MK Resmi Ketuk Palu Pemilu Daerah dan Nasional Dipisah, Jeda Minimal 2 Tahun

Ahmad Jaelani

Reporter

Jumat, 27 Juni 2025  /  10:42 am

Ketua MK Suhartoyo tetapkan pemilu nasional dan daerah dipisah dua tahun. Foto: Repro Kompas.

JAKARTA, TELISIK.ID - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menetapkan pemilu nasional dan pemilu daerah digelar secara terpisah, dengan jeda minimal dua tahun setelah pemilu nasional.

Putusan penting ini disampaikan dalam sidang pengucapan putusan uji materiil terhadap Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada, yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo pada Kamis, 26 Juni 2025.

Dalam sidang tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Yayasan Perludem, melalui Ketua Pengurus Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Irmalidarti.

MK menyatakan bahwa Pasal 167 ayat 3 dan Pasal 347 ayat 1 dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, jika tidak dimaknai dengan ketentuan jeda antara pemilu nasional dan pemilu daerah.

"Amar putusan mengabulkan pokok permohonan untuk sebagian," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, seperti dikutip dari mkri.id, Jumat (27/6/2025).

Dalam putusannya, MK menyatakan pemungutan suara untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan terlebih dahulu.

Selanjutnya, dalam waktu paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan, barulah dilaksanakan pemilu untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota.

"Pemungutan suara dinyatakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden atau Wapres, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR, anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wapres diselenggarakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota," ucap Suhartoyo.

Baca Juga: Sri Mulyani Resmi Transfer Rp 16,71 Triliun Tunjangan Profesi Guru 2025 ke Rekening Tanpa Perantara

Dengan keputusan ini, maka sistem pemilu yang sebelumnya digabung antara pileg DPR, DPD, DPRD dan pilpres, harus mengalami perubahan.

Ke depan, pileg DPRD tidak lagi digabung dengan pemilu nasional, melainkan akan diselenggarakan bersama dengan Pilkada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

MK juga menyoroti persoalan kejenuhan pemilih sebagai salah satu alasan penting pemisahan ini. Wakil Ketua MK Saldi Isra menegaskan bahwa pengalaman sebelumnya menunjukkan pemilih menghadapi kesulitan saat dihadapkan dengan model pemilihan lima kotak suara dalam waktu yang bersamaan.

“Fokus pemilih terpecah pada pilihan calon yang terlampau banyak dan pada saat yang bersamaan waktu yang tersedia untuk mencoblos menjadi sangat terbatas. Kondisi ini, disadari atau tidak, bermuara pada menurunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum,” ujar Saldi.

MK menilai bahwa penyelenggaraan pemilu secara serentak untuk semua tingkatan telah menimbulkan kelelahan administratif, teknis, serta kejenuhan partisipasi di tingkat pemilih.

Hal ini menjadi dasar yang memperkuat putusan untuk memisahkan pelaksanaan antara pemilu nasional dan daerah.

Selain itu, Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa penggabungan pemilu legislatif nasional dan daerah serta eksekutif nasional dan daerah, cenderung membebani penyelenggara pemilu dan memperbesar risiko konflik serta kekacauan administratif.

Putusan ini merupakan hasil dari pengujian terhadap beberapa pasal kunci dalam dua undang-undang besar, yakni UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta UU Nomor 8 Tahun 2015 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada.

Baca Juga: DPR Segera Jadwalkan Paripurna Surat Sesepuh TNI Pemakzulan Gibran dari Wapres

Kedua undang-undang tersebut dinyatakan bertentangan dengan sejumlah pasal dalam UUD 1945, antara lain Pasal 1 Ayat (2) dan (3), Pasal 18 Ayat (4), Pasal 22E Ayat (1) dan (5), Pasal 27 Ayat (1), serta Pasal 28D Ayat (1).

Dengan demikian, ke depan akan ada penyesuaian besar dalam tahapan pemilu. Penyelenggara seperti KPU dan Bawaslu harus mengatur ulang skema penyelenggaraan, termasuk logistik, anggaran, dan sumber daya manusia, untuk mengikuti keputusan baru ini.

Pemilu nasional dan pemilu daerah yang terpisah dipastikan membawa konsekuensi teknis yang besar namun dianggap mampu meningkatkan kualitas demokrasi.

Putusan MK ini sekaligus menjadi pijakan hukum baru dalam agenda reformasi pemilu di Indonesia. Masyarakat dan peserta pemilu akan memiliki waktu dan ruang yang lebih terfokus untuk menentukan pilihan mereka secara bertahap. (C)

Penulis: Ahmad Jaelani

Editor: Kardin

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS