Pelayanan Publik yang Berkeadilan Sosial
Penulis
Sabtu, 24 Februari 2024 / 8:37 pm
Oleh: Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia Periode 2012-2015
PELAYANAN publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara Negara. Rakyat selaku pendiri negara mengharapkan agar pemerintah Negara yang didirikan dapat memberikan pelayanan dalam rangka memenuhi kebutuhannya.
Salah satu kebutuhannya sangat diharapkan dipenuhi adalah kebutuhan kesehatan. Rakyat berkeyakinan bahwa bila kebutuhan kesehatannya dapat terpenuhi dengan baik maka itulah jalan utama dan pertama untuk menuju kepada kesejahteraannya.
Persoalan kemudian muncul karena harapan rakyat untuk memperoleh pelayanan publik tidak selalu terwujud dengan baik. Tidak jarang kita mendengar dan membaca di media adanya keluhan masyarakat atas berbagai kendala dan masalah dari pelayanan publik yang diterimanya.
Di antara keluhan itu yaitu: kurang responsif atau lamban, kurang informatif, kurang accessible, kurang koordinasi, birokratis, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat, dan kurang efisien.
Sebagai Pelayanan Publik
Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, bahwa pelayanan kesehatan termasuk ruang lingkup pelayanan publik. Karena termasuk pelayanan publik maka pelayanan kesehatan pun diharapkan mampu mewujudkan good governance.
Dalam proses demokrasi, good governance mengilhami terwujudnya pemerintahan yang memberikan ruang partisipasi yang luas bagi aktor dan lembaga di luar pemerintah, sehingga terwujud pembagian peran yang seimbang antara negara, masyarakat sipil, dan dunia usaha.
Adanya pembagian peran yang seimbang dan saling melengkapi antara ketiga unsur tersebut bukan hanya memungkinkan adanya check and balance tetapi juga menghasilkan sinergi yang baik dalam mewujudkan keadilan serta kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
Tantangan utama dalam membangun good governance dalam pelayanan kesehatan adalah bagaimana melibatkan ketiga unsur di atas dalam praktik pemerintahan sehari-hari. Bagaimana membagi peran yang proporsional antara pemerintah, masyarakat sipil, dan dunia usaha serta mengembangkan sinergi dari ketiganya.
Beberapa pertimbangan mengapa pelayanan kesehatan sebagai pelayanan publik menjadi titik strategi untuk memulai pengembangan good governance, sebagai berikut: Pertama, pelayanan kesehatan merupakan pelayanan dasar dibutuhkan oleh seluruh anggota masyarakat.
Dalam melaksanakan pelayanan publik, pemerintah dapat berinteraksi dengan organisasi profesi kesehatan serta masyarakat pemerhati kesehatan, dan dunia usaha, karena memiliki misi suci yang sama yaitu pelayanan kemanusiaan.
Bukan misi liberalisasi yang berintikan paham individualisme dan kapitalisme. Baik dan buruknya praktik governance dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan kepada masyarakat sangat ditentukan oleh sejauh mana pergumulan pemikiran antara ketiga komponen tersebut dalam interaksinya
Kedua, berbagai aspek good governance dapat diartikulasikan secara relatif lebih mudah dalam ranah pelayanan kesehatan. Aspek kelembagaan yang selama ini sering dijadikan rujukan dalam menilai praktik good governance dapat dengan mudah dinilai dalam praktik penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Ketiga, pelayanan kesehatan dapat melibatkan kepentingan semua unsur governance. Pemerintah sebagai representasi negara, organisasi profesi dan masyarakat sipil pemerhati kesehatan dan dunia usaha dan bahkan masyarakat selaku pengguna jasa layanan juga memiliki kepentingan dan keterlibatan yang tinggi dalam ranah ini.
Baca Juga: Kesehatan dan Ideologi Negara Kesejahteraan Sosial
Keberhasilan sebuah pemerintahan membangun legitimasi kekuasaan sering dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang baik dan memuaskan warganya.
Tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan rakyat atau masyarakat yang telah secara bersama-sama membentuk negara dan pemerintahan. Dan, untuk mencapai tingkat kepuasan tersebut dibutuhkan setidaknya enam kualitas pelayanan sebagai berikut:
Pertama, transparan, yaitu pelayanan yang diberikan bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan, dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. Kedua, akuntabilitas, yaitu pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Ketiga, kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi atau penerima layanan, dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas. Keempat, partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.
Kelima, kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak diskriminatif dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, dan lain-lain. Keenam, keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima layanan.
Standar pelayanan publik menurut UU No. 25 tahun 2009 dalam pasal 1 ayat 7 disebut bahwa standar pelayanan adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur.
Pelayanan publik adalah suatu rangkaian keinginan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas, yang dilaksanankan oleh pemerintah yang sesuai dengan undang-undang baik pelayanan berupa barang/jasa atau pelayanan administrasi dan juga berdasarkan standar pelayanan yang telah ditetapkan.
Selain itu, pelayanan publik juga memiliki beberapa sifat antara lain: (1) memiliki dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya, (2) memiliki wide stakeholders, (3) memiliki misi atau tujuan sosial, (4) dituntut untuk akuntabel kepada publik, (5) memiliki complex and debated performance indicators, serta (6) seringkali menjadi sasaran isu politik.
Pelayanan kesehatan sebagai pelayanan publik tentu juga dituntut untuk memenuhi ketentuan sebagai pelayanan publik. Namun lebih dari itu, sebetulnya pelayanan kesehatan sendiri sebagai pelayanan profesi juga memilik ciri dan syaratnya sendiri.
Syarat pelayanan kesehatan yang baik setidaknya dapat dibedakan atas 13 macam, yakni tersedia (available), menyeluruh (comprehensive), terpadu (integrated), berkesinambungan (continue), mandiri (sustainable), wajar (appropriate), dapat diterima (acceptable), dapat dicapai (accessible), dapat dijangkau (uffordable), efektif (effective), efisien (efficient), bermutu (quality) dilaksanakan menurut standar, serta adil dan merata (equity). Ketigabelas syarat pelayanan kesehatan ini sama pentingnya.
Merata dan Berkeadilan Sosial
Dalam konteks politik dikenal dengan adanya distribusi kekuasaan sementara dalam konteks sosial dikenal distribusi pelayanan publik yang merata dan berkeadilan sosial. Dalam distribusi pelayanan publik yang merata dan berkeadilan sosial inilah pelayanan kesehatan memiliki eksistensi.
Karena itu, demokratisasi di bidang kesehatan ditandai dengan adanya upaya untuk mendistribusikan pelayanan kesehatan sebagai bagian dari pelayanan publik yang sebaik mungkin kepada seluruh anggota masyarakat.
Upaya distribusi dan pemerataan pelayanan kesehatan ini dilakukan melalui aturan-aturan yang dibuat secara bersama dan adil. Sebagaimana yang telah menjadi aturan main (rule of the law) dan bukan rule of the man.
Distribusi pelayanan kesehatan adalah kegiatan yang memiliki fungsi melayani kebutuhan sosial kesehatan masyarakat. Wujud pelayanannya antara lain distribusi fasilitas kesehatan seperti puskesmas pembantu (pustu) dan pondok bersalin desa (polindes) di desa, puskesmas di kecamatan atau kelurahan. Distribusi rumah sakit, laboratorium kesehatan, alat kesehatan, obat-obatan, vaksin, dan sarana serta pra-sarana kesehatan lainnya.
Distribusi sarana dan prasarana ini sangat penting guna memudahkan akses masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Selain itu, tentu saja yang sangat penting adalah distribusi yang adil dan merata atas profesi kesehatan, seperti dokter, dokter gigi, perawat, bidan, apoteker, ahli kesehatan masyarakat, dan tenaga kesehatan lain guna memberi pelayanan langsung kepada masyarakat.
Dengan distribusi yang merata dan adil tersebut maka setiap warga masyarakat dapat terpenuhi kebutuhannya secara layak, setidaknya kebutuhan dasar kesehatannya. Selain distribusi di atas, hal lain di luar kesehatan yang perlu terdistribusi secara adil dan merata adalah pangan, air bersih, sandang, papan, pendidikan, sarana olah raga dan rekreasi.
Hal terakhir ini memang bukan fasilitas kesehatan dan bahkan boleh jadi bukan kewenangan pemerintahan di bidang kesehatan, namun karena kedudukannya sangat berkait dengan kesehatan dan upaya menyehatkan masyarakat maka menjadi sangat penting bagi pemerintahan di bidang kesehatan untuk mengoordinasikan penyediaannya serta mendistribusikan secara merata dan adil.
Sebagai bagian dari pelayanan publik, distribusi pelayanan kesehatan mengandung beberapa implikasi. Pertama, lembaga dan aktivitas-aktivitas pelayanan kesehatan yang ada harus bersedia memberikan pelayanan kepada semua individu yang memerlukannya.
Kedua, lembaga dan aktivitas-aktivitas pelayanan kesehatan tidak boleh membedakan individu yang satu dengan individu yang lain, dengan alasan apapun, seperti ras, suku, agama, status sosial, dan sebagainya.
Ketiga, sekalipun ada partisipasi masyarakat dalam memberikan pelayanan kesehatan, namun kewajiban untuk menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan yang belum tersedia namun dibutuhkan masyarakat, tetap berada di tangan pemerintah.
Dengan demikian pemerintah atas nama negaralah yang berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana pelayanan serta profesi kesehatan yang dibutuhkan masyarakat. Bukan diserahkan begitu saja kepada masyarakat dan dunia usaha untuk menyediakannya.
Catatan Akhir
Dalam mengembangkan pelayanan kesehatan sebagai pelayanan publik yang mencirikan praktik good governance tentu banyak aspek yang perlu diperhatikan dan dibenahi. Salah satu yang perlu dibenahi adalah soal mindset. Mindset yang salah selama ini telah mengilhami perilaku birokrasi dalam memberi pelayanan publik.
Mindset ini menyangkut misi dari birokrasi publik itu sendiri, jati diri, fungsi dan kreativitas yang dilakukan birokrasi dalam kesehariannya. Perilaku yang buruk dari birokrasi pemerintah termasuk di bidang kesehatan seringkali muncul karena adanya mindset yang salah, yang kemudian mendorongnya melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan keinginan warga masyarakat dan juga tidak seiring dengan misi kemanusiaan yang diembannya.
Karena itu, perubahan mindset adalah suatu keniscayaan apabila kita ingin melakukan perubahan pola pikir dan praktik good governance dari birokrasi yang akan memberikan pelayanan kesehatan. Kita harus mampu mengembangkan budaya baru dan perilaku baru yang sesuai dengan visi dan misi birokrasi sebagai agen pelayanan publik.
Telah disadari bahwa orientasi pada kekuasaan yang sangat kental selama ini telah menggusur orientasi pada pelayanan publik. Budaya dan etika pelayanan menjadi sulit berkembang karena para pejabat birokrasi lebih menempatkan diri sebagai penguasa (pangreh praja) daripada menjadi memberi pelayanan publik atau pelayan warga masyarakat (pamong praja).
Karena itu, ke depan kita perlu mengembangkan budaya pamong praja yang reponsivenes, responsibility, dan accountability serta berlandaskan pada profesionalisme, nilai etik, dan keadilan sosial dalam pelayanan kesehatan. Wallahu a'lam bishawab. (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS