 sampai dengan Rp 300.000 per lembarnya. Selain itu, proses tenun Kamohu ini biasa juga disebut sebagai proses melukis di atas kertas dan dapat dipesan berdasarkan permintaan konsumen.
Saat para penenun membuat kain yang dipesan oleh konsumen, pola kain akan tergambar di pikiran para penenun sesuai permintaan dan langsung mereka tuangkan pada tenunan. (A-Adv)