Menolak Premanisme, Mengadu kepada Rakyat
Penulis
Sabtu, 24 Mei 2025 / 2:27 pm
Suryadi, Pemerhati Budaya dan Kepolisian. Foto: Ist.
Oleh: Suryadi
Pemerhati Budaya dan Kepolisian
PREMANISME dimaknai oleh masyarakat sebagai penganut tindakan memaksa diikuti oleh kekerasan verbal atau fisik (memalak), dengan maksud dan tujuan meminta dan menguasai sesuatu yang bukan haknya.
Akhir-akhir ini yang semacam ini, termasuk berebut menguasai pengamanan lahan, kerap mengemuka lengkap dengan keributan antar kelompok.
Baru-baru ini, seorang petinggi suatu daerah menyatakan, tempat salah satu kejadian peristiwa (TKP) premanisme yang masuk dalam wilayah administratif pemerintahan daerah yang dia pimpin, tak memiliki aparat terdepan, Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW).
Terakhir malah dikatakan, warga di kampung itu, tidak pernah ikut memilih dalam pemilihan umum (Pemilu). Tentu saja, hal semacam ini dapat mengundang tanya, benarkah pertumbuhan premanisme tidak terpantau, sehingga, wajar saja seolah mengagetkan. Benarkan demikian?
Adalah pasti, bahwa masyarakat yang terbina tanggap terhadap ketidak beresan di lingkungannya merupakan langkah dini pertama menolak kehadiran dan bertumbuhnya suatu kriminal, termasuk premanisme di wilayah domisilinya.
Ceritanya, baru-baru ini penulis ngamen. Oleh satu sub satuan kerja besar dari suatu institusi aparat penegak hukum (APH), pekan lalu penulis didaulat memberi pembekalan kepada sekitar 200 pejabat institusi tersebut setanah air.
Dengan menjadikan pemimpin, komunikasi, dan pers sebagai pisau bedah, saya menjadikan premanisme secara sosiologis (bukan hukum positif), dalam suatu penanganan menjadi contoh penindakan yang kaget-kagetan.
Usai acara pembekalan singkat yang sempat diwarnai dua penanggap atas permintaan penulis dan satu penanggap murni atas inisiatifnya sendiri, seorang perwira tinggi yang juga doktor hukum, mendekati penulis dan mengajak berdialog.
Boleh jadi, dia tertarik dengan sajian penulis, yang antara lain: 1. Mengetengahkan upaya gotong-royong yang kian menipis pada warga Indonesia yang beragam etnis ini; 2. Akan tetapi, dia juga menolak sebutan premanisme bila dibawa-bawa ke ranah penegakkan hukum. Sebab, premanisme tidak diatur dalam hukum positif pidana (KUPH) Indonesia, dan oleh karena itu harus diluruskan.
Penulis mencoba melengkapinya. Kemudian, membiarkan dia meluncur dengan pertanyaan, “Apa pendapat penulis tentang upaya institusinya dalam menghadapi masyarakat?”.
Dalam balutan charming-nya yang mengingatkan penulis kepada seorang seniornya yang boleh jadi ia kenal pun tidak, ia terkesan begitu ramah tak dibuat-buat dengan keekspertan dalam penegakan hukum dan pendekatan sosial.
Melalui tulisan ini, penulis merasa lebih leluasa berusaha merespon dengan jawaban kembali kepada masyarakat sebagai pemilik “habitat” peristiwa pemaksaan dengan kekerasan (baca: premanisme).
Penulis merasa masyarakat yang terbina tanggap sesungguhnya mampu secara dini menganulir kejahatan apa pun yang tumbuh dan berkembang di wilayah domisili mereka, termasuk premanisme.
Sementara pemerintah, terutama Pemerintah Daerah, secara rutin berfungsi membina menumbuhkan keberanian untuk mencegah tumbuh-kembangnya suatu ketidakberesan (baca: kriminal atau penyakit masyarakat apa pun).
Pada saat yang sama, APH menindak sesuai hukum positif, bila peristiwa tersebut tak lagi dapat dicegah secara dini alias benar-benar pecah menjadi peristiwa.
Dengan demikian, tindakan bersama secara dini sebelum menjadi embrio kriminal dapat dilakukan bersama secara dini. Maka, pencegahan (peremptif dan preventif) lebih utama ketimbang baru bertindak ketika sesuatu telah terjadi.
Keterpaduan yang bukan musiman, yakni antara masyarakat dan pemukanya serta penguasa adminsitratif pemerintah setempat dan aparatnya yang peka dengan APH polisi berikut personel yang yang peka, tegas bertindak, dan human dalam pendekatan.
Menipisnya Gotong Royong
DIAKUI atau tidak, mungkin sejak pembangunanisme (baca: apa pun syah ygketika dihadapkan pada pembangunan) melingkupi segenap negeri ini, budaya gotong-royong sudah semakin terpinggirkan.
Kemajuan teknologi, tidak diantisipasi oleh rekayasa sosial, atau mungkin rekayasa sosial ada tapi tertinggal jauh dari pembangunanisme.
Pembangunan karakter manusia tidak lagi sejalan dengan Pancasila sebagai pandangan, dan filosofi hidup bangsa yang telah lama disepakati sebagai dasar negara.
Karya luhur anak bangsa itu, terasa seperti mubazir, lantaran cuma diakui oleh banyak warganya secara verbal belaka. Bahkan, jangan-jangan ada yang menggapnya sudah kuno!
Seorang teman yang akrab dengan teknologi maju dan penyutradaraan film risau (lebih kurang sama risaunya dengan penulis) melihat kemajuan teknologi dewasa ini.
Sebab, kemajuan teknologi yang sesungguhnya memang tak bisa ditolak-tolak dan berciri pekat cepat dan mudah alias cepat saji itu, tidak dibarengi oleh antisipasi yang efektif bagi kecerdasan emosi dan moral.
Akibatnya, jadilah teknologi maju berkembang liar di tangan manusia-manusia yang pintar secara tak terkendali!
Di Tiongkok, dalam amatannya, kemajuan teknologi jauh meninggalkan Indonesia yang lebih cerdik meniru --sebuah metode dalam pendidikan anak-anak yang paling gampang.
Baca Juga: Don't Stop Talking about Palestina
Akan tetapi, di negeri tersebut --yang sering disentimeni oleh warga bangsa ini--, sulit ditemukan generasi penerus (anak-anak dan remaja) asyik bergadget-ria, terutama di saat-saat senggang atau di ruang-ruang publik. Sebab, menurutnya, pemerintah di sana punya kebijakan sendiri yang memang efektif dipatuhi untuk hal itu.
Dengan kondisi seperti itu, wajar saja bila kini di sini gampang ditemukan mereka --tak muda tak dewasa-- yang lebih reflek "sharing" ketimbang "thingking before sharing."
Penulis kerap menjumpai di atas gerbong kereta rel listrik (KRL), kala sempit berdesak-desakan sekalipun, para penumpang lebih asyik bergadget-ria sambil duduk atau berdiri sekalipun.
Sambil berdiri pun, mereka tetap asyik bergadget-ria. Mungkin dalam tiap formasi gerbong penumpang, lebih banyak penumpang yang bergadget-ria ketimbang mereka yang membiarkan gadgetnya tetap di saku atau di dalam tas.
Selebihnya, penumpang yang lain (entah pura-pura atau sungguhan), memilih tidur ketimbang bangun, lantas mempersilakan penumpang yang lebih layak duduk ketimbang dirinya untuk menempati kursi panjang yang mereka tempati.
Lebih celaka lagi, kerap dijumpai pemandangan mencolok kala jam-jam KRL tak begitu dipadati penumpang. Pernah, seorang Ibu muda, dengan dua orang anaknya, di kursi panjang gerbong KRL, asyik dengan gadget erat berada di tangan masing-masing.
Si ibu asyik dengan Hp-nya sambil tertawa-tawa tertahan-tahan. Sementara seorang anak laki-lakinya, yang mungkin belum tamat ini SD, berulang kali memperlihatkan mimik emosional dalam bergadget-ria. Seorang anaknya yang lebih kecil tidur-tiduran asyik pula dengan gadget di tangan.
Ibu dan kedua anak, asyik sendiri-sendiri. Ketiganya secara emosional telah terfasilitasi oleh gadget. Lantas, siapakah penyedia gadget itu?
Apakah ada hubungan kegilaan pada teknologi cepat saji itu dengan menipisnya gotong-royong?
Untuk menjawabnya, tinggal pilih saja, lebih dulu melakukan survei pembuktian demi berbicara atas nama data, atau membiarkan kegilaan itu terus berlangsung hingga terbina berperilaku asosial?
Yang jelas, Bung Hatta, salah seorang bapak pendiri bangsa dan juga proklamator, atas dasar nurani dan kemampuannya dalam ilmu ekonomi dan pemahaman akan budaya gotong-royong yang tumbuh dalam keberagaman bangsa ini, telah diterima oleh bangsa Indonesia sebagai Bapak Koperasi.
Lantas, kemana perginya kini koperasi yang benar-benar berciri gotong-royong?
Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang juga ketua Palang Merah Indonesia (PMI), Jusuf Kalla dalam satu pengakuan menyatakan, kini “Banyak Masjid Bagus, tapi Masyarakatnya Kurang Makmur (MBM. Tempo, 31 Maret – 6 April 2025: 78 – 81).
Di negara yang warganya harus beragama ini, apa yang dikemukakan Jusuf yang mantan Wakil Presiden RI, bukan isapan jempol. Bisa dibuktikan tidak hanya di gerbong KRL.
Di permukiman-permukiman, banyak warga yang tidak (mau) tahu tentang kondisi tetangganya yang mengalami kesusahan dan kesulitan hidup sehari-hari. Bersyukur, mereka masih mau bercepat memberi perhatian ketika tetangga sakit, sakit berat, atau meninggal dunia.
Toh dalam kondisi normal, mereka peduli tinggi ketika datang informasi menyedihkan dari negara negara lain. Yang dekat diabaikan, yang jauh lebih dipedulikan!.
Bahkan, ada pula Ketua RT yang tak peduli terhadap warganya yang menginginkan informasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas tanah dan bangunannya. Padahal, ini merupakan kewajibannya sebagai warga negara. Alasannya, saat ini untuk bayar PBB, sudah bisa diketahui lewat gadget.
Sebaliknya, sangat mencolok. Dia akan percepat ketika ada yang mau beli lahan di wilayahnya dan fotokopi girik/Leter C memang sudah ada padanya.
Diketahui, jika transaksi lahan terjadi, dia akan mendapat keuntungan berupa “uang transaksi” plus hasil percaloan.
Kian renggangnya kerekatan antarwarga seperti itu, agaknya, memang sudah berlangsung sejak lama.
Antropolog sangat senior, alm. Prof. Koentjaraningrat dalam buku "Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan" (mulai terbit 1974) dalam kalimat yang bisa dipahami sebagai ragu, menuliskan satu karangan dengan judul "Apakah Nilai Gotong Royong itu Menghambat Pembangunan?" (2015: 69).
Begitulah, agaknya, ketika pembangunanisme mengideologi menginternalisasi liberalisme pembawa kapitalistik bersama kemajuan teknologi.
Benar bahwa (sebutan) premanisme tidak diatur dalam hukum pidana negeri ini. Toh kebanyakan orang atau setidaknya banyak media massa, memaknai lebih-kurang sebagai tindakan memaksa, bahkan dengan kekerasan, yang dilakukan oleh seseorang atau banyak orang, dengan mengatasnamakan suatu kelompok atau bukan, untuk menguasai sesuatu yang bukan haknya.
Para pelaku premanisme itu, agaknya rata-rata pengangguran (jobless), dan kebanyakan berpendidikan pas-pasan, tapi hidup di tengah kemajuan teknologi tinggi khususnya dalam bidang komunikasi.
Boleh jadi, kenyataan ini seperti yang ditulis budayawan (alm) Mochtar Lubis dalam "Ciri Lainnya", yakni “Sifat kita cenderung bermalas-malasan…” ("Manusia Indonesia", 2017: 39).
Begitupun sastrawan yang juga wartawan itu, masih menuliskan dengan “kita”. Artinya, itulah persoalan bersama bangsa di tengah kemiskinan adap dan materi.
Peristiwa yang ditimbulkan akibat premanisme, mulai dari yang teringan (tapi kerap berakibat fatal), sampai kepada yang berat-berat.
Yang ringan, misalnya, di banyak jalan-jalan sempit, ditemukan beroperasi para “pak ogah” yang sering memalak ketika memandu mobil yang melintas di situ.
Mereka yang mengaku “ankamsi” (singkatan dari anak kampung sini) seraya memalak, mereka yang akan merenovasi rumah di suatu kawasan perumahan; mereka yang memalak saat mobil PLN akan memperbaiki jaringan di suatu kawasan perumahan, dengan anggapan, bahwa itu adalah rekanan kontraktor.
Ada pula modus lain. Para preman memeras para pekerja seraya menjanjikan pasti diterima sebagai pekerja di suatu pabrik. Modusnya, memaksa pemilik industri menyediakan lapangan kerja bagi sejumlah pekerja yang telah mereka jamin pasti diterima bekerja di situ. Tentu, setelah mereka meminta dan mendapat sejumlah uang dari si calon pekerja. Preman yang beroperasi sebagi calo tenaga kerja!
Juga, ada lagi sekelompok preman yang sampai menghadang dan membakar salah satu dari empat mobil polisi, ketika polisi akan menangkap ketua kelompok organisasi massa (ormas) yang terlibat penggunaan “air soft gun” dan penganiayaan. Luar biasa pengaruh pemimpin preman ini!
Terakhir, dalam grup Whatsap "Pers Mitra Polda Banten" (Sabtu, 17/5/25), Bidang Humas Polda Banten menyajikan rilis berjudul “Polda Banten Tetapkan Tersangka Atas Kasus Permintaan Proyek PT Chandra Asri Senilai Rp 5 Triliun”.
Intinya, Direktorat Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Banten, menetapkan pengurus KADIN Kota Cilegon, MS sebagai tersangka atas kasus permintaan proyek PT Chandra Asri, senilai Rp 5 Triliun, pada Jumat (16/5/25) malam.
Direktur Reskrimum Polda Banten, Kombes Pol. Dian Setyawan mengatakan, pihaknya menjerat tersangka dengan Pasal 368 KUHPidana tentang Pemerasan dan Kekerasan serta Pasal 335 KUHPidana tentang Pemaksaan.
Tersangkanya tak cuma sendiri, tapi tiga orang yang langsung ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Polda Banten.
Seperti dalam rilis tersebut, masing-masing dari para tersangka, punya peran berbeda. I menggebrak dan meminta proyek tanpa lelang. Tersangka M memaksa minta proyek kepada PT Total selaku perwakilan dari PT Chengda Engineering Co selaku kontraktor pabrik kimia “chlor alkali-ethylene dichloride” (CA-EDC). Sementara R, mengancam akan menghentikan proyek jika HNSI tidak dilibatkan dalam proyek PT China Chengda Engineering.
Terpadu
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), demikian bunyi Pasal 30 (4) tentang Pertahanan dan Keamanan Negara dalam UUD ’45, sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Sementara dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri pada Pasal 13 tentang Tugas dan Wewenang menyebutkan: Tugas pokok Polri adalah, a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, b) menegakkan hukum, dan c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayan kepada masyarakat.
Dari peristiwa premanisme yang akhir-akhir ini perburuannya digencarkan oleh Polri, tak bisa dielakkan munculnya kesan seolah kriminal yang satu ini, baru terbangun sebulan dua bulan. Padahal, kriminal premanisme sudah berlangsung bertahun-tahun di negeri ini.
Siapa-siapa yang “memelihara” atau memanfaatkan para preman secara langsung atau tidak langsung untuk suatu kepentingan mereka, jawabannya terpulang kepada penangan dini yang terpadu.
Maka, ketika pemimpin suatu daerah, misalnya mengatakan, bahwa suatu TKP premanisme tidak ber-RT dan tidak ber-RW, tentu bukan merupakan sebuah alasan pembenar untuk abai akan pembinaan.
Sebab, sangat memrihatinkan di usia RI yang sudah jelang 80 tahun, jika masih ada pemimpin suatu daerah seolah ingin mengatakan pembinaan selama tidak masuk ke wilayah tersebut.
Bukankah walau tidak ada RT dan RW, daerah tersebut secara administratif pemerintahan daerah, toh masuk dalam wilayah desa/ kelurahan, kecamatan, bahkan kota/ kabupaten, dan provinsi yang berangkutan?
Dalam keterpaduan pembinaan sebagai langkah pencegahan, Polri dapat dilibatkan, bukan hanya sebagai “pemadam kebakaran” di kala persoalan sudah runyam atau saat pecah menjadi peristiwa yang menuntut penegakkan hukum.
Polri dapat dilibatkan dalam keterpaduan pembinaan dini. Lebih-lebih lagi, institusi penegak hukum yang satu ini, telah diatur oleh UUD ’45 dan UU-nya sebagai pengayom, pelindung, pemelihara keamanan dan ketertiban, serta pelayan masyarakat.
*Komitmen, Konsisten, Teladan*
TERKAIT dengan premanisme, perwira tinggi cakap yang mendekati penulis usai ngamen seperti dalam tulisan ini, berkata, “Bagaimanapun, kami tetap Satyaha Prabu”. Artinya, “Setia kepada negara dan pimpinannya”.
Tentu saja, dalam hal ini, pemimpin yang berkomitmen dan konsisten mewujudkan penegakkan UUD ’45 serta Fungsi, Tugas dan Wewenang Polri demi kepentingan Negara.
Baca Juga: Jujur, Hipokrit, dan Manusia Indonesia
Konsisten dapat diartikan terikat pada “satunya kata dengan perbuatan” dalam mengimplementasikannya, dan sang pemimpin sadar secara moral menjadi teladan bagi masyarakat dan lingkungan yang ia pimpin.
Satyaha Prabu, adalah pertama dari empat isi Catur Prasetya yang menjadi landasan kerja Polri (sejak 1955). Lengkapnya, 1.Satyaha Prabu; 2. Hanyaken Musuh yang diartikan mengenyahkan musuh-musuh negara dan masyarakat; 3. Gieniung Pratidina yang berarti mengagungkan negara; dan 4. Tansa Trisna, yang berarti tidak terikat trisna pada sesuatu.
Bahkan, Polri juga mempunyai Pedoman Hidup (1955), yaitu Tribrata yang lahir dan telah dirumuskan secara ilmiah. Hakikat pedoman hidup Polri itu, yakni 1. Polisi itu, warga negara utama dari Nusa dan Bangsa; 2. Polisi itu, warga utama dari negara; 3. Polisi itu, wajib menjaga ketertiban pribadi dari rakyatnya (Prof. Awaloedin dkk, 2007: 316 dan 241).
Dengan kekuatan sekitar 500 ribu personel, Polri diketahui sekurangnya memiliki “tangan-tangan” yang cukup dalam menangani persoalan gangguan keamanan dan penertiban masyarakat.
Pada Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam), misalnya, Polri memiliki Korps Sabhara yang di bawah kepemimpinan saat ini, Irjen Pol. Drs. M.H. Ritonga mempunyai motto yang sangat preemptif dan preventif, yakni “Siap, Terlihat, Bermanfaat bagi sekitar 61.000 lebih personel setanah air.
Mereka itu, terdiri atas personel Direktorsat Pengaman Objek Vital Nasional (Pamobvit), Samapta (diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti siap sedia dan waspada), serta unit-unit Polisi Satwa, dan Polisi Wisata.
Masih ada lagi pasukan yang lain untuk pelayanan dan menghadapi gangguan yang masih dalam lingkup sipil. Sebut saja, di perairan dan udara ada Korps Polisi Air dan Udara (Polairud); untuk lalu-lintas darat ada Korps Polisi Lalu Lintas, selain juga ada Korps Pembinaan Masyarakat (Binmas).
Semua punya tugas dan wewenang sesuai fungsi dan peran masing-masing pada kadarnya, yaitu harus dan selalu siap melangkah terpadu dengan unsur-unsur lain eksternal Polri.
Selain itu, Polri memiliki pasukan Brigade Mobil (Brimob) dengan motto "Brimob untuk Indonesia". Brimob yang punya sejarah panjang sejak sebelum hingga beridirinya negeri ini, selalu dikerahkan manakala negara dan masyarakat menghadapi ganggunan yang patut dibaca bertendensi dan berintensitas tinggi bagi keamanan.
Plus minus selalu ada, jelas bukan sebuah permakluman untuk langkah pembiaran. Tetapi, peribahasa “karena nila setitik, rusak susu sebelanga” hendaknya patut dibaca secara adil, sehingga tahu kapan patut digunakannya pengertian peribahasa itu untuk sebuah institusi. Atau sebaliknya demikian pula terhadap yang bersifat pujian, agar tak cepat-cepat menyimpulkannya sebagai “cuma pencitraan” belaka.
Impulsif cuma akan merugikan, sementara komunikasi merupakan bagian dari kapasitas seorang pemimpin! (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS