Potulumi: Yang Bergerak di Pasar Selama Pandemi

Laxmi

Penulis

Minggu, 14 Juni 2020  /  11:29 am

Laxmi, S.Sos, MA, dosen FIB UHO, Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Humaniora UGM. Foto: Ist.

Maret-Mei 2020: Marimi, bu, pa, beli sayurku, kurang kasian pembeli.

Bu, pa, di sini juga, masih ada ini jualanku, sudah mau tutup pasar.

Saya kasi kurang harganya bu, pa, yang penting kembali modalku.

Penggalan kalimat bertendensi putus asa di atas merupakan ekspresi pengharapan para pedagang di pasar Kota Kendari yang sebagian besar dijajakan ibu-ibu. Sejak masa karantina mandiri diberlakukan saya mulai mengurangi aktifitas bepergian keluar rumah. Sebagaimana dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat, upaya ini dilakukan secara sadar demi memutus mata rantai pandemi COVID-19.

Saya dan suami bersepakat agar kegiatan berbelanja di luar dilakukan oleh suami, dengan berbagai pertimbangan. Untuk membunuh kebosanan, hari itu saya memutuskan untuk mengambil alih tugas suami.

Banyak hal yang berubah. Jalanan sepi, kendaraan tidak begitu banyak yang lalu lalang. Demikian pula kondisi di pasar. Saya mendapati kenyataan transaksi yang cukup lesu. Tidak heran, mengapa penggalan-penggalan kalimat yang saya terakan di bagian pembuka artikel sederhana ini terasa lumayan mengganggu rasa kemanusiaan saya.

Awalnya saya berpikir situasi jual beli demikian hanya berlangsung satu dua hari. Dugaan saya meleset. Kenyataan yang sama menyedihkan saya temukan di pekan berikutnya ketika saya memutuskan membuktikan hipotesis saya. Teriakan-teriakan senada, panggilan penjual yang mengiba, tidak hanya direpetisi oleh para penjual sayur.

Mereka yang berdagang ikan, buah, dan kebutuhan pokok juga menyuarakan kegelisahan yang sama. Kondisi ini saya sadari sebagai imbas dari penyebaran pandemi yang tidak terkontrol. Orang-orang pasar lebih sering menyebutnya sebagai corona, virus yang mereka pahami sebagai satu-satunya hal menahan orang-orang berbelanja di pasar dan membuat pendapatan mereka menurun drastis.

Baca juga: Pilkada 2020, Pertarungan di Dunia Maya

Kita semua tidak bisa tidak mengakui betapa penyebaran pandemi COVID-19 menciptakan hantaman dahsyat tidak hanya pada aspek kesehatan dunia, melainkan juga pukulan telak di jantung ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, dan sebagainya. Pasar adalah tempat di mana nadi transaksi perdagangan mengalirkan denyut ekonomi dan perkara finansial masyarakat kelas bawah.

Itulah alasan kenapa saya memilih pasar untuk mengawali perbincangan pada kertas kerja ini. Saya percaya, pasar adalah mula dari segalanya. Dari pasar isi dapur berasal, cerobong mengepul, dan semua anggota kelaurga dapat bertahan hidup untuk memenuhi perannya sebagai manusia dan masyarakat.

Di Kota Kendari, kita dapat menemukan berbagai pasar berdasarkan letaknya. Paling sering saya kunjungi ialah pasar pelelangan ikan di wilayah kota, juga pasar Mandonga yang mencakup daerah Korem dan pasar basah. Meski demikian, Anda tetap akan menemukan pasar lainnya, yakni pasar panjang, pasar Andounohu, pasar Lawata, pasar grosir, pasar Wayong, dan pasar RRI.

Perubahan kondisi pasar sebelum dan saat pandemi berlangsung menunjukkan gelagat yang saling beroposisi.

Lesunya kegiatan jual beli yang berpengaruh pada lambatnya perputaran uang memaksa saya memikirkan langkah tepat dalam mengatasi anjloknya daya beli masyarakat. Saya meyakini, persoalan perut kelas grassroot yang nyata berseliweran di depan hidung saya tidak bisa hanya mengandalkan keputusan-keputusan pemerintah namun juga harus bergerak secara mandiri membantu mereka.

Menyikapi hal ini, saya teringat sebuah citra dari nilai-nilai keterhubungan yang intim antara penjual dan pembeli. Nilai-nilai itu biasa disebut sebagai “potulumi”. Konsep potulumi dipinjam dari istilah lokal orang Muna menggambarkan sebuah pengalaman berinteraksi secara dekat dan persisten dalam jangka yang panjang. Nilai ini adalah sebuah kerangka pikir yang saya yakini dapat diterapkan sebagai skenario penangkal dampak terburuk penyebaran pandemi dalam kosep pasar.

Baca juga: Peluang UMKM pada Masa Pandemi COVID-19

Persepsi potulumi telah menjadi kelaziman dalam hidup saya. Di pasar, saya memiliki beberapa mosiraha, sebutan untuk langganan dalam bahasa Muna. Mosiraha merupakan terma pengejawantahan potulumi. Eksistensi mosiraha membantu konsumen mendapatkan barang dengan kualitas di atas rata-rata, dalam kondisi segar, tanpa perlu mengitari satu area pasar.

Bahkan, mosiraha tidak keberatan memberi potongan harga untuk pembeli tetapnya. Simbiosis ini tentu tidak hanya menguntungkan pembeli, melainkan berlaku secara mutualis karena juga membantu pihak penjual.

Memiliki mosiraha dalam sebuah pasar tentu menjadi sangat menyenangkan. Kegiatan berbelanja menjadi jauh lebih praktis. Selain memperoleh benefit yang lebih besar, relasi antara pedagang dan konsumen pun terjalin menjadi erat dan tidak mudah goyah. Namun demikian, makna mosiraha di tengah pandemi selanjutnya mengalami perluasan demi menyesuaikan kondisi di lapangan.

Dalam kenyataannya, mosiraha dalam lingkungan kecil antara dua pihak tidak bisa diteruskan karena akan memperlebar kesenjagan sosial diantara para penjual. Pada masa yang serba tidak jelas ini, mosiraha semie, bentuk mosiraha pada umumnya, sewajarnya beralih menjadi mosiraha nobari.

Artinya, setiap pembeli berhak membagi belanja kebutuhan rumah tangganya dari satu penjual ke penjual lainnya, dan tidak lagi mempertahankan langganan tetap. Mosiraha semie lebih ditujukan pada satu penjual, sedangkan mosiraha nobari berlangganan pada beberapa orang penjual di sebuah pasar (wawancara tokoh masyarakat Muna di Kelurahan Kadia, Maret 2020).

Seorang teman berkisah tentang cara ia berbelanja akhir-akhir ini. Setiap minggu, teman saya bisa menghabiskan empat hingga lima ratus ribu uang belanja. Dalam situasi normal, ia akan menukar semua uangnya hanya pada beberapa langganan yang mencakup mosiraha sayur, ikan dan rempah-rempah.

Baca juga: Modal Sosial Pandemi COVID-19

Akan tetapi, kesadaran membagi rejeki kepada lebih banyak pedagang dalam situasi luar biasa membuat ia memutuskan untuk memperluas cakupan pertukaran uang belanjanya. Selain kepada mosiraha-nya, ia juga akan berbelanja kepada tiga hingga empat pedagang lain yang bukan langganannya.

Kebiasaan baru itu bisa jadi terdengar terlalu sepele untuk memperbaiki situasi kapital yang babak belur digebuk kemahadahsyatan virus. Namun demikian, bukankah selalu ada celah kecil yang bisa kita lakukan di tengah segala keterbatasan?

Praktek pengalaman dalam arena pasar yang terjadi melalui kebiasaan mosiraha nobari kelak membangun jaring kedigdayaan potulumi dan manfaatnya yang besar bagi lebih banyak orang dalam sebuah alur transaksi.

Dengan demikian, kesenjangan ekonomi, sosial, dan budaya diharapkan dapat diminimalisir. Nilai potulumi disadari maupun tidak menjadi bagian penting dalam menjalani kehidupan di tengah gempuran COVID-19.

Dalam paper ini saya meminjam pandangan seorang akademisi Muna tentang sistem tolong-menolong yang telah lama eksis pada masyarakat Muna. Salah satunya terejawantah dalam potulumi. Menurut La Ode Syukur (2011) potulumi bekerja memberikan pertolongan atau bantuan kepada orang lain terlepas dari apakah kita pernah diminta untuk itu atau tidak.

Tujuannya semata-mata karena keikhlasan dan rasa solidaritas yang tinggi. Itulah mengapa praktik ini penting di hari-hari belakangan. Nilai luhur ini senyatanya juga terinklusi menjadi bagian dari situasi kultural orang Buton dan orang Tolaki, dua kolektif besar di jazirah tenggara pulau Sulawesi. Di Buton, praktik ini dikenal sebagai pohamba-hamba. Sementara itu orang Tolaki menyebutnya sebagai metealo-alo.

Baca juga: New Normal tapi Bukan Abnormal

Praktik potulumi dengan berbagai variannya pada masyarakat Sulawesi Tenggara terimplementasi dalam relasi yang tidak hanya mewujud sebagai sekadar interaksi, tetapi lebih dalam merangsek menjadi tujuan hidup demi mencapai standar kesejahteraan hidup yang memadai. Konstruksi demikian berkesesuaian dengan bidang pekerjaan dalam bidang ekonomi dan sosial menurut Purna dan Wahyuningsih (1996).

Dalam kebudayaan Muna, kekuatan praktek potulumi telah menjadi bagian dari nilai-nilai karakter dalam tahapan pemberian nasehat pada upacara Katoba--sebuah proses pendewasaan bagi anak-anak suku Muna. Karakter potulumi yang artikan sebagai tolong menolong dalam prosesi Katoba disampaikan melalui kalimat “dotulumi manusia bhainto”, yang artinya kita wajib menolong sesama manusia (Jamaludin: 2019).

Akhir Mei-Juni 2020: “Datangmi lagi mosirahaku.” Setelah sekian lama, kalimat sambutan di atas terdengar kembali. Saya menangkap pretensi positif dalam nada orang yang menyuarakannya. Seorang penjual mengucapkannya dengan lagu yang riang seraya tersenyum. Di bulan Juni keadan pasar perlahan-lahan mulai dipadati pengunjung, tidak ada lagi jarak yang membuat canggung antara pembeli dan penjual.

Sebagian besar orang-orang yang ada dan berkunjung ke pasar telah menggunakan masker. Dengan begitu, tercipta suasana yang akrab tetapi tetap dalam kategori aman.

Pasar sudah mulai ramai. Tiap hari para pedangang secara konsisten berjualan. Setidaknya itu yang saya tangkap dari obrolan santai langganan lama dan langganan baru saya.

Baca juga: Pasien Sembuh COVID-19 di Sultra Bertambah 10, Positif 2 Orang

Saya bisa menakar berdasarkan ekspresi dan lagu kalimat mereka, pemasukan mereka sudah mulai normal seperti saat COVID-19 belum mewabah. Ingatan saya tiba-tiba merunut kembali apa yang sudah saya dan pasar lalui sejak tiga bulan terakhir. Peningkatan kondisi ekonomi secara otomatis berimbas pada progres yang signifikan terhadap aspek sosial dan budaya.

Kondisi pasar berangsur normal. Dada saya hangat menyaksikan mosiraha-ku di pasar ikan Kota Kendari kembali melempar canda tanpa dibayangi barang dagangan yang membusuk dan tidak laku hingga berimbas pada stagnasi pendapatan.

Kisah pasar di masa pandemi COVID-19 yang berlangsung sejak lima bulan belakangan, dalam kurun awal Februari hingga awal Juni membawa saya pada pengalaman yang berbeda. Saya teringat pada apa yang pernah disampaikan Tania Li dan Nursyirwan Effendi, yang masing-masing bertarikh 1989 dan 1997, bahwa pasar dalam sebuah situasi tertentu mampu memperlihatkan bagaimana orang-orang secara individu maupun kolektif menghadapi image. Image dalam persoalan ini ialah sesuatu yang sudah menjelma menjadi ideologi.

Dalam dinamika budaya pasar diciptakan untuk membangun suatu bentuk afiliasi sosial dan ekonomi antara pengunjung dan pembeli. Sebagaimana diungkapkan Tania Li, saya sadar betapa image pasar di masa COVID-19 mengantarkan kita untuk memperkuat kemampuan potulumi dalam tatanan struktur ekonomi lokal.

Dengan begitu tidak ada kelompok yang terbentuk menjadi pihak yang inferior secara ekonomi. Ideologi potulumi selanjutnya memang menjadi sebuah ikat ideologi yang mendasari semua proses transaksi dalam pasar. Apapun itu, saya berharap semoga wabah segera berlalu dan kita kembali hidup dalam konteks normal dengan tetap konsisten pada praktik potulumi. (*)