ERP dan Komersialisasi Jalan Raya di Jakarta

Usmar, telisik indonesia
Minggu, 22 Januari 2023
0 dilihat
ERP dan Komersialisasi Jalan Raya di Jakarta
Dr. Usmar, SE, M.M, Dekan Ekonomi & Bisnis Univ. Moestopo (Beragama) Jakarta/Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional. Foto: Ist.

" Pemda DKI akan menerapkan sistem jalan berbayar elektronik atau electronic road pricing (ERP) di 25 ruas jalan di DKI Jakarta "

Oleh: Dr. Usmar, SE, M.M

Dekan Ekonomi & Bisnis Univ. Moestopo (Beragama) Jakarta/Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional

SAAT ini Pemda DKI sedang mengkaji regulasi untuk segera menerapkan konsep jalan berbayar di beberapa ruas jalan di Jakarta. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat mengurangi tingkat kemacetan di Jakarta. Untuk itu Pemda DKI akan menerapkan sistem jalan berbayar elektronik atau electronic road pricing (ERP) di 25 ruas jalan di DKI Jakarta.

ERP adalah penerapan jalan berbayar berbasis elektronik, dimana setiap kendaraan yang melewati area ERP dapat dikenakan biaya dengan jumlah yang sudah di tentukan. Adapun pada pintu masuk area ERP (restricted area) akan di pasang  teknologi OBU (on board unit), yaitu alat sensor yang dipasangkan pada setiap kendaraan yang terhubung dengan sistem informasi di pusat pengendalian operasi yang dinamai dedicated short range communications (DSRC), dan bekerja secara otomatis memotong setiap deposit uang dari rekening pengguna jalan yang melewati pintu masuk ERP tersebut.

Secara teoritis dan konsep mungkin memang sistem jalan berbayar ini dapat mengurangi kemacetan, ERP dimaksudkan dengan tujuan agar pengguna kendaraan pribadi dapat beralih ke transportasi umum massal, namun dengan keberadaan moda transportasi umum yang belum terintegrasi dengan baik di berbagai sudut DKI Jakarta, tentu ini mengkhawatirkan hanyalah sekadar  memindahkan lokasi kemacetan dari  lokasi jalan berbayar ke jalan tidak berbayar

Jika hal ini terjadi, gaung yang mengasumsikan kebijakan ini hanyalah sekadar komersialisasi jalan dan dapat ditafsirkan sebagai kebijakan elitis yang merampas kebebasan berkendaraan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, yang secara umum dapat dianggap mempertegas dan mempertontonkan ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang terjadi.

Memang Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PLLSE) di DKI Jakarta ini masih dibahas, yang menurut penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono proses penerapan jalan berbayar atau ERP di Jakarta masih cukup panjang. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dilalui sebelum akhirnya kebijakan tersebut dijalankan.

Tapi sebelum kebijakan tersebut tuntas sampai nanti dalam bentuk Perda, maka peran aktif masyarakat tentu sangat diperlukan untuk memantau dan mengamati dengan seksama, mengingat kebijakan ini berhubungan dengan hajat kehidupan orang banyak, khususnya warga Dki Jakarta dan sekitarnya.

Gambaran Umum Trasportasi di Jakarta

Dari data Jakarta.bps.go.id, pada tahun 2021, jumlah seluruh kendaraan bermotor di DKI Jakarta mencapai 21.758.695 unit, sudah termasuk motor, mobil penumpang, bus, dan truk yang teregistrasi, dengan rincian sebagai berikut:

- Mobil Penumpang sebanyak 4.111.231 unit;

- Bus sebanyak 342.667 unit;  

- Truk sebanyak 785.600 unit. Dan

- kendaraan roda dua atau motor mencapai sebanyak 16.519.197 unit atau sekitar 76 persen dari jumlah kendaraan bermotor yang ada.

Baca Juga: Trah Soekarno dalam Polemik Capres 2024

Jika kita melihat data BPS tersebut, terjadi kenaikan jumlah kendaraan bermotor dari tahun ketahun, dimana pada tahun 2019 total kendaraan bermotor di Jakarta hanya ada sebanyak 19?883?246 unit, lalu di tahun 2020 meningkat menjadi 20?221?821 unit, dan ditahun 2021 naik menjadi 21.758.695 unit, dan jika tidak diimbangi juga dengan pertumbuhan jalan, maka ini juga menjadi indikator kemacetan.

Menurut data BPS tahun 2020 menunjukkan, pertumbuhan kendaraan sebesar 1,7 persen, tetapi pertumbuhan jalan 0,01 persen.

Saat ini, tingkat kemacetan di Jakarta menurut Dirlantas mencapai 48 persen, terutama pada waktu pagi hari di rentang pukul 07.00 - 09.00 WIB, saat warga DKI Jakarta memulai aktivitas, dan kemacetan di sore hari yang terjadi mulai pukul 16.00 - 18.00 WIB, ketika masyarakat mulai kembali ke rumah usai melakukan aktivitas.

Transport Demand Management

Transport Demand Management (TDM) atau sering juga disebut mobility management meliputi semua metode yang dapat meningkatkan pemanfaatan fasilitas dan sarana transportasi yang telah ada dengan lebih efisien dengan mengatur atau meminimalkan pemanfaatan kendaraan bermotor dengan mempengaruhi perilaku perjalanan yang meliputi: frekuensi, tujuan, moda, dan waktu perjalanan.

Adapun tujuan umum dari TDM adalah meningkatkan efisiensi pergerakan lalu lintas secara menyeluruh dengan menyediakan aksesibilitas yang tinggi dengan cara menyeimbangkan antara permintaan dan sarana penunjang yang tersedia, penghematan penggunaan bahan bakar, dan waktu tempuh perjalanan secara lebih efisien (Harata, 1994). Dan ini sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi, yang secara umum bertujuan untuk mewujudkan sistem yang efektif, efisien, lancar, dan terintegrasi.

Untuk tercapainya tujuan ini, maka menurut penulis yang mendesak adalah bagaimana Pemda DKI dan DPRD DKI segera menuntaskan pembahasan tentang rancangan Rencana Induk Transportasi Jakarta (RITJ) yang memuat juga arah kebijakan dari transportasi di DKI sampai 2039.

Mengapa ini diperlukan agar Pemda DKI mempunyai pijakan yang strategis dan pasti tidak hanya ingin menyelesaikan kemacetan dengan cara kebijakan ERP saja yang akan diterapkan, apalagi dalam skala besar yaitu di 25 ruas jalan di Jakarta. Sedangkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PLLSE) saja di DKI Jakarta pun belum selesai pembahasannya.

Jika yang dilakukan oleh Pemda DKI hanya sekedar ingin segera menerapkan ERP atau jalan berbayar yang digunakan sebagai penerapan dari TDM untuk mengurangi kemacetan tidak dengan cara yang lebih komprehensif dalam menuntaskan kemacetan di Jakarta, maka tidak salah kalau kita katakan ini adalah kebijakan elitis yang merampas kebebasan masyarakat untuk berpergian di Jakarta ini.

Baca Juga: Dari Hajar... Tembak, Sampai ke Bereskan....

Adapun 25 ruas jalan yang akan diterapkan ERP, yaitu sebagai berikut:

1. Jalan Pintu Besar Selatan

2. Jalan Gajah Mada

3. Jalan Hayam Wuruk

4. Jalan Majapahit

5. Jalan Medan Merdeka Barat

6. Jalan Moh Husni Thamrin

7. Jalan Jend Sudirman

8. Jalan Sisingamangaraja

9. Jalan Panglima Polim

10. Jalan Fatmawati (Simpang Jalan Ketimun 1 - Simpang Jalan TB Simatupang)

11. Jalan Suryopranoto

12. Jalan Balikpapan

13. Jalan Kyai Caringin

14. Jalan Tomang Raya

15. Jalan Jenderal S Parman (Simpang Jalan Tomang Raya - Simpang Jalan Gatot Subroto)

16. Jalan Gatot Subroto

17. Jalan MT Haryono

18. Jalan DI Panjaitan

19. Jalan Jenderal A Yani (Simpang Jalan Bekasi Timur Raya - Simpang Jalan Perintis Kemerdekaan)

20. Jalan Pramuka

21. Jalan Salemba Raya

22. Jalan Kramat Raya

23. Jalan Pasar Senen

24. Jalan Gunung Sahari

25. Jalan HR Rasuna Said

Dengan rencana besaran tarif yang akan dikenakan adalah sekitar Rp 5.000 hingga Rp 19.000 sekali melintas.

Untuk itu perlu kita ingatkan bahwa dana pembangunan 25 ruas jalan yang akan ditetapkan sebagai ruas jalan berbayar ERP tersebut berasal dari APBD DKI, dan itu pasti berasal dari uang rakyat.

Padahal esensi dari TDM adalah untuk mengurangi jumlah kendaraan dengan menggunakan sistem jaringan jalan dengan menyediakan berbagai pilihan mobilitas (kemudahan melakukan perjalanan) bagi siapa saja yang berkeinginan untuk melakukan perjalanan, bukan hanya untuk siapa saja yang mampu membayar. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga