Politik Balas Budi Bagi-Bagi Jabatan ala Presiden Joko Widodo
Kolumnis
Sabtu, 22 Januari 2022 / 10:26 am
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
PADA awalnya ketika Joko Widodo (Jokowi) terpilih sebagai Presiden pertama kalinya, ia dipuji karena semangat demokrasi yang ingin diwujudkan dalam pemerintahannya berupa menteri tak boleh merangkap jabatan sebagai pimpinan partai politik dan ingin membentuk pemerintahan profesional bukan pemerintahan yang bagi-bagi kekuasaan.
Sejak kegagalan sangat dini pada periode pertama dalam proses politik di Senayan. Jokowi menyingkirkan komitmen tersebut, bahkan pemerintahan hingga kini dijalankan dengan politik akomodasi, politik balas budi, politik transaksional, bisa juga dianggap Presiden Jokowi menjalankan investasi politik menuju kelanjutan pemerintahan dalam Pilpres 2024 dengan turut membagi-bagi kursi di kabinet.
Pola pengakomodiran para pendukungnya dilakukan oleh Presiden Jokowi menggunakan kekuasaan prerogatif Presiden melalui “bagi-bagi jabatan,” tak sekadar dilakukan untuk kursi menteri di kabinet.
Namun, Presiden Jokowi hingga kini malah membesarkan komposisi jumlah wakil menteri dari periode sebelumnya 3 wakil menteri, kemudian periode kedua bertambah 12 wakil menteri dengan pelan tapi pasti jumlah wakil menteri bertambah mencapai 25 kursi.
Bahkan masih dimungkinkan akan terus bertambah dengan alasan masuk akal berupa beban pekerjaan yang semakin berat menghadapi perkembangan zaman, hingga alasan politis berupa konsolidasi Jokowi menuju Pemilihan Umum Serentak 2024 mendatang.
Menilai Dua Tahun Pemerintahan Kedua Jokowi
Pilihan dan sikap yang dilakukan oleh Jokowi dalam memerintah semakin menunjukkan karakter pemerintahan yang lemah utamanya adalah personal Jokowi sendiri sebagai presiden jika membandingkan dengan periode pertamanya.
Penunjukan menteri yang adalah hak prerogatif Presiden, menjadi sekadar berbagi kursi semata, apalagi Jokowi hingga minta maaf sebab tak bisa mengakomodir semua pihak dalam penyusunan kabinet. Jokowi pada awal pembentukan kabinet mengungkapkan setidaknya ada 300 nama calon dari kebutuhan menteri sebanyak 34 orang (merdeka.com, 26 Oktober 2019).
Komposisi menteri periode kedua dari utusan partai mengalami kenaikan jumlah kader yang ditempatkan sebagai pembantu eksekutif, misalnya, jika sebelumnya 15 orang kader partai politik dan 19 orang adalah professional.
Sedangkan saat ini, awal kabinet berjumlah 17 orang dari partai politik dan 17 orang dari kalangan profesional. Disamping itu, rival pada rematch di Pilpres 2019 lalu, pasangan calon presiden/wakil presiden tepatnya reshuffle pertama Desember 2020, Presiden Jokowi tetap mempertahankan dua kursi untuk Gerindra dengan melengkapi pasangan rivalnya dengan memasukan Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Satu setengah tahun pemerintahan Presiden Jokowi, ia melakukan strategi yang sama dengan periode sebelumnya yakni mengamankan dukungannya di legislatif. Presiden dalam praktik informal menggunakan “senjata pamungkas” berupa mekanisme “bagi-bagi rezeki” (pork barrel). Dengan bergabungnya Gerindra, menunjukkan strategi memberangus peran oposisi, menyebabkan peran check and balance tidak berjalan di parlemen.
Pilihan ini sejalan dengan persepsi Jokowi yang menyatakan Indonesia tidak mengenal oposisi, bahkan demokrasi di Indonesia dikatakannya adalah demokrasi gotong royong. Bersama pemikiran itu, wajar akhirnya dua tahun pemerintahan saat ini, Partai Amanat Nasional (PAN) turut diajak bergabung dengan Pemerintahan kecuali kedua partai yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akibat intrik politik dua partai itu tak memungkinkan bersama di pemerintahan.
Politik Balas Budi antara Kebutuhan dan Kekhawatiran Berlebihan
Pola pengakomodiran dengan “bagi-bagi jabatan” tak hanya dilakukan oleh Presiden Jokowi pada kursi menteri di kabinet. Tetapi komposisi jumlah wakil menteri terus membengkak dari sebelumnya di periode awal berjumlah 3 wakil menteri hingga menjadi 25 wakil menteri.
Wakil Menteri ini terdiri dari beragam spesifikasi dari utusan partai yang berada di Senayan maupun non-parlemen, profesional, dan relawan pemenangan Jokowi.
Pengkomodiran Wakil Menteri dianggap “politik balas budi,” terungkap dalam peristiwa pengakomodiran relawan pendukung Jokowi dalam kursi wakil menteri desa.
Misal, dua hari sebelum Ketua Umum Organisasi relawan Pro Jokowi (Projo) Budi Arie Setiadi dipercaya sebagai Wakil Menteri Desa, hal mana organisasi Projo menyatakan membubarkan diri, sebagai bentuk kekecewaan karena Jokowi memilih rivalnya yakni Prabowo Subianto untuk duduk di kabinet. Namun, usai ditunjuk jadi wakil menteri desa, Budi menyatakan Projo tidak bubar, bahkan ia juga mengaku siap bekerja sama dengan Prabowo (kompas.com, 26 Oktober 2019).
Baca Juga: Menyibak Penyelenggara Pemilu Berintegritas, Cerdas dan Berkarakter
Awal pembentukan kabinet, khawatir kekurangan kuota, bagi politisi partai-partai politik. Presiden Jokowi mengambil langkah strategis dengan mengakomodir mereka pada posisi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), sehingga dari jumlah 9 orang, terdapat 4 orang (44,44 persen) merupakan politisi partai yakni dari PDIP, PPP, Hanura, dan Golkar, (kompas.com, 13 Desember 2019).
Akomodasi juga dilanjutkan dengan memberikan jabatan staf khusus presiden kepada politisi partai. Staf khusus ini berjumlah 13 orang, dengan perincian sebanyak 7 orang adalah berunsur dari milenial, sedangkan 6 orang lainnya beragam dari akademisi, politisi, dan relawan pemenangan Jokowi-Ma’ruf. Dari unsur partai politik yakni politisi PDIP 1 orang, politisi PKPI 1 orang, Politisi PSI 1 orang, bahkan Staf Khusus juga diberikan kepada relawan berjumlah 1 orang (kompas.com, 22 November 2019).
Pengakomodiran politisi di awal kabinet juga dilanjutkan, misalnya, memberikan kursi duta besar kepada politisi, dari duta besar yang pertama kali diangkat berjumlah 12 orang terdiri dari: 1 orang politisi PDIP, 1 orang politisi Golkar, dan 1 orang politisi PKPI, sisanya adalah pejabat karir (profesional) (kabar24.bisnis.com, 26 Oktober 2020).
Politik “balas budi” tak hanya sampai di situ, beberapa relawan yang aktif dalam pemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin juga mendapatkan bagian untuk duduk di kursi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tim pemenangan Jokowi memang sejak dulu terdiri dari banyak simpul, dan sejak periode pertama Presiden Jokowi acapkali membagi kursi untuk para relawannya, selain untuk para politisi partai, tim sukses, dan profesional.
Relawan pada periode kedua ini tak hanya menduduki posisi sebagai komisaris tetapi juga diberikan jabatan wakil menteri seperti di awal kabinet hingga dua porsi yakni wakil menteri pertahanan dijabat Wahyu Sakti Trenggono, yang tak lain adalah Bendahara Umum Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019, dan juga Wakil Menteri Desa yang dijabat oleh Budi Arie Setiadi yang sebelumnya adalah Ketua Umum Organisasi relawan Projo.
Politik “balas budi” ala Presiden Jokowi, juga kian menunjukkan Presiden Jokowi begitu terbebani balas jasa politik sehingga ketika ada menteri yang terkena reshuffle, politik “buang-pungut” juga dilakukannya. Jika sebelumnya untuk kursi Duta Besar, tetapi sekarang ini diperluas juga untuk kursi komisaris yang diberikan kepada mantan menteri yang tak lagi menjabat maupun yang baru saja di reshuffle di periode kedua pemerintahan Jokowi ini, seperti terhadap mantan menteri pariwisata ekonomi kreatif Wishnutama Kusubandio diberikan kursi komisaris PT Telkomsel.
Bahkan, dalam penelitian satu setengah tahun periode kedua Jokowi bahwa hasil penelitian penulis menunjukkan terdapat 33 pengakomodiran pendukung Jokowi dari unsur politisi partai maupun relawan pendukungnya menempati kursi komisaris dengan juga tak ketinggalan tiga mantan-mantan menteri pada dua pemerintahan Presiden Jokowi.
Baca Juga: Menerka Peluang Anies Baswedan
Sekarang ini menjelang Pilpres 2024 posisi wakil menteri semakin membengkak menjadi 25 orang, dengan 15 wakil menteri sudah terisi dan sekitar 10 kursi wakil menteri masih kosong. Membengkaknya jumlah kursi wakil menteri dapat disinyalir terjadi karena beberapa hal: pertama, alasan kebutuhan yakni beban pemerintahan yang semakin berat sehingga membutuhkan menteri dibantu oleh wakil menteri.
Kedua, alasan politis seperti mengakomodir PAN dan para pendukung Presiden Jokowi; ketiga, alasan politis berupa konsolidasi pemerintahan dengan calon pemimpin ke depan yang didukung oleh Presiden Jokowi yakni tokoh-tokoh dari lingkaran pemerintahan; dan keempat, Presiden Jokowi terkurung dalam dilema diri antara ketidakpuasan kepada menteri-menterinya tetapi khawatir akan menjadi bumerang jika tak hati-hati dalam bertindak melakukan reshuffle di tengah situasi politik menjelang Pemilu Serentak 2024.
Politik “balas budi” dalam persepsi Jokowi ini disinyalir dilakukannya untuk memantapkan pemerintahan dan juga untuk menyingkirkan adanya peran oposisi, seperti menggandeng Gerindra sehingga dukungan kepada pemerintahan dari parlemen sebesar 75?ri enam partai dengan rincian 427 kursi dari total 575 kursi anggota DPR.
Tak sampai disitu, PAN pada akhirnya juga turut bergabung sebagai pendukung Jokowi pasca Kongres PAN tahun 2020 lalu dan diyakini tinggal tunggu terakomodasi dalam pembagian kursi di kabinet, sehingga total jumlah pendukung pemerintahan berjumlah 84,02 persen. Meski begitu, hanya ada dua partai yakni Partai Demokrat dan PKS yang tidak diakomodir akibat “beban sejarah” berupa intrik politik. (*)