Nusantara di Tengah Khatulistiwa
Penulis
Minggu, 30 Januari 2022 / 8:15 pm
Oleh: Dr. Usmar, SE, M.M
Ketua LPM Universitas Moestopo (Beragama) Jakarta & Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional
HARI Selasa 18 Januari 2022 dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-13 masa persidangan III tahun sidang 2021-2022, DPR bersama pemerintah telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) menjadi Undang-Undang IKN.
Dengan demikian secara de jure resmi sudah ibukota Indonesia di Jakarta dapat dipindahkan ke Kalimantan Timur.
Dipilihnya Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), yang merupakan kabupaten ke-13 di Provinsi Kalimantan Timur yang baru terbentuk sekitar 20 tahun lalu, berdasarkan Undang-undang nomor 7 tahun 2002, yang meliputi; Kecamatan Penajam, Waru, Babulu dan Sepaku, menharuskan pemerintah untuk segera merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada.
Seperti kita ketahui, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kalimantan Timur telah tertuang dalam Perda No.1/2016 tentang RTRWP Kalimantan Timur 2016-2036, untuk kiranya di revisi dan di sesuaikan dengan masterplan ibukota sebuah negara.
Kita mengetahui, bahwasannya ada 6 dasar yang jadi pertimbangan dalam pergerakan manusia, yaitu: destination (tujuan), distance (jarak), design (rancangan), density (kepadatan), diversity (keberagaman), demand management (mengelola kebutuhan).
Oleh karena itu, idealnya alasan utama pemindahan ibu kota negara, adalah dalam upaya mengatur keseimbangan dan keadilan pembangunan serta meningkatkan kekuatan geopolitik nasional dalam perspektif geopolitik global.
Sehingga pemilihan Kalimantan Timur sebagai ibukota Negara, merupakan keinginan menghidupkan dan mengibarkan kembali bahwa Indonesia sebagai negara maritim/bahari.
Karenanya, Ibukota Indonesia yang baru harus dipahami dalam perspektif, sebagai etalase utama dari bangsa dan negara yang hebat, kuat dan bermartabat. sehingga harus dirancang untuk mampu merespon perkembangan dan kemajuan teknologi, peradaban dan perubahan zaman.
Dan sebagai konsekuensi dari semangat mengangkat Kembali Indonesia sebagai negara maritim, tak terhindarkan matra laut sebagai kekuatan utama harus menjadi pilihan.
Pulau Kalimantan sebagai Pilihan
Pulau Kalimantan adalah pulau terbesar ketiga di dunia, saat ini dimiliki oleh tiga negara, dimana sekitar 73% (544.150 km2) dimiliki Indonesia, dan sekitar 26?alah wilayah Malaysia, serta sekitar 1 persen sisanya dikuasai Brunei Darussalam.
Nama Kalimantan dalam bahasa lokal, merupakan paduan dua kata, yakni Kali (sungai) dan Mantan (banyak). Sehingga Kalimantan dapat dimaknai sebagai pulau dengan banyak sungai. Dan memang pulau Kalimantan itu paling tidak dilintasi oleh 58 sungai besar
Dimana Sungai Kapuas yang paling panjang sekitar 1.143 km di Kalimantan Barat, dan di Kalimantan Timur ada Sungai Mahakam sepanjang 980 km.
Di pilihnya pulau Kalimantan sebagai ibukota negara Indonesia, oleh pemerintahan Jokowi sejatinya dulu juga pernah terjadi di era Pemerintahan Bung Karno pada tahun 60-an.
Namun pada saat itu Bung Karno lebih memilih Kota Palangka Raya di Provinsi Kalimantan Tengah sebagai calon ibukota, bukan di Kalimantan Timur sebagaimana pilihan Presiden Jokowi saat ini.
Adapun alasan Bung karno ingin memindahkan ibukota dari Jakarta, beliau memprediksi bahwa kedepan dengan pertambahan penduduk yang sangat cepat, maka secara geografis dan geopolitik sudah tidak akan mampu lagi menanggung beban dan fungsinya.
Dan pemilihan Palangka Raya sebagai ibu kota pada saat itu mendapat dukungan penuh dari warga setempat, khususnya suku Dayak. Hal itu ditunjukkan hampir setiap bulan mereka mengirimkan delegasi ke Jakarta untuk bertukar pikiran dengan Presiden Soekarno di Istana Merdeka tentang rencana tersebut.
Hanya saja setelah Bung Karno memerintahkan dilakukan penelitian lebih lanjut, ternyata tanah di kawasan Palangka Raya merupakan tanah gambut yang tidak mungkin menahan beban bangunan pencakar langit yang rencananya akan dibangun di sana, sehingga rencana tersebut dibatalkan.
Dipilihnya Nama Nusantara
Dari jumlah 80 usulan nama yang diusulkan para ahli untuk nama wilayah ibukota baru tersebut, Presiden Jokowi memilih nama ibukota negara Indonesia adalah Nusantara
Adapun alasan pemilihan nama Nusantara menurut Kepala Bappenas Suharso Monoarfa “karena sudah dikenal sejak dulu dan ikonik di Internasional, mudah dan menggambarkan kenusantaraan kita semua Republik Indonesia”.
Perdebatan yang terjadi dikalangan sejarawan dalam memaknai pemilihan nama “Nusantara”, adalah suatu kelaziman yang memang wajar terjadi dalam negara demokrasi dan di dunia akademik.
Menurut penulis, pemilihan nama Nusantara oleh Presiden Jokowi, sudah sangat ideal sebagai representasi seluruh Indonesia, yang bernuansa dan membangkitkan kembali semangat negara kepulauan dengan kekuatan maritimnya.
Menurut Sejarawan Samarinda Muhammad Sarip, bahwa "Nusantara” sebenarnya merupakan toponimi (nama tempat) wilayah di timur Kalimantan sebelum dicetuskannya nama Kutai pada tahun 1300-an Masehi oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Hal tersebut merujuk pada tulisan Solco Walle Tromp berjudul Uit de Salasila van Koetei, dalam Journal of The Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, terbitan Brill, 1 Januari 1888. SW Tromp tersebut merupakan sosok yang pernah menjabat Asisten Residen Oost Borneo dan meneliti manuskrip Salasilah Kutai.
Baca Juga: Bulog Dikungkung Utang, Apa Kabar Ketahanan Pangan Negara
"Dalam penelitiannya, Solco Walle Tromp menulis bahwa menurut tradisi lisan setempat, sebelum Kutai menjadi nama kerajaan, kala itu wilayahnya menyandang nama Nusantara. Teks asli versi Tromp dalam bukunya yang berjudul Uit de Salasila van Koetei adalah Noesëntara,".
Dan ini sejalan dengan pendapat Ridwan Saidi Budayawan Betawi, yang mengatakan bahwa Istilah 'nusantara' ini adalah dari bahasa Melayu lama.
Jakarta Tetap Kota Istimewa
Meski kelak ibukota negara telah di pindahkan dari Jakarta, namun sebaiknya Jakarta tetap dijadikan Provinsi dengan status Istimewa mengingat kesejarahannya dalam dinamika perjalanan bangsa Indonesia.
Sehingga jika Jakarta tetap menyandang status istimewa, maka Jakarta akan tetap eksis dengan segala kelebihannya dari sektor ekonomi dan perdagangan.
Adapun dasar hukum untuk menetapkan Jakarta berstatus khusus, dapat berdasarkan pasal 18B ayat 1 UUD 1945, dimana Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Seperti kita ketahui bersama menuju tahun 2030, Pemerintah pusat dan Pemda Se-Jabodetabek yang meliputi Kota/Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota/Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota/Kabupaten Bekasi, telah sepakat untuk membangun Proyek infrastruktur mencakup 5 (lima) bidang yakni; transportasi, air bersih, air limbah, perumahan, dan pengendalian banjir dengan estimasi biaya mencapai sekitar Rp571 triliun.
Baca Juga: Relasi Hati dan Pikiran
Diharapkan dengan selesainya nanti pembangunan bersama proyek Infrastruktur problema yang ada di wilayah Jabodetabek dapat di atasi.
Dengan demikian semangat membangun ibukota negara yang baru yang lebih Visioner, namun juga tidak menghilangkan sejarah dari peran sangat penting kota Jakarta dalam tegak dan berdirinya Republik Indonesia yang kita cintai ini dapat dilakukan secara beriringan. (*)