Pemilik Pilar Tanah Nanga Banda Siap Gugat Pemda Manggarai ke Pengadilan, Ini Alasannya
Reporter Kupang
Sabtu, 02 Juli 2022 / 9:53 pm
MANGGARAI, TELISIK.ID - Pilar tanah milik Herdin Bahrun yang terletak di Nanga Banda, Kelurahan Reo, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, NTT juga tak luput dari aksi penggusuran, Rabu (29/6/2022) lalu.
Akibat dari aksi penggusuran itu, pria keturunan langsung Raja Gowa ini mengaku mengalami kerugian sekitar 80 juta dari total 21 pilar yang sudah dibuat.
Herdin bilang, pilar tanah yang telah digusur oleh Pemda Manggarai itu dibuat pada Juli 2021 dan kini sudah berusia setahun.
Ia kecewa lantaran sebelum melakukan aktivitas penggusuran Pemda Manggarai hanya langsung kirim surat dengan perihal eksekusi tanpa menanyakan tujuan dibuatnya pilar tersebut.
"Itu yang kami kecewa. Pemda tidak bertanya dulu, tiba-tiba datang langsung gusur. Ini namanya tindakan brutal dan tidak etis. Harusnya mereka panggil saya dulu untuk menanya mengapa sampai memasang pilar" kata Herdin ditemui Sabtu (2/7/2022) di kediamannya.
Selain itu meski mencantumkan 9 nama dalam surat penertiban aset, Herdin kecewa karena dalam aksi penggusuran ternyata hanya dua obyek yang menjadi sasaran penggusuran, yaitu tanah miliknya sendiri dan tanah milik H Zainal Arifin Manasa.
Ia dan keluarga pun bertekad agar persoalan tersebut digugat secara perdata ke pengadilan dengan dukungan bukti sejarah yang kuat beserta dokumen lain.
"Kami akan gugat ini ke pengadilan. Pengacaranya sudah kami siapkan. Untuk sementara data-data kami sedang dipelajari" ujar pria yang mengaku keturunan keenam Raja Supandri asal Gowa ini.
Ditanya terkait bukti kepemilikan lain, Herdin menjelaskan bahwa bukti tersebut sedang diurus dan diupayakan untuk kekuatan hukum di pengadilan nanti.
Tetapi untuk sementara Herdin masih memegang bukti sejarah yang sudah ada jauh sebelum Kabupaten Manggarai dibentuk.
Selain itu, kata Herdin, ia juga memiliki sebuah bukti terkait peristiwa 1987 di mana ada unsur muspika Kecamatan Reok yang mengakui keberadaan tanah Nanga Banda.
Baca Juga: Hati-hati Ganti Rugi Lahan Perkantoran Bumi Praja Laworoku
"Dulu pada tahun 1987 unsur muspika datang menemui Bapak Hamid Usman dan meminta agar tanah milik Raja Gowa dan Raja Bima di Nanga Banda dibuat lapangan terbang dengan posisi utara selatan karena tanah saat itu tanah erpak dinilai belum layak buat lapangan terbang. Alhasil kesepakatan itu dibuat dalam surat pernyataan tentang ganti rugi tanah yang saat itu sedang meminta persetujuan Bupati Frans Burhan. Tetapi dalam perjalanan waktu ternyata tidak jadi" kisah Herdin.
Lepas dari tahun 1987 itu, kata Herdin, tanah tersebut masih sah menjadi milik keturunan Raja Gowa dan Raja Bima karena tidak jadi buat lapangan terbang. Tapi tiba-tiba kemarin Kabag Tapem Manggarai mengaku bahwa tanah itu sudah diserahkan oleh Marola dan Hamid Usman ke pemda pada tahun 1989.
"Nah ini yang kami tambah marah besar. Kapan itu penyerahan terjadi, siapa saksinya dan siapa pihak keturunan Raja Gowa atau Raja Bima yang dipanggil pada saat itu" ungkap Herdin bertanya.
Lantas ia pun menduga bahwa pemda sedang membohongi publik dan bersaksi palsu dengan memanipulasi data.
Sampai saat ini, tutur Herdin, Pemda Manggarai diduga belum juga mengantongi sertifikat hak atas tanah, hanya mengantongi dokumen penyerahan tahun 1989 yang kebenarannya masih dapat dipertanyakan
"Kebenarannya belum bisa dipercaya, nanti akan kita uji di pengadilan. Pemda juga tidak punya sertifikat ko. Itu hanya dokumen yang abal-abal" pungkas Herdin.
Menurut dia, yang menjadi poin dalam tuntutan mereka adalah sejarah tentang Raja Gowa yang menginjakan kakinya pertama kali di Nanga Banda. Bahkan ada bekas sumpah 5 jari Raja Gowa pada sebuah batu dan peristiwa itu terjadi jauh sebelum Manggarai ini dibentuk.
"Jadi poinnya di situ yah. Tanah kakek saya dan sumpah 5 jari itu ada jauh sebelum Manggarai ini dibentuk. Dulu namanya Nuca Lale atau sebelum Nuca Lale" tutup Herdin.
Sementara itu, Pemda Manggarai melalui Kepala Bagian (Kabag) Tata Kelola Pemerintahan (Tapem), Karolus Mance menanggapi enteng pernyataan Herdin.
Pihaknya malah mendorong Herdin agar klaim pemda tentang hak milik tanah segera digugat ke pengadilan.
"Yah gugat saja to kalau memang mereka merasa dirugikan. Kami tunggu dan siap menghadapi perkara itu dengan bantuan Jaksa Pengacara Negara, lagian kami juga punya dokumen lengkap ko" ungkap Mance.
Mance menegaskan, pemda tidak mungkin memanipulasi data penyerahan karena di situ sudah ada tanda tangan dan saksinya. Karena itu dokumen penyerahan tahun 1989 menjadi bukti kuat.
"Kami pakai bukti itu, bukan pakai sejarah tentang Raja Gowa dan Raja Bima. Nenek moyang mereka tidak pernah bawa tanah dari Gowa ke Manggarai, itu yang kami tantang" tegas Mance.
"Saya bisa bayangkan betapa tersinggung nya orang Manggarai ketika ada pihak yang mengklaim tanah itu milik Raja Gowa dan Raja Bima. Terus eksistensi orang Manggarai dimana selaku pemilik wilayah" tegasnya lagi.
Lebih lanjut, Mantan Camat Cibal Barat itu menjelaskan bahwa Pemda Manggarai sudah melakukan kajian yang cukup panjang terkait status kepemilikan tanah Nanga Banda.
Kajian itu dilihat dari aspek empiris, yakni undang-undang yang mengatur keberadaan Nanga Banda sebelum kemerdekaan.
"Jadi sebelum kita ngomong dokumen coba kita lihat aturan undang-undangnya, karena ngomong fakta tidak bisa cerita setengah-setengah tanpa kajian empiris. Kalau kita pakai sejarah saya juga bisa bilang tanah yang belum bersertifikat itu saya punya" tutur Mance.
Bagi orang Manggarai, jelas Karolus Mance, ada istilah "Gendang One Lingko Peang". Awalnya Pemda sudah mencari tahu apakah Nanga Banda itu bagian dari salah satu Lingko hak komunal adat atau tidak. Padahal tidak.
Selanjutnya pemda pun berinisiatif mendatangi beberapa tokoh dan memang menemukan jawaban bahwa sebelum kemerdekaan tanah Nanga Banda itu lahan bebas yang tidak dimiliki oleh salah satu Gendang.
Dengan demikian ketika ngomong soal "Gendang One Lingko Peang" terbantahkan.
Lalu, sambung Mance, pemda menelisik lagi setelah kemerdekaan ternyata para penjajah datang menggunakan Nanga Banda sebagai tempat landasan udara untuk penerbangan Helikopter selama beberapa tahun.
Terus setelah penjajah pulang, Pemda langsung ambil alih karena jelas secara undang-undang semua aset milik kolonial yang ditinggalkan pasca kemerdekaan adalah milik Indonesia.
"Nah pasca kemerdekaan itu mulai berkembang sudah Indonesia ini, ada istilah Pemerintahan Swapraja dan ada istilah Pemerintahan Dalu. Pada saat itu Kecamatan Reok dibawa penguasaan Dalu Muhamad Marola" jelas Mance.
Dari aspek empiris yang berikutnya, tambah Mance, ada undang-undang yang mengatakan bahwa setelah Pemerintahan Swapraja ke Republik Indonesia maka semua aset yang ditinggalkan menjadi milik pemda. Hal tersebut disusul dengan di keluarnya undang-undang pembentukan kabupaten se-Nusa Tenggara.
"Setelah di keluarnya undang-undang itu Pemda melihat dokumen tahun 1985. Di situ ada okupan orang per orangan mengajukan HGU kepada pemda dan pada saat itu pemda menyetujui mereka memanfaatkan tanah Nanga Banda. Itu artinya ada bentuk pengakuan karena tidak ada satu okupan itu yang mengklaim bahwa tanah itu milik mereka" tutur Mance
Baca Juga: Rancangan Singkat Sejarah Terbentuknya Muna Barat Dirumuskan
Terus dalam perjalanan pada tahun 1989 ada 4 orang para okupan dimediasi oleh Camat Mansur dengan menghadirkan Dalu Reok Muhamad Marola sebagai pelaku sejarah. Disana telah diputuskan bahwa tanah Nanga Banda adalah tanah milik pemda. Lalu para okupan tersebut membuat pernyataan mengakui tanah itu milik pemda.
"Jadi sudah ada bentuk pengakuannya. Bahkan dulu Toko Ria Ruteng pernah meminjam pakai tanah Pemda itu untuk membuat produksi garam yodium, itu makanya ada bangun gudang garam di Nanga Banda. Lantas kekuatan apalagi yang mereka pakai untuk gugat Pemda ke pengadilan. Kalau kami jadi digugat yah maka kami akan tunjuk semua data autentiknya beserta data sejarah yang sudah diakui secara ilmiah di Mamanda" tutup Mance. (B)
Penulis: Berto Davids
Editor: Musdar