Ketika Polisi Membaca

Suryadi, telisik indonesia
Sabtu, 01 Juli 2023
0 dilihat
Ketika Polisi Membaca
Suryadi, Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Foto: Ist.

" BUKU BPSP tidak begitu tepat disebut sebagai buku sejarah. Secara materi, di sana-sini secara populer namun jujur metodik akademik mencuplik penggal-penggal perjalanan Brimob, sejak kemerdekaan RI hingga kekinian "

Oleh: Suryadi

Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)

Tahun ini Polri 77 tahun. Tepatnya, Hari Bhayangkara 1 Juli 2023. H-1, sekitar pukul 09.32, telepon genggam berbunyi. Rada berteriak, laki-laki di pulau seberang sana berkomentar, “Saya sudah baca Brimob Penerus Semangat Proklamator. Semua Brimob (Polisi, pen) harus baca itu.

Daerah-daerah sudah dibagi-bagi belum? Paling nggak masing-masing dapat sepuluh buku lah, supaya anggota di kompi-kompi yang letaknya pisah dari markas satuan bisa ikut membaca”. --30 Juni 2023, Budiarto, pensiunan PNS/ Kadis Pariwisata Prov. Lampung.

Budi teman penulis semasa SMA N 1 di Kota Madia (Kodia) Tanjungkarang-Teluk Betung. Ibu kota Provinsi Lampung ini, sejak 1983 namanya berubah Kodia Bandar Lampung (PP 24/1983, Lembaran Negara (LN) tahun 1983 No. 30, dan Tambahan LN No. 3254).

Seiring berlaku otonomi daerah, kini bukan lagi Daerah Tingkat II Kodia, tapi cukup Kota Bandar Lampung. Di kota ini sejak puluhan tahun silam sudah bermarkas Satuan Brimob. Markasnya, dikenal berada di Kawasan Rawa Laut.

Komentar Budi tak berhenti sampai di situ. Alumni Hubungan Internasional (HI) FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, itu melanjutkan, “Ini sejarah, penting  lho, supaya mereka nggak pengen mutasi ke polantas, misalnya.” (Catatan: di Unpad Bandung juga, Dankor Brimob Komjen Pol Drs. Anang Revandoko, M.I.Kom menyelesaikan studi S2-nya).

Buku Brimob Penerus Semangat Proklamator (BPSP) ditulis oleh Suryadi bersama Helsi Dinafitri, Budi Nugroho, dan Ipda Suhardi, S.H. (anggota Resimen II Brimob Kedunghalang, Bogor). Pertama kali diluncurkan 10 Maret 2023 oleh Dankor Brimob bersama penulis.

Beberapa waktu kemudian, BPSP resmi diserahkan oleh Dankor Brimob kepada Kapolri, Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo dalam Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Brimob di Akpol Semarang, Jateng. Konon kabarnya, juga dibagi-bagikan satu-satu kepada seluruh 34 Komandan Satuan (Dansat) Brimob se-Indonesia.

Empat bulan kemudian, sejalan dengan suasana Hari Bhayangkara 2023, pertanyaan Budiarto tadi layak dilanjutkan, “Sudahkah para anggota Brigade Mobil (Brimob), bahkan Polri umumnya, membaca BPSP?”  

Baca Juga: Memetik Budaya Kemanusiaan di Rumah Sakit

Brimob sampai 14 November 1964 masih menyandang nama Mobil Brigade (Mobrig). Sebagai bagian tak terpisahkan dari Polri, bahkan lebih tua setahun daripada induknya, bagaimanapun, Brimob tetaplah Polri.

Ia terikat UU No.2/2002 tentang Kepolisian, khususnya Pasal 2 yang menetapkan: Kepolisian adalah salah satu fungsi Pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masayarakat.  

Sesuai kewenangan yang diberikan Negara, Brimob langsung berada di bawah Kapolri. Brimob berfungsi melaksanakan tugas manakala pecah gangguan keamanan berintensitas tinggi. Apalagi, bila ganguan itu mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Fungsi Kepolisian yang diembannya, tentu proporsional.    

Brimob “Hulu ke Hilir”

BUKU BPSP tidak begitu tepat disebut sebagai buku sejarah. Secara materi, di sana-sini secara populer namun jujur metodik akademik mencuplik penggal-penggal perjalanan Brimob, sejak kemerdekaan RI hingga kekinian.

Itulah fakta yang diangkat, antara lain dari buku ke buku dan hasil wawancara, mulai dari yang khusus membahas Mobrig berikut tokohnya sampai kepada era Brimob dengan para tokohnya.  

Bak kronik yang tersaji dalam karangan bergaya tulisan jurnalistik, BPSP juga menguraikan dinamika, nostalgia, dan romantika sampai Brimob naik kelas dari Tipe B ke Tipe A dalam kepemimpinan IJP Anang Revandoko (jenderal polisi bintang dua) yang kemudian naik menjadi Komjen Polisi (bintang tiga).

Ini untuk pertama kalinya Brimob dipimpin oleh jenderal polisi bintang tiga. Anang memang Brimob dari sono-nya. Ia brimob hampir di sepanjang karirnya selama 35 tahun bertugas di Polri sejak lulus dari Akpol tahun 1988.

Meski tak ditempatkan pada bagian akhir, dapat lah dikatakan tugas pengamanan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Bali, yang ditulis oleh Ipda Suhardi, sebagai “touch” akhir dari BPSP. Mantan Wakapolri yang kini kepala Badan Intelijen (BIN) RI, Prof. Dr. Budi Gunawan menyambut BPSP menulis, “Buku ini memberikan gambaran jelas ‘Hulu ke Hilir’ dari perspektif historis Korps Brimob Polri sejak masa Prakemerdekaan hingga pengamanan KTT G20 di Bali pada November 2022” (2023, xxiii).  

Dengan menyebut antara lain pelibatan Brimob pada operasii Dwikora (1962 merebut Irian Barat, pen) dan Trikora (1964-1965, konfrontasi RI-Malaysia, pen), Kapolri Sigit menulis dalam BPSP, “Dengan memegang teguh nilai-nilai kesetiaan, keberanian, dan keihlasan, Korps Brimob sampai dengan saat ini juga terus hadir dalam menghadapi gangguan keamanan berintensitas tinggi, seperti kejahatan menggunakan senjata api, insurgensi, penanggulangan konflik sosial dan masa anarkis, serta penyelamatan masyarakat (2023: xxv-xxvi).

Tak Cuma BPSP

Tentang Brimob tak cuma kental ada dalam BPSP. Jika buku ini mencuplik penggal-penggal perjalanan Brimob sejalan dengan lahir dan bertumbuhnya RI, maka dapat disebutkan sejumlah buku yang juga layak dibaca oleh anggota Brimob dan Polri umumnya.

Buku-buku tersebut sudah sepantasnya ada di Pusat Sejarah (Pusrah) Polri, demikian pula  perpustakaan lain di lembaga-lembaga pendidikan Polri serta Perpustakaan Nasional dan Daerah.

Polri layak  membukanya kepada publik, sehingga mereka dapat proporsional melihat sosok Brimob sebagai bagian tak terpisahkan darinya. Misalnya, Brimob dapat ditemukan dalam “Resimen Pelopor Pasukan Elite yang Terlupakan”  (Anton dan Andi), “Berkibarnya Sang Merah Putih di Rumbati Irian Barat (Mabes Polri), dan “Pelopor” (Supomo dkk). Selain itu juga “Negara Hadir, Negara Tidak Boleh Kalah (Suhardi dkk), serta “Brimob: Dulu, Kini, dan Esok (Supomo dkk).

Salain itu juga terserak pada semacam biografi atau memang dimaksudkan sebagai suatu biografi. Misalnya, tentang Bapak Brimob M. Jasin, yaitu ”Memoar Sang Polisi Pejuang, Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia (Ridwan dan Wiwanto. ed), juga “Singa Pejuang Republik Indonesia (Prof. Dr. H.A. Mattulada dkk), “Amji Attak” (Christina), “Karel Sadsuitubun” (Frans Hitipeuw), dan “Mengenang Jenderal Anton Soedjarwo” (Brigjen Pol. Tjutju Sumirat dkk).

Ada pula yang lain, “500 KM, Sebuah Nilai Perjuangan Tanpa Angka (Tari Moekari), “Hari-hari Bahagia Bersama Rakyat” (Sutjipto Danukusumo), dan “RM Bambang Soeprapto Danoekoesoemo dan Perjuangan Awal Kemerdekaan (AKBP (P) Masqudori).

Khusus buku-buku tentang para tokoh Brimob, akan ikut memerkaya hal-hal yang mungkin belum terungkap dalam khasanah sejarah Polri. Secara historikal, membincangkan Brimob tak bisa lepas dari membicarakan Kepolisian, sesuai masanya.

Misal, pada masa penjahan asing di masa lalu, polisi sengaja dibentuk oleh pemerintah, untuk memiliki kemampuan tempur. Meski, dalam perkembangannya kemudian berbalik menghantam pemerintah penjajah itu sendiri.

Polisi berkemampuan tempur, Mobrig atau Brimob, memang sudah sejak awal kemerdekaan. Ia bersama unsur kekuatan lainnya dan masyarakat,  memertahankan satunya negeri ini: Satunya Indonesia. Kini sebagai alat negara yang merupakan bagian dari Pemerintah dari negara yang merdeka sejak 17 Agustus 1945. Buku-buku dengan judul-judul tadi disusun secara historikal. Buku BPSP “berbau” sejarah.

Akan halnya Brimob, sebagaimana institusi induknya, kini bukan lagi tentara seperti sebelum Reformasi 1998. Tetapi, melihat tantangan yang harus dihadapi, agaknya dapat dipahami mengapa Brimob masih mirip-mirip militer alias semi militer.

Baca Juga: Liberalisasi Pergaulan Akibatkan Penyakit Sifilis Meningkat

Jujur harus diakui, terkait dengan bidang yang harus ditanganinya, yakni kegentingan akibat gangguan berintesitas tinggi di dalam negeri. Misal, ketika Polri menghadapi kejahatan bersenjata yang mengancaman keamanan dalam negeri (kamdagri); kerusuhan sosial yang mengarah kepada anarkisme; dan tampil sebagai kekuatan penindak yang dikerahkan Polri menghadapi penjahat narkoba bersenjata.  

Bagaimanapun, Brimob sebagai kekuatan penindak Polri, tak boleh hanya terampil menggunakan peralatan termasuk senjata, tapi juga harus cerdas membaca situasi. Itu sebabnya, komentar sejenis yang dikemukakan Budi tadi menjadi penting mendapat perhatian negara.

Tampaknya, hal itu sejalan dengan langkah-langkah afirmatif yang diminta oleh anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti. Dalam BPSP, ia menyebut, “Pentingnya pendidikan kejuruan dan latihan hak asasi manusia (bagi Brimob, pen) (2023: 61).

Membaca menjadi penting bagi seluruh personel Brimob dan itu antara lain bisa diperoleh dari membaca (secara kritis). Terlebih lagi, di era kini yang dirasuki oleh teknologi tinggi di bidang komunikasi. Dengan ciri “cepat dan mudah” pada produk berupa media sosial (medsos), ia tak “pandang bulu”, siap menenggelamkan siapa pun dengan apa pun profesi penggunanya. Menjadi asyik populer atau malah jatuh terbenam. 

Dari Membaca

Membaca, termasuk bila “tahan mata” lama membaca dari gadget, adalah “jalan tengah” untuk melewati salah satu proses menemukan daya kritis. Sehingga, mampu secara proporsional, misalnya, memahami hal yang patut dan tidak patut dilakukan, di bawah perintah atasan atau seketika harus otomatis bertindak. Arif!  

Membaca tidak harus tentang “diri sendiri” agar tak narsis. Selain yang terbit sebagai atau sekadar dalam perspektif historis, bacaan lain juga penting. Ini mengingat Brimob adalah Polri yang senantiasa berhadapan dengan masyarakat dengan ragam suku, budaya, dan agamanya.

Bertebar bacaan yang mampu memodali diri untuk dapat bersikap cerdas bericiri kritis dan arif. Baik itu antropologi, sosiologi, kriminologi, hukum, maupun politik atau lainnya yang menunjang tugas-tugas sebagai polisi masyarakat.

Latar belakang penulisnya juga beragam. Tak sedikit dari kalangan intelektual Polri sendiri. Banyak pula dari kalangan akademisi pemberi materi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) atau Kajian Ilmu Kepolisian (KIK).  

Rasanya, sudah tiba waktunya kini seluruh anggota Polri diwajibkan membaca, lengkap dengan evaluasi berkala. Bukan cuma ketika menjalani pendidikan formal. Sehingga, tak ada kalimat ketus: Polisi kok disuruh membaca? (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga