Kesehatan dan Ideologi Negara Kesejahteraan Sosial

Zaenal Abidin, telisik indonesia
Minggu, 28 Januari 2024
0 dilihat
Kesehatan dan Ideologi Negara Kesejahteraan Sosial
Zaenal Abidin, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia Periode 2012-2015. Foto: Ist.

" Konsep negara kesejahteraan sosial ini sudah dapat dihubungkan dengan ide atau konsep dan kebijakan umum tentang kesejahteraan sosial telah diperkenalkan sebagai salah satu rukun Islam, yakni rukun Islam kelima yakni kewajiban membayar zakat yang dipraktikkan pada abad ke-7 M "

Oleh: Zaenal Abidin

Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia Periode 2012-2015

HUBUNGAN kesehatan dengan negara kesejahteraan kembali diungkapkan oleh dr. Ario Djatmiko dalam suatu diskusi bertajuk, “Kesehatan dalam Pusaran Debat Pilpres 2024,” beberapa waktu lalu. Menurutnya dokter spesialis bedah onkologi senior ini, ideologi kesehatan itu hanya dua, yakni liberal dan welfare state.  

Sebagai bangsa Indonesia tentu saja kita akan memilih ideologi welfare state dan tidak akan memilih ideologi liberal atau pasar bebas. Mengapa tidak memilih ideologi pasar bebas? Karena penulis cukup percaya bahwa para elit dan pemimpin bangsa saat ini masih menghormati Bung Karno sebagai pendiri dan proklamator Indonesia.  

Kata Bung Karno, “usaha mencapai keadilan dan kesejahteraan tidak boleh dipercayakan kepada pasar bebas, yang berbasis individualisme-kapitalisme, karena Indonesia mengalami pengalaman buruk penindasan politik dan pemiskinan ekonomi yang ditimbulkan oleh kolonialisme. Pasar bebas adalah perpanjangan tangan dari individualisme-kapitalisme.”

Bila ditelusuri perkembangan negara kesejahteraan sosial (welfare state) ini sering dihubungkan dengan novel Sybil mengenai dua bangsa, yaitu kaya dan miskin, 1845, karya Benjamin Disraeli. Benjamin Disraeli yang menjadi Perdana Menteri Inggris (1868 dan 1874-1880) mengatakan, “the only duty of power, the social welfare of the people”.  

Namun, bila ditelusuri lebih jauh lagi ke belakang, sebetulnya konsep negara kesejahteraan sosial ini sudah dapat dihubungkan dengan ide atau konsep dan kebijakan umum tentang kesejahteraan sosial telah diperkenalkan sebagai salah satu rukun Islam, yakni rukun Islam kelima yakni kewajiban membayar zakat yang dipraktikkan pada abad ke-7 M.

Kewajiban “zakat” atau “jizya” dihimpun oleh pemerintah dan selanjutnya disalurkan kembali atau didistribusikan untuk kesejahteraan rakyat yang miskin dan tidak punya, termasuk anak yatim, keluarga kelaparan, kurang gizi, ibu hamil dan menyusui, orang jompo, janda-janda, orang sakit, kelompok penyandang disabilitas, dan lain sebagainya.  

Bahkan dalam sejarah kekhalifahan, Khulafa ar-Rasyidun Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar Ibn Khattab-lah yang pertama kali mempraktikkan ide negara kesejahteraan dalam sejarah umat manusia. Praktik negara kesejahteraan ini pun dilanjutkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Azis, pada Kekhalifahan Umayyah kedelapan, yang memerintah dari tahun 717 hingga kematiannya pada tahun 720.  

Khalifah Umar bin Abdul Azis memulai pemerintahannya dengan mengubah total frame pemerintahan. Melakukan gerakan perubahan (reformasi) yang diawali dari diri dan keluarganya. Khalifah dan keluarga memilih hidup sederhana. Semua fasilitas kemewahan yang selama ini disediakan kepada khalifah dijualnya, kemudian hasilnya dibagikan kepada rakyat miskin. Harta kekayaan pribadi khalifah dan keluarga (istri dan anak) pun diserahkan kepada negara.

Khalifah menjadi teladan bagi bawahan dan rakyatnya. Alhasil, pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Azis mengalami masa keemasan kedua setelah era Khulafa ar-Rasyidun, di mana keadilan, kebijaksanaan, ketakwaan dan keilmuan ditegakkan. Rakyat hidup makmur dan sejahtera. Saking makmurnya, tidak seorang rakyat pun yang berhak menerima zakat.

Ideologi Negara Kesejahteraan Sosial

Negara kesejahteraan merupakan suatu konsep pemerintahan negara yang diidealkan untuk memainkan peran kunci dalam upaya melindungi dan mempromosikan “the protection and promotion of the social and economic well-being of its citizens”. Gagasan welfare state didasarkan atas prisip-prinsip persamaan kesempatan (equality of opportunity), distribusi kekayaan yang adil dan merata (equitable distribution of wealth), dan tanggung jawab publik atas mereka yang tidak mampu memenuhi standar kebutuhan hidup minimum yang layak bagi kemanusiaan.

Salah satu ciri yang dipraktikkan negara kesejahteraan adalah adanya transfer dana dari negara melalui APBN yang ditujukan untuk pelayanan umum. Seperti untuk jaminan sosial kesehatan dan pendidikan, termasuk juga dana bantuan langsung tunai kepada individu warga negara yang membutuhkan bantuan negara.  

Semua itu didanai melalui skema redistribusi pendapatan negara yang berasal dari pajak maupun non pajak, seperti retribusi atau PNBP (pendapatan negara bukan pajak) yang biasa dikaitkan dengan model ekonomi campuran (mixed economy). Misalnya, penempatan kebijakan pajak progresif (progressive tax policy) dimaksudkan untuk mendekatkan jarak antara kelompok yang berpenghasilan tinggi dan rendah  sehingga jarak ketimpangan kaya-miskin diharapkan dapat berkurang.

Baca Juga: Kesehatan dan Demam Hilirisasi

Lalu, bagaimana dengan ideologi negara kesejahteraan sosial? Menurut Jimly Asshiddiqie dalam buku, Konstitusi Keadilan Sosial, “perspektif ideologi negara kesejahteraan itu memang dapat bertitik tolak dari liberalisme atau sosialisme yang sama-sama melahirkan ide tentang negara-negara kesejahteraan (welfare state).”  

Karena itu, penting bagi bangsa Indonesia untuk membedakan antara konsep negara kesejahteraan dalam perspektif liberalisme dan konsep yang berasal dari dari negara kesejahteraan perspektif ideologi sosialisme.

Untuk dapat membedakannya, lanjut Jimly Asshiddiqie, bangsa Indonesia terlebih dahulu harus memiliki pemahaman yang tepat bahwa gagasan negara kesejahteraan Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI 1945. Indonesia bukan negara kesejahteraan dalam perspektif liberal Barat, tapi juga bukan berasal dari pandang sosialisme ekonomi dan apalagi komunisme model Eropa Timur. Indonesia bukanlah negara kesejahteraan biasa (welfare state) melainkan negara kesejahteraan sosial (social welfare state).  

Indonesia sebagaimana yang termaktub di dalam dasar negara bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan cita-cita yang harus diwujudkan oleh negara, dalam rangka menyejahterakan warga negaranya. Guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warga negara ini maka negara wajib memprioritaskan penyediaan kebutuhan dasar (basic needs) dan pelayanan dasar (basic services) warganya. Kemudian melanjutkan dengan kebijkan memberi jaminan sosial, termasuk di dalamnya jaminan kesehatan kepada warga negaranya melalui skema Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Kebutuhan dasar misalnya, kebutuhan akan sandang, pangan, papan, air bersih untuk MCK, udara bersih, lapang kerja, dan sebagainya. Sedang yang termasuk pelayanan dasar, misalnya pelayanan kesehatan, pendidikan, dan akses terhadap kebutuhan lain yang mendukung kualitas hidup manusia. Pemenuhan kebutuhan dasar dan pelayanan dasar ini merupakan ukuran untuk melihat seberapa baik dan layah penghidupan dan kehidupan masyarakatnya.

Ideologi Kesehatan

Bila dilihat sejarahnya, pelayanan kesehatan adalah pelayanan sosial kemanusiaan. Karena itu dapat dikatakan menganut ideologi kesejahteraan sosial. Di antara ajaran Hippokrates misalnya: “Dokter tidak seharusnya bekerja untuk keuntungan pribadi, melainkan karena cinta pada manusia. Seorang dokter harus mengutamakan tindakan medis yang sederhana, ditunjang dengan diit yang teliti, dan intervensi bedah jika perlu.”

Masih tentang Hippokrates. Menurut Samsi Jacobalis, bila asas-asas etika medis yang diajarkan oleh Hippokrates kepada dokter (murid-muridnya) itu dirangkum maka dapat bagi menjadi enam butir: Pertama, berbuatlah yang baik (beneficence, Amar Ma’ruf). Kedua, jangan melakukan hal-hal yang dapat mencederai atau merugikan pasien (nonmaleficence, Nahi Mungkar).  

Ketiga, hormati hidup manusia, jangan melakukan aborsi dan jangan memberikan racun kepada pasien untuk euthanasia atau bunuh diri. Keempat, sadari  keterbatasan diri. Jangan melakukan hal-hal di luar kemampuan. Serahkan pelaksanaan tindakan medis tertentu kepada mereka yang memang ahli dalam bidang itu. Kelima, berakhlak dan berbudi luhur. Keenam, jagalah kerahasiaan pasien.  

Sumpah Hippokrates kemudian ditutup dengan kalimat, “Selama sumpah ini saya pandang suci dan selama sumpah ini tidak saya nodai, selama itu pulalah, mudah-mudahan saya akan mengecap kenikmatan hidup dan jabatan saya sepenuhnya seraya dihormati senantiasa oleh semua orang. Tetapi apabila sumpah ini saya nodai, maka kembalikanlah yang akan menjadi nasib saya.”  

Lalu, bagaimana di Indonesia? Ternyata ajaran dan sumpah Hippokrates yang berisi tentang kemanusiaan diadopsi pula di Indonesia. Sumpah Dokter Indonesia misalnya, dimulai dengan, ”Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan kemanusiaan” kemudian diakhiri dengan kalimat, “Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.”  

Bukan hanya sumpah dokter yang menunjukkan perhatian utama kepada kemanusiaan, namun profesi kesehatan lain pun demikian. Lafal sumpah Dokter Gigi (butir-1), “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan, terutama dalam bidang kesehatan.” Lafal sumpah Apoteker (butir-1), “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan, terutama dalam bidang kesehatan.”  

Lafal sumpah Perawat (butir-1), “Saya akan membaktikan hidup saya untuk kepentingan kemanusiaan terutama dalam bidang kesehatan tanpa membeda-bedakan kesukuan, kebangsaan, keagamaan, jenis kelamin, golongan, aliran politik, dan kedudukan sosial. Lafal sumpah Bidan (butir-1 dan 2), “Saya: Akan mengabdikan ilmu saya dengan jujur dan adil, sejalan dengan profesi kebidanan. Akan mengabdikan diri saya dalam pelayanan kebidanan dan kesehatan, tanpa membedakan agama, pangkat, suku dan bangsa.”  

Lafal sumpah profesi kesehatan lain pun tidak jauh beda dengan sumpah kelima profesi di atas. Dan yang lebih menarik karena sebelum butir-butir sumpah diucapkan selalu diawali dengan kalimat persaksian kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Pencipta, “Demi Allah saya bersumpah/berjanji bahwa…”

Persaksian kepada Tuhan Yang Mahakuasa tersebut tentu bukan hal baru, sebab dalam  naskah sumpah Hippokrates pun sudah ada. Bedanya, di dalam sumpah Hippokrates persaksian itu ditujukan kepada dewa-dewi dan leluhur. “Saya bersumpah kepada dewa penyembuh Apollo, kepada dokter leluhur Asklepios, kepada Hygiea, kepada Panakea, dan kepada semua dewa-dewi; dan saya akan memegang teguh sumpah ini sepenuh kesanggupan saya dan akan melaksanakan tugas.…”  

Keseluruhan sumpah profesi di atas tampak sangat kuat misi kemanusiaannya. Persoalan kemudian muncul ketika pelayanan kesehatan dibawa ke dalam pelayanan jasa. Ternyata pelayanan kesehatan sangat unik bila dibanding pelayanan jasa lainnya.  

Baca Juga: Bangsa Sehat: Berwawasan Lingkungan

Ada tiga ciri khas yang membedakan pelayanan kesehatan dengan pelayanan jasa lain. Pertama, uncertainty, yaitu pelayanan kesehatan bersifat tidak bisa dipastikan, baik waktu, tempat, besaran biaya yang dibutuhkan, maupun tingkat urgensi dari pelayanan tersebut.  

Kedua, asymetry of information, yaitu suatu keadaan tidak seimbang antara pengetahuan pemberi pelayanan kesehatan dengan pengguna atau pembeli jasa pelayanan kesehatan. Dampaknya, bila pemberi pelayanan hanya berorientasi uang (materi) dibanding tugas mulia sebagaimana sumpah dan kode etiknya maka boleh jadi pemberi pelayanan akan memberikan pelayanan yang tidak perlu atau memberi pelayanan dengan kualitas yang rendah.

Ketiga, externality, yaitu bahwa pengguna jasa dan bukan pengguna jasa pelayanan kesehatan dapat bersama-sama menikmati hasilnya. Risiko kebutuhan pelayanan kesehatan tidak saja menimpa pembeli pelayanan tetapi juga pihak lain yang mungkin terpapar oleh faktor yang menimbulkan penyakit. Contoh: Mereka yang tidak merokok dan tidak mengisap rokok dapat terkena risiko sakit akibat asap rokok. Pelayanan kesehatan terhadap mereka yang terdampak ini membutuhkan subsidi pemerintah.

Catatan Akhir

Memperhatikan ideologi yang dianut oleh profesi kesehatan sejak zaman lampau, hingga saat menunjukkan misi kemanusiaan yang sangat kental, tentu sesuai dengan ideologi negara kesejahteraan sosial (social welfare rechtsstaat). Namun dengan adanya uncertainty, asymetry of information, dan externality dari pelayanan kesehatan menjadikan perlunya kehadiran negara untuk menyediakan pembiayaan dalam sistem jaminan sosial kesehatan kepada rakyatnya. Penyediaan jaminan sosial kesehatan ini merupakan bentuk intervensi negara guna menegakkan keadilan sosial.  

Agar tetap sejalan dengan misi kemanusiaan profesi kesehatan dan mengantisipasi kemungkinan adanya uncertainty, asymetry of information, dan externality maka seharusnya kebijakan kesehatan Indonesia ke depan tetap diorientasikan untuk menganut ideologi negara kesejahteraan sosial. Alasannya, meninggalkan ideologi kesejahteraan sosial dan kemudian memilih liberalisasi kesehatan justru semakin menyulitkan rakyat miskin dan yang tidak mampu untuk memperoleh pelayanan kesehatan dengan kualitas terbaik.

Berkaitan dengan Pilpres 2024, yang akan menyelenggarakan debat kelima (terakhir), 4 Februari 2024, penulis berharap agar rakyat Indonesia dapat mencermatinya. Mengapa perlu mencermati? Sebab, debat terakhir ini mengangkat tema yang sangat mendasar bagi rakyat, yakni kesehatan. Secara bersamaan pula mengangkat tema kesejahteraan lain, seperti: bantuan sosial dan jaminan sosial, kebudayaan, pendidikan, ketenagakerjaan, sumber daya manusia, inklusi, dan teknologi informasi.

Setelah mencermati debat, penulis pun berharap agar rakyat Indonesia dapat menjadi pemilih cerdas pada hari pemungutan suara, 14 Februari 2024 mendatang. Memilih pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang betul-betul memiliki visi, misi, dan program kesehatan dan kesejahteraan lain, yang berorentasi kepada ideologi negara kesejahteraan sosial berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI 1945. Wallahu a'lam bishawab. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga