Paradoks di Garis Ekuator, Defisiensi Vitamin D Melanda Indonesia

Rasyiqah

Penulis

Minggu, 12 Oktober 2025  /  7:13 am

dr. Rasyiqah, Konselor Laktasi. Foto: Ist.

dr. Rasyiqah

Konselor Laktasi

SEBAGAI negara yang dilintasi garis khatulistiwa dengan kelimpahan sinar matahari sepanjang tahun, Indonesia seharusnya menjadi lokasi ideal bagi warganya untuk mendapatkan vitamin D secara alami.

Namun, data menunjukkan kenyataan yang berbanding terbalik: defisiensi vitamin D telah menjadi krisis kesehatan yang meluas dan berkontribusi langsung pada beban kesehatan masyarakat jangka panjang seperti kekuatan tulang, imunitas, hingga kesehatan mental.

Defisiensi vitamin D adalah kondisi di mana tubuh tidak memiliki cukup vitamin D untuk menjaga kesehatan tulang dan fungsi tubuh lainnya. Meskipun matahari merupakan sumber utama, berbagai penelitian mengungkap prevalensi yang mengkhawatirkan di Indonesia.

Penelitian IDAI di Jakarta menemukan 75,8% anak sekolah dasar mengalami defisiensi vitamin D. Risiko terus meningkat seiring bertambahnya usia. Data menunjukkan bahwa 63% wanita dewasa (usia 18-40 tahun) mengalami defisiensi. Angka ini melonjak pada kelompok lansia, di mana 78,2% di antaranya kekurangan vitamin D.

Untuk memahami paradoks defisiensi vitamin D di Indonesia, penting untuk menganalisis berbagai faktor penyebab yang saling terkait. Asumsi bahwa iklim tropis secara otomatis menjamin kecukupan vitamin D terbukti keliru.

Nyatanya terdapat tiga faktor utama yang menjadi pendorong krisis defisiensi vitamin D di Indonesia:

Faktor Gaya Hidup dan Lingkungan. Perubahan gaya hidup modern secara signifikan mengurangi paparan sinar matahari yang esensial.

Sebagaimana dicatat oleh peneliti UGM, Ronny Martien, anak-anak menghabiskan sebagian besar waktu pagi dan siang hari di dalam ruangan untuk bersekolah, yakni pada jam-jam ideal (sekitar pukul 09.00-10.00) untuk sintesis vitamin D.

Baca Juga: Gaza Tidak Butuh Solusi Dua Negara

Kecenderungan ini juga berlaku bagi orang dewasa yang bekerja di dalam ruangan. Selain itu, kebiasaan berpakaian yang cenderung tertutup dan penggunaan tabir surya juga menjadi faktor penghambat produksi vitamin D di kulit.

Faktor Asupan Gizi: Vitamin D secara sebenarnya terdapat dalam ikan sarden, salmon, ikan tuna, kuning telur, susu, keju, serta yoghurt. Sayangnya, tingginya konsumsi makanan ultra proses (UPF) serta kurang beragamnya pangan harian menyebabkan rendahnya penyerapan vitamin D dari makanan.

Survei yang dilakukan BPOM, menunjukkan pangan jajaran menyumbang 31.1% energi harian anak sekolah. Menurut data Godsats per Desember 2024, rata-rata pengeluaran perkapita untuk makanan dan minuman jadi dalam seminggu mencapai angka tertinggi yaitu 55.744. Rendahnya konsumsi makanan yang diperkaya ini memperburuk defisiensi yang disebabkan oleh kurangnya paparan sinar matahari.

Faktor Fisiologis dan Genetik: Beberapa faktor biologis juga turut berkontribusi. Pigmentasi kulit yang lebih gelap, yang umum pada populasi Asia, secara alami mengurangi efisiensi produksi vitamin D. Kondisi lain seperti obesitas juga dapat menurunkan kadar vitamin D dalam sirkulasi.

Lebih lanjut, penelitian menunjukkan adanya variasi genetik pada populasi Indonesia yang dapat menyebabkan gangguan metabolisme dalam sintesis vitamin D, membuat tubuh cenderung memiliki kadar vitamin D yang lebih rendah meskipun dengan paparan matahari yang cukup.

Kombinasi dari berbagai faktor ini menciptakan kondisi yang ideal bagi terjadinya defisiensi vitamin D skala luas, yang membawa serta berbagai risiko kesehatan serius.

Pentingnya mengatasi krisis defisiensi vitamin D terletak pada dampaknya yang luas dan berpotensi parah terhadap kesehatan.

Kekurangan "vitamin matahari" ini bukan sekadar masalah kecil, melainkan pemicu berbagai gangguan kesehatan serius yang memengaruhi sistem tulang, kekebalan tubuh, hingga fungsi kardiovaskular. Dampaknya terasa signifikan pada setiap tahap kehidupan, mulai dari masa kanak-kanak hingga usia lanjut.

Dampak pada Anak: Tidak hanya risiko kegagalan mencapai "Puncak Massa Tulang (PMT)" atau Peak Bone Mass—fondasi kesehatan tulang seumur hidup, defisiensi vitamin D pada masa pertumbuhan juga menyebabkan risiko pertumbuhan yang terhambat, penyakit tulang seperti rakitis, dan sistem kekebalan tubuh yang lemah.

Anak menjadi rentan terhadap infeksi saluran pernapasan, influenza, dan tuberkulosis. Selain itu, defisiensi ini dikaitkan dengan munculnya penyakit tidak menular di usia dini, seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskular.

Dampak pada Populasi Umum: Pada orang dewasa dan lansia, kekurangan vitamin D adalah faktor risiko utama untuk osteoporosis (pengeroposan tulang). Data Kementerian Kesehatan tahun 2013 menunjukkan prevalensi Osteoporosis di Indonesia pada perempuan usia 50?70 tahun sebesar 23?n pada usia >70 tahun sebesar 53%.

Kondisi ini meningkatkan risiko patah tulang, karena peran vitamin D sangat krusial dalam penyerapan kalsium; tanpa vitamin D yang cukup, hanya 10-15% kalsium yang dikonsumsi dapat diserap oleh tubuh. Dampak lainnya, sebagaimana diangkat dalam diskursus publik (Reddit), meluas ke kesehatan mental, di mana kekurangan vitamin D dianggap sebagai salah satu penyebab depresi dan stres.

Mengatasi krisis defisiensi vitamin D memerlukan pendekatan strategis yang komprehensif, menggabungkan edukasi publik, perubahan gaya hidup, optimalisasi gizi, dan pemanfaatan inovasi suplemen.

Solusi yang ada bersifat praktis dan dapat diimplementasikan oleh individu maupun melalui kebijakan kesehatan publik untuk mencapai dampak yang luas dan berkelanjutan. Berikut adalah strategi multi-cabang yang direkomendasikan untuk menanggulangi.  

Peningkatan Paparan Sinar Matahari: Solusi paling mendasar dan alami adalah mengubah perilaku untuk meningkatkan paparan sinar matahari. Masyarakat dianjurkan untuk lebih banyak beraktivitas di luar ruangan, terutama pada waktu yang ideal untuk sintesis vitamin D, yaitu sekitar pukul 9 hingga 10 pagi.

Baca Juga: Perda Mati Muda, Mengapa Banyak Aturan Tak Dijalankan?

Cukup 5-15 menit untuk orang dengan kulit cerah atau 30 menit untuk orang yang berkulit gelap

Optimalisasi Asupan Gizi: Memperbaiki pola makan adalah kunci. Peningkatan konsumsi makanan yang yang mengandung vitamin D, seperti susu, yoghurt, dan ikan tuna atau salmon sangat dianjurkan.

Studi SEANUTS II membuktikan bahwa anak-anak yang minum susu saat sarapan memiliki asupan vitamin D 4,4 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak. Mendorong kebiasaan sarapan sehat yang menyertakan produk susu dapat menjadi intervensi gizi yang sangat efektif.

Pentingnya Suplementasi Vitamin D. Suplementasi vitamin D menjadi solusi mudah dan praktis menangani defisiensi. Ikatan Dokter Anak Indonesia memberikan rekomendasi suplementasi harian. Kelompok usia 0-12 bulan direkomendasikan 400 IU per hari dan untuk kelompok usia di atas 12 bulan sebanyak 600 IU per hari tanpa memandang asupan makanannya.

Mengatasi defisiensi vitamin D bukan hanya sekadar menangani satu isu nutrisi, melainkan sebuah strategi preventif berdampak tinggi untuk mitigasi beban kesehatan jangka panjang dan meningkatkan ketahanan nasional terhadap penyakit menular.

Dengan mengombinasikan peningkatan kesadaran, perubahan gaya hidup, dan suplementasi  mengatasi paradoks tropis ini dan membangun fondasi kesehatan yang lebih kuat. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS