Perda Mati Muda, Mengapa Banyak Aturan Tak Dijalankan?

Evi Risnawati, telisik indonesia
Sabtu, 11 Oktober 2025
0 dilihat
Perda Mati Muda, Mengapa Banyak Aturan Tak Dijalankan?
Evi Risnawati, Perancang Peraturan Perundang-Undangan Kanwil Kemenkum Sultra. Foto: Ist.

" Mereka lahir dari ruang-ruang rapat yang dipenuhi jargon perubahan, dirancang oleh tim ahli, disahkan dengan tanda tangan pejabat, dan diumumkan dengan rasa bangga "

Oleh: Evi Risnawati

Perancang Peraturan Perundang-Undangan Ahli Muda Kanwil Kementerian Hukum Sultra

SETIAP tahun, ratusan peraturan daerah (Perda) lahir di berbagai penjuru Indonesia. Mereka lahir dari ruang-ruang rapat yang dipenuhi jargon perubahan, dirancang oleh tim ahli, disahkan dengan tanda tangan pejabat, dan diumumkan dengan rasa bangga.

Namun, tak sedikit dari mereka mati muda, tidak sempat menatap dunia nyata, apalagi memberi manfaat bagi masyarakat yang menjadi alas kelahirannya.

Banyak Perda berhenti sebagai dokumen hukum yang tertidur di lembaran daerah, seperti artefak birokrasi yang membisu di rak-rak arsip. Di atas kertas, mereka sah dan mengikat. Namun di lapangan, keberadaannya nyaris tak terasa. Tak ada sosialisasi, tak ada anggaran pelaksanaan, bahkan tak ada kesadaran bahwa aturan itu pernah dibuat.

Fenomena ini menyedihkan, tapi nyata. Ia menggambarkan betapa hukum di tingkat daerah sering kali berhenti pada tataran simbolik, lahir dengan gegap gempita, tapi berakhir dalam sunyi.

Kematian dini Perda bukan kebetulan. Ia adalah hasil dari sistem pembentukan peraturan yang lebih berorientasi pada output daripada outcome. Banyak pemerintah daerah masih memandang penyusunan Perda sebagai capaian administratif, semakin banyak perda disahkan, semakin terlihat produktif.

Padahal, regulasi yang baik bukan diukur dari jumlahnya, melainkan dari sejauh mana ia diimplementasikan dan berdampak.

Tak jarang, proses pembentukan perda berlangsung terburu-buru demi memenuhi target Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda).

Naskah akademik disusun dalam waktu singkat, sering kali dengan studi literatur seadanya. Bahkan, di beberapa kasus, isi Perda hanya meniru kebijakan daerah lain tanpa menyesuaikan konteks sosial dan ekonomi lokal.

Hasilnya adalah peraturan yang indah di atas kertas, tapi rapuh di lapangan. Ia tidak punya akar sosial, tidak punya daya dukung anggaran, dan tidak punya pengawal yang siap memastikan keberlanjutannya.

Baca Juga: Gaza Tidak Butuh Solusi Dua Negara

Cobalah lihat di sekitar kita. Ada Perda tentang pengelolaan sampah yang tak pernah diterapkan karena tidak ada fasilitas daur ulang. Ada Perda tentang tata ruang yang dilanggar justru oleh pembangunan proyek pemerintah sendiri.

Ada pula Perda perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) yang diabaikan begitu saja ketika investor datang membawa izin lokasi.

Semua itu menunjukkan satu hal, banyak perda lahir tanpa rencana hidup. Hukum semestinya menjadi alat untuk mengatur perilaku masyarakat, memperbaiki sistem, dan memberi kepastian.

Tapi bagaimana hukum bisa berfungsi jika masyarakat bahkan tidak tahu ia ada? Jika aparatur daerah tidak tahu bagaimana menegakkannya? Jika anggaran implementasinya tidak pernah disiapkan dalam APBD?

Perda yang mati muda bukan sekadar kegagalan administratif, melainkan kegagalan moral dalam tata kelola pemerintahan.

Lebih tragis lagi, tidak ada yang berkabung ketika sebuah Perda gagal dijalankan. Tidak ada laporan yang menyebutkan bahwa suatu Perda telah kehilangan relevansi atau tak lagi bisa diimplementasikan. Ia hanya hilang begitu saja, menguap dari kesadaran birokrasi, tanpa pemakaman, tanpa perpisahan.

Padahal, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan tegas mewajibkan adanya evaluasi terhadap efektivitas peraturan. Dalam praktiknya, mekanisme evaluasi ini hampir tak pernah dijalankan secara serius.

Bagian hukum di pemerintah daerah, yang seharusnya menjadi “penjaga nyawa” regulasi, lebih sering terjebak dalam rutinitas administratif, memeriksa format, redaksi, dan tanda tangan, tanpa menelusuri bagaimana aturan itu hidup di lapangan.

Sementara itu, DPRD pun jarang melakukan pengawasan substantif terhadap implementasi Perda yang telah mereka sahkan. Fokus bergeser pada pembahasan perda baru, seolah-olah menulis undang-undang lebih penting daripada memastikan yang lama berjalan.

Jika kita mau jujur, pemerintah daerah kadang tanpa sadar menjadi pencipta sekaligus penggali kuburan bagi Perda-Perda yang mereka lahirkan sendiri. Tak sedikit kepala daerah menjadikan Perda sebagai pencapaian politik, bukan sebagai alat perubahan.

Banyak Perda dibuat sebagai proyek politik  menjadi simbol “kerja nyata” dalam laporan kinerja kepala daerah. Setelah disahkan dan dipublikasikan, tugas dianggap selesai. Padahal, tanpa peraturan pelaksana, tanpa anggaran, dan tanpa pengawasan, Perda hanya menjadi nisan dari ambisi yang tak pernah diwujudkan.

Lebih tragis lagi, tidak ada mekanisme berkabung. Tidak ada laporan resmi yang menyatakan sebuah Perda gagal. Ia hanya menghilang dari kesadaran publik, pelan-pelan, tanpa berita, seperti hilangnya sebuah ingatan.

Kondisi ini diperparah oleh politik anggaran yang tidak berpihak pada keberlanjutan kebijakan. Ketika APBD disusun, Perda sering kali tidak mendapat alokasi program atau kegiatan. SKPD terkait pun enggan menjalankan peraturan yang tidak memiliki dukungan dana.

Di sinilah letak paradoksnya. Kita rajin membuat aturan, tapi malas menjalankannya. Kita pandai menulis norma, tapi abai terhadap implementasi.

Namun, tidak semua kisah berakhir tragis. Masih banyak daerah yang mulai belajar memperlakukan Perda dengan hormat. membangun sistem evaluasi regulasi, Memperkuat uji publik, dan memastikan implementasi diukur lewat indikator yang nyata.

Itulah harapan baru, bahwa setiap aturan tidak sekadar dilahirkan, tetapi juga dibesarkan, dirawat, dan dibiarkan tumbuh menjadi instrumen perubahan.

Karena sejatinya, hukum bukan untuk dikoleksi di rak dokumen, melainkan untuk mengatur dan melindungi manusia yang menjadi alas kelahirannya.

Sudah saatnya kita bertanya, untuk siapa sebenarnya Perda-Perda itu dibuat? Jika masyarakat tidak pernah tahu, tidak pernah dilibatkan, dan tidak pernah merasakan manfaatnya, maka lahirnya peraturan hanyalah ritual kosong.

Daerah harus berani melakukan introspeksi:

• Apakah setiap Perda yang disusun benar-benar diperlukan?

• Apakah sudah dilakukan kajian mendalam sebelum disahkan?

• Apakah sudah disiapkan strategi pelaksanaan dan anggarannya?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu menentukan apakah sebuah Perda akan hidup atau mati muda.

Baca Juga: Cikeas-Mekah, Memaknai Sejarah bagi Generasi Pelanjut

Karena sejatinya, hukum tidak lahir untuk dipajang di lembaran daerah. Ia lahir untuk dijalankan, ditegakkan, dan dirasakan oleh masyarakat.

Namun, semua belum terlambat. Kita masih bisa menyelamatkan hukum daerah dari kematian dini. Pemerintah daerah perlu memperkuat fungsi evaluasi regulasi, bukan sekadar menulis laporan, tapi betul-betul mengukur sejauh mana Perda dijalankan dan berdampak.

Partisipasi publik juga harus diperluas. Masyarakat, akademisi, dan media lokal perlu dilibatkan dalam setiap tahap, dari penyusunan, sosialisasi, hingga pengawasan implementasi. Ketika publik merasa memiliki, hukum akan lebih mudah dihidupkan.

Lebih dari itu, bagian hukum daerah harus mulai berperan strategis sebagai arsitek kebijakan hukum, bukan sekadar penjaga tata naskah. Fungsi mereka harus bergeser dari administratif menjadi substantif memastikan setiap Perda tidak hanya sah, tapi juga relevan, realistis, dan berkelanjutan.

Hukum yang baik bukanlah hukum yang banyak, tapi hukum yang bekerja. Perda yang sejati bukan diukur dari jumlahnya, tapi dari kehidupan yang disentuhnya.

Jika kita terus melahirkan aturan tanpa memastikan nyawanya, maka kita tidak sedang membangun peradaban hukum, melainkan menyiapkan kuburan bagi kebijakan yang mati muda.

Sudah saatnya pemerintah daerah menolak budaya seremonial dalam legislasi. Mari beralih dari kebanggaan melahirkan Perda, menuju kebanggaan menegakkan dan merawatnya. Karena hukum sejati tidak hidup di ruang rapat, ia hidup di tengah masyarakat yang merasakan keadilannya. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga