Menyongsong Kapolri Baru, Tak Sekadar Nama dan Lulusan Tahun Berapa

Suryadi, telisik indonesia
Sabtu, 05 Desember 2020
0 dilihat
Menyongsong Kapolri Baru, Tak Sekadar Nama dan Lulusan Tahun Berapa
Suryadi, Ketua Dewan Pembina Pusat Studi Komunikasi Kepolisian dan Alumni Ilmu Politik Pascasarjana Universitas Nasional Jakarta. Foto Ist.

" …sebab dia adalah komandan, penentu kebijaksanaan dan arah kepolisian. Lebih daripada itu, Kapolri membimbing pasukannya dengan menanamkan visi perpolisian kepada anak buahnya. "

Oleh: Suryadi

Ketua Dewan Pembina Pusat Studi Komunikasi Kepolisian dan Alumni Ilmu Politik Pascasarjana Universitas Nasional Jakarta

KIAN banyak kriminal yang ditangani, dapat dipastikan sebagai pertanda keamanan makin terganggu. Langkah mengeliminasi bangunan potensi kriminal dan pencegahan hingga penindakan, menjadi pola terukur dan efektif jauh dari perilaku yang dapat mencederai keyakinan bahwa Polri itu melayani dan mengayomi.

Merumuskan hal semacam itu, gampang. Tapi, kurang-lebih ya memang Polri semacam itulah yang dituntut rakyat. Mereka merasa  aman karena terlindungi dalam suasana yang melayani. Bukan berhadap-hadapan dengan sosok garang bersenjata. Kehendak itu terkristalisasi oleh konstitusi, kemudian dijabarkan oleh UU RI No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Tidak mudah mengimplementasikannya. Masyarakat Indonesia terdiri atas beragam etnis yang membawa pula keberagaman kultur dan keyakinan. Mereka ada dalam zaman yang terus berkembang, berubah cepat ditandai oleh kemajuan teknologi berbasis ilmu pengetahuan.

Teknologi maju dengan macam-macam wujudnya menjadi tidak sesederhana sekadar sebagai alat, apalagi pelengkap. Ia mengubah kebiasaan manusia dalam berbagai lapangan kehidupan. Dalam bentuk produk, paling menonjol penggunaan telepon pintar yang mengekskalasi kecepatan menebar informasi apa saja, tanpa berpikir berkali-kali mempertimbangkan manfaat dan mudharatnya.

Pada penggunaan yang tepat manfaat, di satu sisi banyak memberi keuntungan untuk menjawab tantangan kebutuhan. Tapi, di sisi lain justru mampu memperburuk situasi. Terlebih lagi, di tengah perpolitikan Indonesia yang sudah 22 tahun terlepas dari respresifnya iklim otoritarian, ternyata Indonesia masih baru bergerak ke arah demokrasi. Dapat dipastikan, kita belum matang dan masih jauh dari dewasa dalam berdemokrasi.

Kenyataan tersebut ditandai oleh dominasi kebebasan yang menjebak ke dalam hal-hal bersifat sentimen dan emosional. Menjauh dari pertimbangan rasional. Dalam pemahaman perilaku dan karya, hal semacam itu telah memasuki ranah budaya. Kontras sekaligus kontraproduktif terhadap klaim manusia modern (baca: beradab). 

Itulah bumi Indonesia dengan alam lingkungannya, manusia dengan dinamika dan lingkungan sosialnya, yang harus dihadapi oleh Polri. Maka pilihannya, hukum jangan cuma  untuk menghukum, agar tidak sekadar menjadi juru “pemadam kebakaran”. Satu tarikan nafas dengan upaya-upaya penegakannya, hukum hendaklah tetap dibingkai oleh pola pendekatan sosiologis dan manusiawi. Konsisten!

Baca juga: Senja Kala Hari Anak se-Dunia

KEPADA KAPOLRI BARU

Jadi, siapa calon Kapolri baru menyongsong pensiunnya Jenderal Pol. Drs. Idham Aziz, M.Si pada 30 Januari 2021?  Pasti sangat penting untuk dijawab, tapi jangan sekadar terlibat dalam pusaran “siapa atau kelompok lulusan Akpol tahun berapa”.  

Polri itu sentralistik dalam visi, misi, fungsi, dan tugas. Tapi, Aneke Oase mengatakan, “Polisi di negara mana pun berwajah ganda”. “Sebagai ancaman atau pengawal bagi proses demokrasi,” lanjut Tito dan Hermawan dalam, “Democratic Policing” (2017: 25). Sosiolog terkemuka, alm. Prof. Koentjaraningrat menempatkan polisi sebagai salah satu di antara “pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok-kelompok secara besar-besaran atau kehidupan bernegara (2015: 19).

Tentang begitu pentingnya posisi dan peran Kapolri juga disitir alm. Sosiolog hukum Prof. Satjipto Rahardjo. Ia menolak penyederhanaan bahwa pergantian Kapolri merupakan hal rutin belaka. “…sebab dia adalah komandan, penentu kebijaksanaan dan arah kepolisian. Lebih daripada itu, Kapolri membimbing pasukannya dengan menanamkan visi perpolisian kepada anak buahnya” (Hasyim, 2002: 248).    

Jelaslah sudah Kapolri itu top posisi sentral dalam organisasi besar dengan lebih kurang 500 ribu anggota. Dalam satu komandonya, Kapolri harus membuka ruang kepada anak buah agar kreatif dan inovatif, dalam lingkungan Indonesia yang sedang bergerak ke arah demokrasi yang didominasi oleh kebebasan luar biasa. Pada saat yang sama, juga dituntut tertib berpegang pada aturan di bawah sorot pentingnya bersikap melayani dan mengayomi masyarakat.

Membincangkan Kapolri baru, ada dalam kerangka pemenuhan kebutuhan akan polisi yang seperti itu. Hemat penulis, “pemimpin dan kepemimpinan” yang dibutuhkan adalah yang menjawab kebutuhan masyarakat sipil, hari ini dan ke depan. Sehingga, terhindar sejauh mungkin  dari sekadar berputar-putar pada “siapa atau dari kelompok lulusan Akpol tahun berapa”. Program kapolri selektif bergerak di antara “mana yang harus layak dilajutkan dari kepemimpinan sebelumnya, dan mencoret mana yang tidak relevan”, seperti ketika Idham Azis  menggantikan Tito.

Kriteria umum calon Kapolri, sudah jelas. Jumlah perwira tinggi (pati) bintang tiga (Komjen), sekitar 20 orang. Kini mereka bertugas di dalam organisasi Polri maupun di luar, seperti BNPT, BNN dan Kemenkumham dan inspektur jenderal di kementerian. Pati bintang dua (irjen) sekitar 50 orang memimpin Polda, bertugas di Mabes Polri, dan di instansi luar.

Baca juga: Catatan Kritis, Lebih dalam Memaknai Serah Terima Jabatan

Mereka patut diperhitungkan, mengingat di masa lalu terdapat kasus Irjen cepat sekali menjadi komjen, berlanjut menjadi Kapolri atau masuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan calon Kapolri, di DPR. Ketika direkomendasikan, Presiden pun menetapkannya menjadi Kapolri dan praktis naik menjadi Jenderal bintang empat. Lihat kasus Anton Sudjarwo (era Orde Baru), pada Timur Pradopo dan Tito Karnavian di era reformasi.

Dilihat dari tahun angkatan kelulusan Akpol, mereka yang bintang dua dan tiga cukup bervariasi. Mulai dari 1992 sampai yang paling senior lulusan 1988. Bahkan, Kapolda Jateng  kini bukan dari Akpol. Alumni sekolah perwira wajib militer ini  berkarir di Polri mulai dari pangkat Ipda sebagaimana para lulusan Akpol.

Berarti, tinggal kelayakan mereka dari segi kepemimpinan. Bukan sekadar dilihat dari syarat formal sebagaimana kriteria umum. Seorang Kapolri adalah sosok yang mampu memimpin Polri dalam kerangka menata dan mengelola 500 ribu anggota Polri di seluruh Tanah Air. Manajemen itu mencakup professional melaksanakan fungsi dan tugas baik preemptif, preventif, maupun represif. Semua dalam satu kemasan penegakkan hukum yang mampu memberi rasa aman, melayani, dan mengayomi masyarakat.

Titipan lain, masih dalam kerangka polisi di negara demokrasi, adalah memberdayakan semaksimal dan seoptimal mungkin sekitar 48.000 anggota pasukan Brimob dalam penanggulangan kasus-kasus kriminal berskala tinggi, seperti terorisme. Seperti namanya, para  teroris selalu membuat suasana mencekam hingga menimbulkan ketakutan secara luas pada masyarakat. Perbuatan mereka disertai penggunaan senjata militer (diperoleh dari selundupan atau merampas), dan cenderung biadab.

Penanggulangan kejahatan terorisme oleh Brimob --yang tak lain adalah bagian dari Polri-- diharapkan akan mengurangi sorotan tajam bahwa negara telah militeristik (konotatitf) untuk penanggulangan kejahatan di wilayah sipil. Brimob adalah Polri. Polri adalah polisi sipil. Sehingga, mereka yang dioperasikan di wilayah-wilayah rimba berat seperti di Poso, Sigi dan sekitarnya di Provinsi Sulteng, adalah polisi yang memiliki kemampuan tempur skala non militer.

Keberadaan Brimob di setiap polda dengan segenap perlengkapan dan persenjataannya, pasti tak kalah dari para teroris. Mereka sangat mungkin lebih terlatih dan menguasai medan setempat. Juga, akan terjadi efisiensi anggaran sejauh tidak memobilisasi dari daerah lain. Pengerahan Brimob adalah pengerahan polisi karena ia memang Polri. Maka, penting mempersiapkan Brimob (baca: polisi) yang terlatih dan legal dalam penindakan secara hukum dan menyidik para teroris.

Dengan demikian, akhirnya Polri sangat tidak diharapkan kembali kepada “kultur dan watak lama yang dominan represif dan koruptif”. Sebelum 1998, Polri adalah bagian dari institusi yang “mendahului ketimbang didahului musuh dengan prinsip to kill or to be killed”. Polisi adalah “aparat yang diberi kewenangan melakukan kekerasan secara sah.” Tentu saja, ketika berhadapan dengan kejahatan yang mengancam keselamatan publik atau dirinya”. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga