Perpecahan di Desa Wabula-Wasuemba, Massa Demo Bupati Buton
Reporter Buton
Senin, 11 Oktober 2021 / 2:58 pm
BUTON, TELISIK.ID - Masyarakat Desa Wabula, Kecamatan Wabula, kabupaten Buton melakukan aksi unjuk rasa di kantor Bupati Buton, Senin (11/10/2021).
Aksi tersebut merupakan rentetan dari kejadian di Desa Wabula dan Wasuemba yang di antaranya, warga Wasuemba tidak diberikan surat izin mengurus pernikahan hingga aksi pemalangan jalan.
Kemudian masalah anak TK di Desa Wabula ditarik semua oleh orang tuanya karena yang menjadi kepala sekolah dan gurunya adalah warga Wasuemba.
Korlap aksi, Leo Wabula mengatakan, rentetan kejadian yang terjadi ditengarai ada dalangnya.
“Dari rentetan kejadian di Wasuemba dan Wabula ada dalangnya, padahal Wabula dan Wasuemba itu adalah satu darah,”ujar Leo Wabula, Senin (11/10/2021).
Untuk itu kata dia, massa meminta Bupati Buton untuk memberi pertanggungjawaban sebagai seorang pimpinan di Kabupaten Buton.
“Jangan tutup mata dengan perpecahan yang terjadi antara Wabula dan Wasuemba karena adanya dalang dan provokator,” katanya
Apabila tuntutan ini tidak ditanggapi, lanjutnya lagi, dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Warga sudah mengantongi nama-nama yang disinyalir sebagai provokator.
"Dan kami masyarakat Wabula punya itikad baik untuk menyelesaikan masalah tersebut serta meminta Bupati Buton untuk berdialog," tambahnya. .
Senada dengan itu, massa aksi lainnya, Ovan juga menyampaikan, kedatangan mereka di kantor bupati untuk menyelesaikan persoalan di tengah masyarakat Wabula dan Wasuemba yang ditengarai karena ulah provokator.
“Kami minta Bupati Buton untuk mengevaluasi kinerja beberapa orang, jangan sampai ada tindakan-tindakan yang tidak diharapkan,” ujarnya.
Kata dia tidak akan mentolelir tindakan beberapa oknum yang menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat Wabula, dan juga meminta bupati untuk berdialog membahas persoalan yang terjadi di Wabula dan Wasuemba.
“Kami utusan lembaga adat Wabula. Pesan tokoh adat Wabula dan masyarakat, ada beberapa oknum yang diduga provokotor yang membuat hubungan Wabula dan Wasuemba terpisah. Bahkan ini ada keterlibatan unsur ASN,” tutur Agus, salah satu tokoh masyarakat Wabula.
Agus juga menyampaikan bahwa disinyalir ada aktor dari pemasalahan yang terjadi di Wabula dengan statemen "Kenapa Wabula kompak kami tidak kompak, kenapa mereka datang di Wasuemba kami diam saja".
"Gerakan tersebut terstruktur dan masif, dan Kami minta bupati agar memberikan sanksi terhadap ASN tersebut,” ujarnya.
Ia menyatakan masyarakat Wabula menolak ASN Wasuemba untuk mengajar di Wabula dan masyarakat ingin bertemu bupati.
Ali, salah satu dari pendemo juga mengatakan keinginannya untuk bertemu dan berdialog langsung dengan bupati.
Baca Juga: Wakili Muna, Infrastruktur Desa Napalakura Mulai Dibenahi
Baca Juga: Izin Lingkungan Spazio Kendari Belum Tuntas, Dewan Segera Panggil Pihak Terkait
“Kami tahu ada bupati di Buton, kami minta waktu lima menit, jika tidak maka kami dan seluruh massa yang hadir akan ke Rujab Bupati, kami mewakili warga Wabula,” kata La Ali.
Tuntutan yang paling mendesak katanya agar kepala sekolah TK di Wabula dan stafnya agar segera dipindahkan.
“Jika bupati tidak menemui kami, maka masyarakat Wabula tidak akan menemui bupati lagi,” katanya.
Sekretaris Daerah Kabupaten Buton, Djilfar Djafar yang menemui massa memberi arahan bahwa Wabula dan Wasuemba itu adalah satu, masalah adat sedianya diselesaikan di tingkat adat dahulu dengan melibatkan tokoh adat juga tokoh masyarakat.
“Jika ada keterlibatan ASN saya pasti akan memanggilnya, masyarakat tunduk ke lembaga adat, saya harapkan ambil langkah-langkah adat, kami di pemerintahan akan panggil ASN jika perilaku ASN-nya bertentangan,” ujarnya.
Dia juga mengatakan bahwa di lembaga adat ada sanksi sosial di masyarakat jika diketahui ada warga yang berbuat salah.
“Sanksi sosial bisa dikucilkan sesuai hukum adat yang berlaku,” lanjutnya.
Dia juga berjanji akan memberikan pemahaman agar tidak terpecah dab masalah internal ini harus diselesaikan oleh lembaga adat. (A)
Reporter: Iradat Kurniawan
Editor: Haerani Hambali