Habis Manis, Nasdem Dibuang
Efriza, telisik indonesia
Minggu, 15 Januari 2023
0 dilihat
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.
" Kekesalan PDIP ini ditunjukkan dengan komunikasi kepada publik agar Nasdem tidak ambigu, berani bersikap gentle, untuk tidak lagi sebagai pendukung pemerintah "
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
PUBLIK menunggu kabar realisasi rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan reshuffle kabinet. Di tengah isu reshuffle, perseteruan komunikasi terjadi antara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan Partai Nasdem yang sesama partai pendukung pemerintah.
PDIP sebagai partainya Presiden Jokowi merasa Partai Nasdem sudah tidak lagi sebagai pendukung pemerintah. PDIP meradang Nasdem telah berpindah haluan sebagai oposisi. Adanya dua alasan mendasari yakni upaya Nasdem membangun koalisi dalam Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) dengan dua partai oposisi pemerintah yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat, dan juga Nasdem telah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) yang sebelumnya adalah Gubernur DKI Jakarta dan PDIP adalah oposisi.
Kekesalan PDIP ini ditunjukkan dengan komunikasi kepada publik agar Nasdem tidak ambigu, berani bersikap gentle, untuk tidak lagi sebagai pendukung pemerintah. Menteri-menteri dari Nasdem dijadikan sasaran PDIP untuk di reshuffle.
Disamping karena performa menteri-menteri Nasdem yang tidak teramat baik dalam penilaian kinerja, juga dilandasi berbagai fakta keputusan dan sikap Nasdem tidaklah sebagai pendukung pemerintah seperti telah disebutkan di atas.
Perseteruan Dua Partai
Jika diamati antara PDIP dan Nasdem memang telah terjadi ketidakharmonisan sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Perseteruan di antara keduanya adalah berebut pengaruh sebagai partai yang menjadi kepercayaan Presiden Jokowi. Dua periode pemerintahan Jokowi, kedua partai ini saling berganti posisi menjadi partai yang amat dekat dengan Presiden Jokowi.
PDIP awal periode Jokowi telah tersinggung. PDIP merasa Nasdem telah menerabas etika dengan mengusung Jokowi sebagai capres. Nasdem pun dalam posisi kuat sebagai partai yang dipercaya Jokowi. Nasdem dapat melindungi Presiden Jokowi dari serangan-serangan yang dilancarkan PDIP dan juga meminimalisir campur tangan PDIP sebagai partainya presiden terhadap pemerintahan.
Ketika itu kursi menteri Nasdem memperoleh jatah tiga, kemudian bertambah menjadi empat. Hubungan Presiden Jokowi dengan PDIP juga tidaklah harmonis. PDIP menyatakan tidak akan terus mendukung pemerintahan, meski partainya pemerintah. PDIP memilih sebagai mitra kritis Presiden.
Sepak terjang PDIP kala itu wajar, sebab PDIP berhasil memerintah kembali sejak menjadi oposisi pemerintah selama sepuluh tahun. Imej sebagai oposisi masih coba dilekatkan agar tidak dianggap oleh masyarakat PDIP sebagai oposisi karena kesal telah ditumbangkan oleh Partai Demokrat (PD) dalam dua periode pemilu.
Presiden lambat-laun mulai menyadari untuk mengharmoniskan hubungan PDIP dengan pemerintahan yang sedang dikelolanya. Kursi menteri Nasdem dikurangi menjadi tiga, dan PDIP menjadi lima, sehingga komposisi tidak lagi setara kala itu. Sejak itu, PDIP mulai perlahan tidak lagi agresif berperan sebagai partai oposisi.
Pola ini terus dilakukan oleh Jokowi di periode keduanya. Nasdem semakin dibuat patah hati. Nasdem meski tetap yang begitu semangat mengusung Jokowi sebagai presiden kembali, tetapi hubungan Presiden Jokowi dengan PDIP malah semakin mesra.
Baca Juga: Peace Maker
Jokowi sebagai presiden juga semakin pragmatis dan seolah tak lagi membutuhkan Nasdem. Ini ditunjukkan dengan Presiden Jokowi malah mengajak Gerindra dengan memberikan dua kursi menteri, padahal sebelumnya adalah rival dalam dua kali pilpres. Gerindra juga menjadi partai yang dekat dengan pemerintah tetapi hubungannya dengan PDIP tidak terjadi resistensi seperti antara PDIP dengan Nasdem.
Memutus Hubungan Nasdem dan Jokowi
PDIP merasa pengaruh Nasdem masih begitu kuat terhadap Jokowi sebagai presiden. Nasdem lagi-lagi berupaya merecoki PDIP ketiga kalinya. Nasdem dan Presiden Jokowi memiliki kesamaan dalam pemikiran mengenai sosok capres potensial dari PDIP.
Diyakini keduanya keberatan jika calon kuat PDIP adalah Puan Maharani. Nasdem dan Jokowi memiliki keinginan Ganjar Pranowo yang layak didorong oleh PDIP sebagai capres bukanlah Puan Maharani.
PDIP sekarang tidak lagi sekadar diam. PDIP merasa cukup dua kali saja Nasdem merecoki urusan capres dari PDIP, Nasdem telah banyak mengambil keuntungan kala itu dengan mengusung Jokowi sebagai presiden dalam dua periode.
Nasdem sebagai partai baru langsung diperhitungkan dalam kancah politik nasional. Nasdem langsung lolos ambang batas parlemen. Nasdem juga langsung memperoleh peringkat yang tinggi yakni pada kali pertama keikutsertaan, ia memperoleh urutan ketujuh dari sepuluh partai, kemudian keikutsertaan kali kedua Nasdem memperoleh peringkat kelima dari sembilan partai.
Sehingga kekesalan PDIP wajar semakin membuncah. Nasdem bukan saja menjadi partai yang lebih dipercaya oleh Jokowi dalam periode awal kepemimpinannya, tetapi juga langsung diperhitungkan. Padahal, Nasdem partai baru dalam kancah politik nasional hanya karena mengusung Jokowi yang adalah kader PDIP, partai ini langsung melesat. Sisi lain, Nasdem sebagai partai tidaklah memiliki kader yang dapat dimajukan sebagai capres pada dua kali pilpres tersebut, tetapi berhasil melesat, itu fenomenal.
PDIP merasa saat ini punya kesempatan menyingkirkan Nasdem. Momentum yang tepat karena pemerintah masih dua tahun lagi. Keberhasilan Jokowi dalam infrastruktur dan kebijakan strategis nasional juga masih banyak yang akan segera dirasakan oleh masyarakat pada tahun 2023 ini.
Sisi lain, ketika akhirnya Nasdem memilih mengusung Anies Baswedan. Nasdem bagi PDIP telah berada di blok oposisi. Apalagi realitasnya, koalisi perubahan yang dianggap pendukung Anies adalah dua partai oposisi pemerintah yakni PKS dan PD.
Sikap Nasdem sebagai pendukung pemerintah di parlemen atas keputusan dan kebijakan yang diajukan pemerintah juga tidak lagi selaras, malah Nasdem hanya memilih mengambil posisi ambigu. Misalnya, ketika terkait revisi Undang-Undang (UU) Ibu Kota Negara (IKN), Nasdem awalnya sempat abstain akhirnya menyetujui revisi UU IKN yang diusulkan pemerintah.
Sehingga PDIP merasa jika wajar Nasdem di-reshuffle, apalagi faktanya raport menteri-menteri dari Nasdem tidaklah cukup baik. Kebijakan pemerintah juga tidak lagi selalu dituruti oleh Nasdem. PDIP dapat menyatakan Nasdem tidak lagi sebagai pendukung pemerintah karenanya juga tidak pantas berada bersama koalisi pemerintah.
Nasdem diharapkan segera mundur dari kabinet. Motivasi Nasdem di pemerintah juga tidak lagi murni mendukung kebijakan pemerintah kecuali ingin terus mendapatkan sumber akses kementerian dan lembaga, hubungan relasi jaringan, dan tentu saja materi semata. Dilatari semangat ini, diperkirakan Koalisi Perubahan amat diperlambat oleh Nasdem untuk segera dideklarasikan.
Jika Nasdem tidak berkenan mundur, dengan narasi yang dibangun oleh Nasdem bahwa antara pendukung pemerintah 2014 dan persiapan koalisi Pilpres 2019 adalah hal berbeda. Maka setidaknya jumlah kursi dari Nasdem hanya disisakan satu saja, karena penilaian kinerja sosok menteri dari Nasdem yang juga tidak mendapatkan respons amat positif dari masyarakat, sehingga wajar hasil evaluasi dua kursi Nasdem ditarik.
Perseteruan dalam komunikasi antara PDIP yang menyerang Nasdem dalam upaya memengaruhi keputusan Presiden Jokowi mengenai reshuffle kabinetnya. PDIP berharap posisi Nasdem saat ini agar, habis manis, Nasdem dibuang, dengan realitas perilaku oleh Presiden Jokowi melalui reshuffle menteri-menteri Nasdem.
Harapan PDIP
PDIP tak sekadar berharap dapat mendongkel Nasdem dari kursi kabinet. Tetapi PDIP juga berharap jumlah kursi menteri mereka bertambah. PDIP juga berharap mengenai komposisi tentang penjatahan kursi menteri ini bisa dikendalikan oleh PDIP.
Baca Juga: Ganjar Pranowo Diendorse, Ganjar Dihujat
PDIP ingin meneguhkan diri bahwa dengan alasan atas nama partai. Partai yang berhak mengusung capres, Jokowi berpartai di PDIP, tanpa PDIP maka Jokowi “kasihan dah.” Sehingga wajar jika hak prerogatif presiden, perlahan dapat digeser dibawah kendali PDIP.
Apalagi narasi PDIP, Jokowi sebagai Presiden adalah Petugas partai, maka hak prerogatif Partai dalam penentuan menteri-menteri tidaklah salah. Jika tidak, maka minimal Jokowi menjadi petugas partai yang patuh atas semua keinginan PDIP, dengan misalnya mendiskusikan siapa calon yang berhak direshuffle maupun diangkat.
Keretakan di dalam Pemerintahan Jokowi memang benar dan nyata. Disebabkan lemahnya kepribadian Jokowi sebagai Presiden. Jokowi tidak sepenuhnya menyandarkan pemerintahan kepada rakyat sebagai pemilih.
Ia mengupayakan melindungi pemerintahan dengan mengikuti ayunan semata dari Nasdem atau PDIP sebagai pendukung pemerintah yang loyal, di tengah kenyataan bahwa kedua partai ini adalah mitra pemerintah yang berseteru.
Sisi lain, obsesi PDIP untuk dapat mengendalikan jumlah komposisi dan penentuan siapa calon menteri. PDIP menggunakan narasi atas nama Jokowi adalah petugas partai. Padahal semestinya, soal menteri adalah hal prerogatif presiden, urusan menteri adalah untuk mencapai visi-misi presiden pada saat pilpres. (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS