Menerka Peluang Anies Baswedan

Efriza, telisik indonesia
Sabtu, 15 Januari 2022
0 dilihat
Menerka Peluang Anies Baswedan
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Anies Baswedan menduduki tiga besar dalam berbagai hasil survei calon presiden (Capres) 2024 "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

GUBERNUR DKI Jakarta Anies Baswedan yang berlatar belakang calon perseorangan bukan kader partai, memiliki kans besar untuk memilih satu dari tiga pilihan yang tersedia yakni sebagai calon presiden, calon wakil presiden, dan maju kembali sebagai calon gubernur DKI Jakarta untuk periode kedua.

Anies Baswedan selalu menjadi perbincangan hangat di kalangan publik. Apalagi Anies selalu masuk dan menduduki tiga besar dalam berbagai hasil survei calon presiden (Capres) 2024 bersama dengan dua politisi partai yakni Prabowo Subianto dari Partai Gerindra dan Ganjar Pranowo dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan).

Meski begitu, kans Anies untuk mencalonkan diri sebagai Capres di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 tidaklah mudah. Latar belakang bukan kader partai yang turut mengganjal peluang itu. Namun, Anies menjadi magnet saat ini, untuk turut diperhitungkan oleh semua partai politik yang memperoleh kursi di parlemen, tak terkecuali oleh PDI Perjuangan sendiri yang menyatakan banyak kadernya yang potensial untuk dicalonkan sebagai presiden.  

Magnet Anies Baswedan

Anies bukanlah orang yang tak terobsesi menjadi pemimpin nomor satu di republik ini. Anies juga menginginkan menjadi tokoh yang dicalonkan sebagai Capres di Pilpres 2024 mendatang.

Anies begitu terobsesi dengan ditunjukkannya sejak 2014 silam, hanya saja ketika ia kalah dalam konvensi Partai Demokrat pada 2014 silam. Anies pun mulai menjadi peniru langkah Joko Widodo (Jokowi) memperoleh jabatan presiden, setelah sebelumnya Jokowi dianggap berhasil memimpin sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Obsesi besar untuk dicalonkan sebagai capres, akhirnya diredamnya dengan menekan kuat-kuat ambisi tersebut. Sebab Anies paham pada 2014 lalu, Anies belum laku sebagai bakal calon presiden dengan hanya bermodalkan akademisi semata.

Peluang itu pun hadir pada Pilkada 2017 lalu, setelah pernah mengenyam sebagai pembantu eksekutif sebagai Menteri Pendidkan dan Kebudayaan di era pemerintahan pertama Presiden Jokowi.

Setelah Anies punya portofolio sebagai pejabat eksekutif, peluang untuk menduduki jabatan Calon Gubernur DKI Jakarta tentu saja tak dilewatkannya. Sebagai latar belakang akademisi, ia punya kekuatan narasi dalam komunikasi politik. Di tengah peluang itu, ia juga berhasil membangun kekuatan lain dari gerbong Islam.

Setelah memiliki tiga kekuatan dasar berupa portofolio sebagai pejabat eksekutif, kekuatan narasi dalam berkomunikasi, dan kekuatan lain dari gerbong Islam; wajar akhirnya, Anies memilih tetap bertahan sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan menolak mendampingi Prabowo Subianto sebagai calon Wakil Presiden pada Pilpres 2019 lalu.

Anies memahami bahwa Prabowo sudah dua kali kalah, andai Anies berpasangan dengan Prabowo sebagai calon Wakil Presiden, maka kans Anies untuk menjadi calon presiden malah akan sirna selamanya.

Percuma saja, ia sudah mengerem syahwat kekuasaannya sejak 2014 lalu, kemudian menjadi peniru cara Jokowi terpilih sebagai Presiden, jika akhirnya akan sebagai calon Wakil Presiden semata.

Dengan akan selesainya Anies menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2022 ini. Setidaknya Anies merasa, meski Anies adalah peniru langkah Jokowi sebagai calon Presiden tetapi ia lebih baik dari Jokowi, karena merasa tugasnya sebagai Gubernur sudah paripurna saat memilih peluang untuk sebagai calon Presiden.

Perjalanan politik Anies juga dapat dibangun dengan lebih baik, jika Anies tak “dikerjai” oleh partai-partai politik di parlemen, dengan tidak dilakukannya revisi Undang-Undang Pemilu.

Andai, Pilkada DKI Jakarta dilakukan kembali pada tahun 2022, dapat dipastikan Anies akan maju lagi sebagai calon gubernur DKI untuk dua periode. Tentu saja, jika ini terjadi akan memuluskan langkah Anies untuk menjadi calon presiden pada Pilpres 2024 mendatang.

Asumsinya gampang, Anies di periode kedua akan melakukan kerja nyata dengan juga ditunjukkan berdasarkan kesuksesan program-programnya, melakukan konsolidasi, dan membangun hubungan yang akan semakin erat dengan warga DKI Jakarta untuk periode keduanya.

Tentunya hal ini akan memupus kans dari para calon-calon Presiden dari politisi partai politik di parlemen. Kans Prabowo dan Puan Maharani, misalnya, akan tersampingkan dengan magnet Anies yang semakin kuat.

Oleh sebab itu, langkah memotong peluang besar Anies dilakukan oleh partai-partai politik di parlemen, tak terkecuali PKS sekalipun. PKS bukanlah pendukung loyal Anies, apalagi ia melihat Anies adalah perseorangan, tidak berbaju partai, Anies juga cenderung dominan dibandingkan kekuatan partai-partai pendukungnya.

Dengan adanya dua Pemilu sekaligus pada 2024 mendatang yakni Pilpres dan Pilkada, tentu saja PKS lebih bergairah melihat peluang besar untuk berperan besar dengan memasang calon gubernur dari kadernya. Sedangkan, Anies didorongnya sebagai calon Presiden agar tidak memikirkan kembali sebagai calon gubernur, tetapi dengan kurang bersemangat.  

Dukungan PKS terhadap Anies, disebabkan suara partainya kecil di parlemen dan PKS tak punya kader, sedangkan elektabilitas partai juga perlu didongkrak dengan turut bersuara mendukung salah satu tokoh sebagai capres.

Baca Juga: Menyibak Penyelenggara Pemilu Berintegritas, Cerdas dan Berkarakter

Namun, PKS menyadari mendukung Anies juga mengkhawatir karena perilaku dominan dari diri Anies yang tak bisa dikurangi untuk kepentingan partai, menjadi misteri kegalauan di hati PKS sendiri.

Menerka Peluang Anies

Partai-partai politik saat ini terlihat menjadikan Anies Baswedan sebagai magnet, tetapi di sisi lain sebenarnya mereka khawatir dengan tipikal Anies yang merupakan calon perseorangan bukanlah kader partai. Oleh sebab itu, wajar narasi yang dilontarkan di publik adalah berharap adanya presidential threshold 0%.

Narasi ini terkesan membuka demokrasi bagi partai-partai untuk bisa mengajukan calon presidennya sendiri tanpa berkoalisi. Tetapi di balik itu adalah upaya partai-partai politik untuk menggeser magnet Anies Baswedan dengan menggulirkan berbagai nama-nama sebagai kader partai politik.

Kans Anies menuju Pilpres 2024 tentu saja akan semakin berat, ketika ia sudah tidak menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta di penghujung tahun 2022.

Posisi Anies seperti 2014 lalu, calon perseorangan yang punya magnet kuat, tetapi tidak sedang sebagai pejabat politik, hanya bedanya bahwa sekarang di portofolio dirinya yang telah pernah mengenyam menjadi pejabat eksekutif sebagai pembantu presiden dan jabatan eksekutif daerah.

Menyadari hal ini tentu saja, Anies dipaksakan oleh keadaan. Maju kembali untuk sebagai calon gubernur DKI Jakarta di periode kedua, atau memilih opsi lainnya sebagai calon Wakil Presiden. Saat ini memang partai-partai politik tidak akan terang-benderang mendukung Anies sebagai calon presiden.

Mereka khawatir jika sekarang dipublikasikan dukungan kepada Anies Baswedan, maka pada tahun 2022 di penghujung jabatannya nanti, ternyata hasil kinerjanya Anies dianggap masyarakat kurang memuaskan atau terjadi kemerosotan nilai dalam aspek perilaku, narasi, komunikasi, yang dilakukan Anies, ini akan menyebabkan partai-partai terperangkap dalam dukung-mendukung dengan potensi calon yang kalah.

Kasus ini terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu bahwa PDI Perjuangan terperangkap dalam mendukung Ahok yang cenderung berpotensi besar kalah, akhirnya memang terbukti nyata.

Wajar akhirnya, Anies lebih memilih intens melobi partai-partai politik, dibandingkan langsung menyatakan diri niatnya sebagai calon presiden untuk mendapatkan perhatian dan dukungan publik.

Deklarasi Anies Calon Presiden hanya dilakukan oleh relawan semata, Anies lebih memilih bermain di belakang layar, dukungan relawan dilakukan agar elektabilitas Anies tetap masih tiga besar.

Anies juga memahami, ia harus tetap memainkan emosi di masyarakat dengan mencampuradukan persepsi di masyarakat, antara tentang kebijakan yang benar atau salah, kerja nyata atau kerja ngawur, di samping Anies berusaha membuat hasil kinerja yang fantastis misal, berharap pada terselanggara dan suksesnya Formula E yang telah direncanakannya.

Anies saat ini juga dapat dipastikan memikirkan perkembangan dinamika politik. Memang Anies harus lebih banyak mengerem tak memperlihatkan nafsu kekuasaan untuk menjadi pejabat nomor satu di republik ini, sebab ia harus berhitung lawan-lawan tandingnya.

Asumsi Anies mengerem adalah tahun politik menuju Pilpres 2024 belumlah dimulai, saat ini baru sekadar ancang-ancang saja. Jika Anies memaksakan diri tentu saja akan percuma, karena dukungan saat ini hanya ada dari PKS yang memang tidak punya kader yang akan diusungnya dan juga diketahui tak akan berpengaruh besar dalam peta pencalonan Pilpres 2024 mendatang.

Andai pun, dukungan juga datang dari Partai Demokrat tentu saja juga tidak cukup untuk memenuhi persyaratan presidential threshold. Saat ini, Partai Demokrat juga tentu tidak akan mau meredupkan kans Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai calon presiden, selain itu juga dengan mengajukan AHY sebagai calon presiden akan meningkatkan elektabilitas partai.

Ditegaskan kembali, kans Anies memang besar sebagai calon Presiden, hanya saja syahwat politiknya saat ini perlu direm dan tidak terlampau diperlihatkan di publik. Anies memahami partai-partai pendukung Presiden Jokowi, saat ini tidak akan terang-benderang mendukungnya sebagai calon presiden.

Sebab, akan berpengaruh terhadap disingkirkan dalam kabinet dan kehilangan kursi menteri. Di sisi lain, Anies juga sedang membaca peta politik di trend partai tiga besar, dengan ketiga partai ini memiliki permasalahan di internalnya masing-masing.

Misalnya, Prabowo Subianto sedang digembosi oleh kader-kader partai Gerindra sendiri, agar lebih memposisikan diri sebagai king maker dengan mengajukan Sandiaga Uno, tetapi nyatanya Sandiaga Uno lebih memilih dengan mendatangi Prabowo Subianto agar tidak terjadinya konflik internal.

Sementara itu, Partai Golkar juga sudah mulai mengendorkan semangat kans kepada Ketua Umum Airlangga Hartarto sebagai calon Presiden dari Partai Golkar. Disebabkan secara elektabilitas Airlangga Hartarto tidak bisa meningkat, padahal sedang mengemban jabatan mewah sebagai menteri koordinator bidang perekonomian di pemerintahan Jokowi.

Baca Juga: Paket Calon Alternatif Koalisi PDIP-Gerindra Pilpres 2024

Airlangga malah terbelit masalah pribadi dirinya dalam kasus terkait biduk rumah tangganya, yang jika tak hati-hati, maka berpotensi namanya bisa didorong untuk di-reshuffle dalam kabinet.

Sedangkan PDI Perjuangan, Anies juga masih dapat berharap besar, sebab dengan adanya tokoh yang sama kuat antara Puan Maharani dan Ganjar Pranowo telah menyebabkan peta konflik di PDI Perjuangan semakin terbuka di Publik.

Puan tentu saja menimbang diri, jika keinginannya untuk turut diperhitungkan dalam Pilpres 2024 mendatang terganjal oleh Ganjar Pranowo, maka Anies adalah pilihan yang logis dengan mengutak-atik peluang antara Puan-Anies atau Anies-Puan agar terdongkrak elektabilitas Puan Maharani.

Di sisi lain narasi Anies-Puan adalah untuk Persatuan Indonesia, seperti narasi Prabowo dengan Gerindra pasca Pilpres 2019 sebagai pendukung pemerintahan Jokowi.

Peluang dan langkah politik ini yang sedang dipelajari oleh Anies Baswedan dengan mengamati perkembangan dinamika politik, agar obsesinya sebagai calon presiden dan pemimpin nomor satu di republik ini tidak lagi terganjal. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga