MKMK Berhentikan Adik Ipar Jokowi Sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, Gerindra tak Puas dan Elit PDIP Apresiasi Jimly

Mustaqim

Reporter

Rabu, 08 November 2023  /  8:19 am

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, yang juga adik ipar Presiden Jokowi, diberhentikan dari jabatan ketua dan tetap sebagai anggota dalam Sidang Etik Majelis Kehormatan MK di Jakarta, Selasa (7/11/2023) petang. Foto: Repro Antara

JAKARTA, TELISIK.ID – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK dalam sidang dugaan pelanggaran kode etik Hakim Konstitusi yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2023) petang.

Adik ipar Presiden Joko Widodo dan paman Gibran Rakabuming Raka ini dinyatakan melakukan pelanggaran berat Kode Etik Hakim. Sidang dipimpin Ketua MKMK merangkap anggota, Jimly Asshiddiqie, didampingi dua anggota lainnya Bintan R Saragih dan Wahiduddin Adams.

“Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua MK kepada hakim terlapor, Anwar Usman,” kata Jimly, saat membacakan putusan.

MKMK menilai, hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan selaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Indepedensi, serta Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Anwar Usman dinyatakan tidak berhak mencalonkan diri sebagai pimpinan MK sampai masa jabatan hakim terlapor sebagai Hakim Konstitusi berakhir. MKMK kemudian memerintahkan Wakil Ketua MK, Saldi Isra, memimpin penyelenggaraan pemilihan pengganti Anwar Usman.

“Memerintahkan Wakil Ketua MK dalam waktu 2x24 jam sejak putusan ini selesai diucapkan, memimpin pemilihan pemimpin yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ujar Jimly.

Jimly mengatakan, putusan itu diambil setelah MKMK memeriksa Anwar. Selain itu, MKMK juga telah mengumpulkan beberapa bukti dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.

Anwar dilaporkan ke MKMK atas dugaan pelanggaran Kode Etik Hakim dan perilaku Hakim Konstitusi. Dari 21 laporan yang masuk ke MKMK, Anwar adalah hakim yang paling banyak dilaporkan.

Laporan pelanggaran Kode Etik ini bermula ketika para Hakim MK menangani perkara soal uji materiil pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait batas usia capres-cawapres.

MK telah mengabulkan gugatan syarat batas usia pencalonan presiden-wakil presiden. MK menyatakan seseorang bisa mendaftar capres-cawapres jika berusia minimal 40 tahun atau sudah pernah menduduki jabatan publik karena terpilih melalui pemilu.

Baca Juga: Prabowo Enggan Tanggapi MKMK, Anies Percaya Jimly Objektif, MK Sidang Lagi Syarat Usia Capres-Cawapres Besok

Putusan itu membuka jalan bagi Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra sulung Presiden Jokowi yang belum berusia 40 tahun untuk maju di Pilpres 2024.

Dalam sidang etik pembacaan putusan MKMK itu, anggota MKMK perwakilan akademisi, Bintan R Saragih, menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) terkait putusan yang memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK.

Bintan menilai, Anwar seharusnya dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Dia mengatakan bahwa Anwar terbukti melakukan pelanggaran berat.

“Sanksi terhadap pelanggaran berat hanya pemberhentian tidak dengan hormat dan tidak ada sanksi lain sebagaimana diatur pada pasal 41 huruf (c) dan pasal 47 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi,” jelas Bintan dalam sidang pembacaan putusan.

Bintan pernah juga mengetuai Dewan Etik MK pada 2017-2020. Dia menyinggung rekam jejak dan cara berpikirnya sebagai akademisi yang selalu menilai suatu masalah, peristiwa, keadaan, dan gejala yang ada secara apa adanya.

“Dalam memberi putusan pada pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi a quo, saya memberi putusan sesuai aturan yang berlaku, dan tingkat pelanggaran Kode Etik yang terjadi dan terbukti, yaitu sanksi bagi hakim terlapor berupa pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Hakim Konstitusi,” urai Bintan.

Dua Hakim Konstitusi yang menyampaikan dissenting opinion saat sidang pembacaan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang turut dilaporkan, Saldi Isra dan Arief Hidayat, dinyatakan tidak melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

“Hakim terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sepanjang terkait pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023,” jelas Jimly.

Meski dianggap menunjukkan sisi emosional, MKMK menilai dissenting opinion hakim merupakan satu kesatuan yang utuh. Majelis berpendapat, putusan hakim harus dianggap benar terlebih jika dicermati dalam dokumen pendapat berbeda hakim terlapor Arif Hidayat.

“Yang pada pokoknya memuat isu yang erat kaitannya dengan hukum acara yakni terkait penjadwalan sidang, pembahasan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), dan penarikan serta pembacaan penarikan kembali permohonan,” kata Bintan melanjutkan pembacaan putusan setelah Jimly.

Kendati begitu, MKMK tetap memberikan sanksi berupa teguran dan lisan kepada Hakim Konstitusi Arief Hidayat terkait bocornya informasi RPH ke publik. Untuk itu, MKMK memberikan sanksi teguran tertulis secara kolektif terhadap Arief Hidayat.

Begitu pun dengan Hakim Konstitusi lainnya Saldi Isra. Dia dinilai tidak melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim saat menyampaikan dissenting opinion dalam putusan MK mengenai syarat batas usia minimal capres-cawapres.

“Hakim terlapor Saldi Isra tidak dapat dinyatakan melanggar Kode Etik yang disebabkan materi muatan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023,” kata Anggota MKMK, Wahiduddin Adams, saat membacakan putusan.

Namun, Jimly tetap memberikan sanksi berupa teguran lisan kepada Saldi Isra soal bocornya informasi RPH ke publik.

Selain Arief dan Saldi, MKMK juga memvonis tujuh Hakim Konstitusi lainnya karena terbukti melanggar Etik. MKMK menilai, para hakim terlapor telah terbukti secara meyakinkan melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan, dan Kesopanan.

“Hakim terlapor terbukti tidak dapat menjaga informasi rahasia dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang bersifat tertutup sehingga melanggar prinsip kepantasan. Menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif kepada para hakim terlapor,” kata Jimly.

Putusan ini terkait dengan laporan yang dilaporkan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia (TAPHI), Advokat Pengawal Konstitusi, Perhimpunan Pemuda Madani dan Alamsyah Hanafiah.

Enam hakim yang termasuk dalam laporan ini adalah Manahan M. P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan M Guntur Hamzah. Sementara untuk Anwar Usman, Saldi Isra, dan Arief Hidayat, ketiganya diadili secara terpisah.

Laporan terhadap para Hakim Konstitusi ini tertuang dalam nomor perkara 5/MKMK/L/10/2023. Ada dua poin yang dinilai terbukti dalam laporan tersebut yang terkait pelanggaran etik sembilan Hakim Konstitusi.

Pertama, yakni soal Hakim Konstitusi tidak mengingatkan sesama hakim yang berpotensi menjadi masalah. Misalnya, saat memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, ada hakim yang diduga konflik kepentingan, tetapi tidak diingatkan oleh hakim MK lainnya.

Kedua, adanya kebocoran informasi dalam RPH yang bersifat rahasia. Informasi ini dinilai bocor ke publik. MK tidak bisa membuktikan adanya pembocoran informasi, tetapi tetap saja sembilan hakim MK dinilai wajib menjaga informasi, dan seharusnya itu tidak boleh bocor.

Baca Juga: Gerindra Yakin MKMK Tak Ubah Putusan MK Soal Capres-Cawapres, Mahfud Tunggu Reaksi Publik

Menyikapi putusan MKMK, Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra, Habiburokhman, merasa tak puas dan meminta Polri untuk menindaklanjuti hasil keputusan tersebut yang menyatakan adanya kebocoran data. Dia menilai hal tersebut bisa masuk ranah pidana.

“Kami meminta Polri agar menindaklanjuti putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi hari ini yang dengan terang dan jelas menyebut terjadi kebocoran informasi terkait putusan Mahkamah Konstitusi,” tegas Habiburokhman kepada wartawan, Selasa (7/11/2023).

Habiburokhman mengatakan pembocoran informasi merupakan tindak pidana. Pihak yang terbukti melakukan hal itu dapat dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Respon berbeda datang dari Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul. Bambang awalnya mendorong jalannya persidangan MKMK digelar secara terbuka untuk publik. Putusan MKMK ini, menurutnya, menjadi pembelajaran bagi seluruh Hakim Konstitusi.

“Sungguh ini pembelajaran bagi setiap anak bangsa yang tertarik terhadap kinerja hakim-hakim MK RI. Ini bagus sekali,” kata Bambang Pacul kepada wartawan, Selasa (7/11/2023).

Bambang Pacul pun menyampaikan apresiasi kepada Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie, atas putusan MKMK tersebut.

“Sebagai Ketua Komisi III, saya ucapkan terima kasih dan apresiasi kepada Ketua MKMK yang memimpin sidang dengan baik dan mengambil keputusannya secara terbuka,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Nasdem, Ahmad Sahroni, menilai keputusan MKMK sudah berimbang dan diambil secara tak mudah.

“Saya sangat apresiasi MKMK sudah sangat objektif dalam mengeluarkan putusan ini. Walau saya yakin pasti ini sangat tidak mudah. Ini menjaga kepercayaan publik kalau lembaga sakral negara tidak bisa diacak-acak seenaknya demi kepentingan pribadi,” tegas Sahroni.

Walau ini tidak otomatis membatalkan putusan MK sebelumnya, kata Sahroni, namun paling tidak rakyat bisa melihat bahwa jelas ada yang salah pada proses hukum dalam putusan MK. (A)

Penulis: Mustaqim

Editor: Haerani Hambali

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS