Festival Bajo Wakatobi 2025: Tradisi, Laut, dan Harapan Ekowisata Berkelanjutan

Eka Putri Puisi, telisik indonesia
Sabtu, 23 Agustus 2025
0 dilihat
Festival Bajo Wakatobi 2025: Tradisi, Laut, dan Harapan Ekowisata Berkelanjutan
Festival Budaya Bajo Wakatobi menampilkan parade perahu, serta pagelaran tari tradisional seperti Duata, Palilibuang, Dadayah, dan Kaka. Pasar apung juga menjadi daya tarik. Foto: Ist.

" Sejarah, Tradisi, dan Identitas Bajo "

WAKATOBI, TELISIK.ID - Langit Wakatobi pada pertengahan Agustus berwarna biru pekat. Dari kejauhan, deretan perahu tampak berlayar perlahan, membawa wajah-wajah Bajo yang sejak ratusan tahun lalu hidup di atas laut.

Festival Bajo 2025 bukan sekadar pesta, melainkan panggung di mana manusia laut merayakan identitasnya. Dentuman gong dan ritme gendang memandu tarian yang lahir dari gelombang, sementara anak-anak Bajo melompat dari perahu, menari dengan air. Semua terasa seperti undangan: mari masuk ke dunia mereka, dunia yang tidak pernah lepas dari laut.

Festival Budaya Bajo Wakatobi, meski baru dimulai pada 2024, segera menjelma sebagai perayaan tahunan yang ditunggu-tunggu. Menurut Surni, dosen sekaligus ketua Perkumpulan Suku Sama Bajo Wakatobi, festival ini berawal dari kerja sama antara masyarakat Bajo dengan Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia.

Tujuan awalnya jelas: melestarikan tradisi yang hampir punah, memperkuat identitas Bajo sebagai pelaut tangguh, dan tentu saja meningkatkan pariwisata Wakatobi yang sudah masuk dalam daftar 10 Top Destinasi Pariwisata Nasional.

Namun maknanya jauh lebih dalam. Festival ini adalah ruang refleksi kolektif: tentang kebanggaan, persaudaraan, dan janji menjaga laut. Prosesi simbolik seperti penandatanganan miniatur dayung menjadi pengingat bahwa laut bukan hanya sumber hidup, melainkan juga warisan yang wajib dijaga untuk anak cucu.

Keterikatan orang Bajo dengan laut bukan cerita baru. Sejumlah penelitian etnografi mencatat bagaimana pamali, aturan adat, dan ritual Bajo menuntun mereka berinteraksi dengan ekosistem laut. Nilai-nilai itu diwariskan lintas generasi, menjaga keseimbangan alam tanpa harus dituliskan dalam buku.

Marlina et al. (2020) bahkan menegaskan bahwa kearifan lokal Bajo Mola menjadi dasar pengelolaan ekowisata berkelanjutan. Karena itu, apa yang dipentaskan di panggung festival bukan sekadar hiburan, melainkan cermin filosofi hidup: menjaga laut sama dengan menjaga kehidupan.

Rangkaian Acara, Peran Masyarakat, dan Dampak

Festival Budaya Bajo Wakatobi tidak hanya menampilkan parade perahu. Rangkaian acaranya luas, mencakup seni, kuliner, perlombaan, hingga seminar. Pada 2024, acara meliputi workshop kuliner, lomba memasak makanan khas Bajo, pameran kuliner, serta pagelaran tari tradisional seperti Duata, Palilibuang, Dadayah, dan Kaka. Anak-anak sekolah dasar hingga SMA ikut serta, menjadikan festival sebagai ruang regenerasi budaya.

Festival Budaya Bajo Wakatobi menampilkan parade perahu, serta pagelaran tari tradisional seperti Duata, Palilibuang, Dadayah, dan Kaka. Pasar apung juga menjadi daya tarik. Foto: Ist.

 

Selain itu, ada lomba ikiko, liligo, dan sibalasan uya sama—permainan tradisional yang diwariskan nenek moyang. Karnaval dinda sama (kostum tradisional), olahraga dayung, hingga pasar apung juga menjadi daya tarik.

Festival ini bahkan melibatkan seminar pemberdayaan perempuan Bajo, sejalan dengan tradisi Mamia Kadilao, yakni perempuan Bajo yang turun melaut mencari nafkah dan masih bertahan hingga hari ini.

Dengan menampilkan peran perempuan, festival menegaskan bahwa identitas Bajo tidak hanya bertumpu pada laki-laki pelaut, tetapi juga pada perempuan yang menjadi penopang ekonomi keluarga sekaligus penjaga nilai-nilai budaya.

Baca Juga: Festival Bajo Wakatobi Tahun 2025 Resmi Dimulai hingga 21 Agustus

Memasuki 2025, festival semakin berkembang dengan parade 200 perahu dan atraksi besar lain. Festival Budaya Bajo Wakatobi 2025 resmi dilaksanakan pada tanggal 20–21 Agustus 2025, menegaskan posisinya sebagai perayaan tahunan masyarakat pesisir.

Semua prosesi ini tidak hanya menyajikan tontonan, melainkan menegaskan identitas Bajo sebagai pelaut tangguh. Rangkaian acara tersebut memperlihatkan bagaimana budaya bahari dapat dikemas menjadi atraksi wisata yang menarik, tanpa kehilangan makna filosofisnya.

Dengan cakupan acara yang makin luas, festival ini juga memperluas peranannya: bukan hanya melestarikan budaya, tetapi juga menjadi pintu masuk bagi diversifikasi pariwisata Wakatobi.

Di balik kemeriahan festival, ada tantangan besar yang tidak bisa diabaikan. Panitia pengarah festival menyebut bahwa anggaran merupakan masalah utama. Pada 2024, sebagian besar biaya masih ditanggung oleh Kementerian Kebudayaan, sementara pada 2025 pembiayaan lebih banyak bergantung pada sumbangan pemerintah desa, tokoh masyarakat Bajo, dan pihak-pihak yang peduli.

Dukungan pemerintah daerah dinilai belum maksimal, sehingga konsistensi penyelenggaraan festival masih rapuh. Jika dukungan pendanaan tidak stabil, sulit memastikan festival dapat berlangsung setiap tahun dengan kualitas yang sama.

Selain persoalan anggaran, tantangan lain adalah partisipasi masyarakat. Meski antusiasme terlihat, sebagian warga masih memandang festival sebatas hiburan tahunan. Padahal, esensi festival lebih jauh: menjaga tradisi, memperkuat identitas, dan melestarikan laut. Perubahan cara pandang ini membutuhkan waktu, tetapi tanpa kesadaran kolektif, festival berisiko menjadi acara seremonial tanpa dampak jangka panjang.

Festival Budaya Bajo Wakatobi menampilkan parade perahu, serta pagelaran tari tradisional seperti Duata, Palilibuang, Dadayah, dan Kaka. Pasar apung juga menjadi daya tarik. Foto: Ist.

 

Namun demikian, dampak yang dihasilkan festival sudah cukup besar. Dari segi ekonomi, keberadaan pasar apung dan kegiatan dagang membuka peluang baru bagi masyarakat Bajo untuk memasarkan hasil laut, kuliner, hingga kerajinan tangan. Wisatawan yang datang tidak hanya menikmati atraksi budaya, tetapi juga membawa sirkulasi uang baru bagi desa-desa pesisir.

Dari sisi sosial, festival memperkuat solidaritas antarwarga dan menumbuhkan rasa memiliki. Dari sisi budaya, festival menjadi wadah pelestarian tradisi yang hampir punah, seperti Mamia Kadilao dan tarian Duata, yang kini bisa kembali tampil di ruang publik.

Dari sisi spiritual, ritual Tuli mengingatkan kita pada dimensi transenden kehidupan laut, bahwa menjaga laut bukan sekadar urusan ekonomi, melainkan kewajiban moral dan kosmologis.

Dari sinilah semakin jelas, festival bukan sekadar acara tahunan, melainkan bisa berkembang menjadi motor utama ekowisata budaya.

Festival Bajo sebagai Motor Ekowisata dan Pesan Masa Depan

Festival ini pada akhirnya bukan hanya perayaan tahunan, melainkan strategi besar untuk pariwisata berkelanjutan. Seperti disorot Asnawi et al. (2017), pemberdayaan masyarakat Bajo melalui tradisi, kuliner, kerajinan, dan obat-obatan tradisional dapat menjadi objek wisata bernilai ekonomi tinggi, selama pengelolaannya melibatkan komunitas secara aktif.

Dengan landasan itu, Festival Bajo bisa menjadi “panggung” bagi masyarakat Bajo untuk menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar objek wisata, melainkan subjek dan pelaku utama pariwisata Wakatobi.

Lebih jauh, posisi masyarakat Bajo sebagai subjek menegaskan bahwa mereka bukan hanya penjaga laut dalam arti ekologis, melainkan juga pewaris pengetahuan yang terus hidup. Orang Bajo menyimpan ingatan kolektif yang terikat dengan laut, mulai dari cara membaca arah angin, mengenali bintang, hingga meracik ramuan berbasis biota laut. Semua itu bisa menjadi basis “ekonomi biru” yang tidak merusak laut, melainkan menjaga keberlanjutannya.

Festival Bajo Wakatobi 2025 memperlihatkan bahwa warisan budaya tidak lagi hanya dilihat sebagai masa lalu, tetapi sebagai modal sosial untuk masa depan. Setiap tarian, perahu, dan ritual yang ditampilkan adalah simbol bahwa identitas Bajo bertransformasi menjadi energi kreatif baru yang relevan dengan kebutuhan zaman.

Karena itu, tantangan terbesar bukan pada bagaimana festival ini menarik wisatawan, tetapi bagaimana memastikan keuntungan dari wisata budaya ini kembali ke tangan masyarakat Bajo.

Jika pola pengelolaan partisipatif benar-benar dijalankan, festival ini dapat mengubah peta pariwisata Wakatobi: memperkuat masyarakat Bajo sebagai aktor budaya sekaligus pelaku ekonomi kreatif. Dengan demikian, ekowisata budaya berbasis Festival Bajo menyatukan tiga dimensi: ekonomi, ekologi, dan identitas.

Festival Budaya Bajo Wakatobi menampilkan parade perahu, serta pagelaran tari tradisional seperti Duata, Palilibuang, Dadayah, dan Kaka. Pasar apung juga menjadi daya tarik. Foto: Ist.

 

Sebagai penutup, sebagai perempuan Bajo yang telah tumbuh bersama laut, Surni menitipkan harapannya untuk masa depan. Festival Bajo, katanya, diharapkan mendapat dukungan lebih besar dari pemerintah, sektor swasta, dan wisatawan. Dukungan itu bukan hanya berupa pendanaan, tetapi juga kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan laut dan ruang hidup komunitas Bajo.

Generasi muda Bajo yang sudah menjadi motor festival perlu terus diberi ruang, baik untuk berkreasi maupun memperkuat identitas mereka. Menurutnya, festival ini adalah ruang belajar lintas generasi, di mana anak-anak Bajo bisa mengenali warisan leluhur sekaligus mengolahnya menjadi energi untuk masa depan.

Surni juga menekankan bahwa wisatawan pun diundang tidak sekadar menonton, tetapi juga menghormati adat, belajar dari cerita tetua, dan ikut menjaga laut. Dengan begitu, hubungan antara tamu dan tuan rumah tidak berhenti pada pertukaran ekonomi, melainkan menjelma menjadi ikatan saling menghargai.

Ia percaya, selama festival ini dijiwai oleh semangat itu, maka laut Wakatobi bukan hanya akan tetap indah, tetapi juga terus menjadi rumah yang layak bagi generasi Bajo mendatang. Festival Bajo, dalam pandangannya, bukan sekadar panggung budaya, melainkan doa kolektif agar laut tetap memberi hidup dan identitas tidak pernah hanyut.

Baca Juga: Wakatobi Wave 2025: Ini Rekomendasi 4 Spot Diving Sayang Dilewatkan Pengunjung

Seperti ditulis Clifton & Majors (2012), bagi orang Bajo, laut adalah ruang hidup sekaligus ruang spiritual. Melindungi laut berarti melindungi identitas dan keberlangsungan hidup mereka.

Penelitian lain oleh Stacey (2007) juga menegaskan bahwa orang Bajo bukan sekadar “pengembara laut”, melainkan pelestari pengetahuan ekologi maritim yang diwariskan lintas generasi. Pandangan ini menunjukkan bahwa Festival Bajo sesungguhnya menjadi ruang representasi pengetahuan tradisional, yang bisa dipelajari oleh siapa pun.

Lebih jauh, festival ini bisa dipahami sebagai upaya melawan marginalisasi simbolik yang kerap dialami komunitas maritim. Ketika orang Bajo tampil dengan cerita, tarian, dan perahu hiasnya, mereka sedang menegaskan keberadaan di tengah arus modernisasi.

Di titik ini, festival bukan hanya tentang seni pertunjukan, tetapi juga tentang politik kebudayaan: bagaimana komunitas maritim menegosiasikan identitas dan haknya dalam negara-bangsa.

Dengan demikian, Festival Bajo Wakatobi bukan sekadar pesta budaya, melainkan sebuah undangan untuk merawat rumah biru bersama. Ia mengingatkan bahwa laut tidak hanya milik nelayan, turis, atau negara, tetapi milik generasi mendatang. Menjaga laut berarti menjaga kehidupan, dan merayakan laut berarti merayakan kemanusiaan kita sendiri. (A)

Penulis: Eka Putri Puisi

Editor: M Nasir Idris

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Baca Juga