Presiden Jokowi Tak Asyik Lagi
Kolumnis
Sabtu, 19 Maret 2022 / 9:12 am
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
MASYARAKAT kecewa dengan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) perihal wacana penundaan Pemilu 2024. Dalam merespons wacana ini, Presiden Jokowi malah mengeluarkan pernyataan kalimat bersayap.
Ia menyatakan akan tunduk pada konstitusi, tetapi tak bisa melarang wacana penundaan Pemilu 2024 karena sah-sah saja dalam negara demokratis. Pernyataan Presiden Jokowi saat ini berbeda dengan sebelumnya yang begitu tegas.
Wajar banyak yang kecewa atas sikap Presiden Jokowi yang mendua tersebut. Presiden Jokowi disebut: tak asyik lagi, kalimat seperti itu jika menukil respons anak-anak muda sekarang ini.
Bagi para politisi penundaan Pemilu 2024 dalam hati yes, berjingkrak riang. Tetapi dalam berkomentar akan berbeda, terjadi pro dan kontra tergantung kepentingan-kepentingan partainya. Presiden Jokowi kali ini pernyataan dan sikapnya berbeda dengan berbagai hal sebelumnya.
Sebenarnya perilaku berbeda Presiden Jokowi bukanlah hal yang tak pernah terjadi. Dalam kasus, revisi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), Presiden Jokowi hanya mencari momentum yang tepat saja.
Tetapi dalam kasus wacana penundaan Pemilu 2024 ini, perlu kita menerka alasan kepentingan dari Presiden Jokowi yang secara tidak langsung merestui pergerakan dan upaya menggolkan keinginan wacana penundaan Pemilu 2024 tersebut.
Mempelajari Perilaku Presiden Jokowi
Banyak yang merasa bahwa Presiden Jokowi tak konsisten dalam bersikap. Sebenarnya ini bukan soal konsisten dalam perilaku politik, tetapi ini mengenai memanfaatkan peluang dan momentum. Karena jika diasumsikan tidak konsisten, perdebatannya akan berlangsung lama.
Misalnya, revisi UU KPK tahun 2015 yang ditolak oleh Jokowi adalah bentuk konsisten. Tetapi tahun berganti, kata konsisten tentu acap dibenturkan dengan situasi masyarakat, maka bisa saja sikap konsisten adalah hal buruk.
Penulis lebih senang menggunakan kata momentum. Sebab dalam politik sebuah keinginan acap harus dibendung melihat kemungkinan peluang dan momentumnya. Presiden Jokowi ini ketika memiliki keinginan, ia cukup sabar, rela menunda dalam kurun waktu lama, menunggu adanya peluang dan momentum.
Misalnya saja, sebelumnya tahun 2015, lalu tahun 2016 terhadap revisi UU KPK, ia tetap berpendirian ini belum menjadi momentum yang tepat jika ingin melakukan revisi, sebab peluangnya masih kecil berhasil.
Tetapi menjelang periode akhir jabatannya pada September 2019, revisi UU KPK berhasil dilakukan. Momentum ini terjadi karena perdebatan di masyarakat telah terbelah menjadi pro dan kontra.
Politisi-politisi berhasil memainkan isu dalam mengiring masyarakat melakukan perdebatan dan pembahasan mengenai baik dan buruk terhadap revisi UU KPK. Terbelahnya sikap di masyarakat, hingga perhitungan popularitas pemerintahan juga tak akan anjlok jika terjadi revisi UU KPK, ini adalah bertautnya peluang dan momentum yang tepat.
Revisi UU KPK berhasil dilakukan dalam situasi senyap namun cepat, cukup dua kali rapat konsultasi, kemudian langsung disahkan di rapat paripurna pada September 2019. Ternyata, revisi UU KPK, bak misi yang sudah lama tertunda hanya menunggu moment saja, dan akhirnya tercapai (kumparan.com, 17 September 2019).
Patut diduga hal yang sama terjadi dalam kasus wacana penundaan Pemilu 2024. Jauh sebelum isu penundaan Pemilu 2024, pada tahun 2019 lalu, sudah pernah muncul wacana menambah masa jabatan Presiden dari 2 periode menjadi 3 periode.
Kala itu, Jokowi langsung menolak masa jabatan presiden diperpanjang dalam rencana amendemen Undang-Undang Dasar 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ia menilai orang-orang yang melontarkan ide ini ingin cari perhatiannya atau berniat buruk kepadanya.
Ia juga menyatakan, ada tiga motif yang didorong atas wacana ini yakni: "Satu, ingin menampar muka saya, ingin cari muka padahal saya sudah punya muka, atau ingin menjerumuskan saya," katanya kala itu, Senin, 2 Desember 2019.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Presiden Jokowi, ketika Ketua MPR pada 2021 silam mengusulkan mengenai amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 untuk memasukkan poin-poin menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Presiden kala itu, sejatinya tidak menolak wacana amendemen UUD 1945 asalkan materinya terbatas, yakni menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Namun jika ternyata melebar ke mana-mana ia menilai lebih baik tidak perlu ada amandemen, (Tempo.co, 6 Maret 2022).
Tetapi saat ini, Presiden Jokowi terkait usulan penundaan Pemilu 2024 malah mengeluarkan pernyataan dengan kalimat bersayap. Ia menyatakan usul penundaan Pemilu 2024 sah-sah saja dalam negara demokratis dan mengklaim akan patuh dan tunduk pada konstitusi.
Pasca kalimat bersayap Presiden Jokowi cukup tegas terlihat gerakan dari para pendukung istana. Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto melakukan pertemuan dengan Partai Nasdem dalam mengupayakan terjadinya kesepakatan bersama mengenai ide penundaan Pemilu 2024.
Sedangkan Luhut dalam sebuah acara talkshow Close The Door yang dipandu Deddy Corbuzier, ia melempar komentar bahwa memiliki big data dari pengguna media sosial seperti Facebook dan Twitter dengan jumlah pengguna hampir 110 juta itu mewacanakan penundaan Pemilu.
Bahkan, Luhut mengklaim bahwa pemilih dari ceruk berbagai partai seperti Partai Demokrat, Partai Gerindra, PDI Perjuangan, PKB dan Golkar juga ingin Pemilu itu ditunda.
Saat ini, istana disinyalir sedang berupaya menggulirkan sekaligus menggiring opini publik berseberangan dengan realitas yang berada di masyarakat. Istana sedang berupaya menangkal hasil berbagai survei yang menyatakan bahwa masyarakat menolak wacana penundaan Pemilu 2024 dengan alasan apapun.
Pertemuan politik yang dilakukan antar partai pendukung pemerintah maupun komunikasi politik yang disampaikan oleh sosok menteri yang disinyalir kepercayaan dari seorang presiden adalah kerja-kerja mengupayakan kesepakatan bersama terjadinya penundaan Pemilu 2024. Saat ini, posisi Presiden Jokowi adalah wait and see, inilah yang perlu diperhatikan kelanjutan dari pernyataan, sikap, dan langkah politik yang dilakukan oleh pemerintah.
Ketua-Ketua Umum “Berlindung” di Istana
Luhut dan beberapa ketua umum partai juga kecenderungan besar adalah setali tiga uang, setuju Pemilu 2024 di tunda. Ketua Umum Partai seperti Airlangga Hartarto dari Golkar, Muhaimin Iskandar dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Zulkifli Hasan dari Partai Amanat Nasional (PAN) mereka bersama sedang bergerak menjalankan agenda besar dari Istana.
Di sisi lain, ketiga ketua umum ini juga sedang berupaya mencari perlindungan politik kepada istana di balik dukungan wacana itu. Sebab, ketiga ketua umum ini, masih belum dapat menjadi personalisasi politik dari partainya masing-masing. Kerapuhan diri secara internal, kekhawatiran posisinya terancam, sedang menyelimuti hati dari ketiga ketua umum partai ini.
PAN misalnya sedang mengalami posisi konflik internal meski ikon partainya Amien Rais telah memilih mendirikan partai baru. Tetapi pengelolaan partai yang buruk dari Zulkifli Hasan akan membuka konflik kembali.
Begitu juga Cak Imin dengan PKB, ia dalam kekhawatiran karena kebangkitan loyalis Gus Dur. Apalagi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menginginkan warga nahdliyin untuk lebih menyebar dalam memilih partai dan pasangan calon presiden/wakil presiden.
Sedangkan Airlangga Hartarto selain dilanda elektabilitas yang rendah sebagai calon presiden juga diterpa isu perselingkuhan. Jangan melupakan faksi-faksi di Golkar yang bisa setiap waktu menggoyang keputusan Partai Golkar mengajukan dirinya selaku Ketua Umum Golkar sebagai calon presiden.
Apalagi melihat kenaikan elektabilitas dari Dedi Mulyadi Bupati Purwakarta dibandingkan Airlangga, disertai dengan popularitas dari personal brandingnya yang lebih kuat memikat hati publik dibandingkan Airlangga, cukup membuat gundah gulana Airlangga Hartarto.
Menerka Maksud Mendiamkan dalam Bentuk Merestui
Pernyataan berupa klaim yang dilakukan Luhut memang hanya suatu klaim semata. Sebab tak dapat dibuktikan kebenarannya. Tetapi klaim ini layaknya sebuah psywar yang dilakukan oleh lingkaran istana. Klaim ditujukan sebagai pembentukan opini baru dalam upaya penggiringan opini perlawanan terhadap opini publik sebenarnya yang didasarkan atas hasil berbagai survei yang menolak penundaan pemilu 2024.
Pernyataan Luhut telah memicu situasi panas perpolitikan, gelombang protes juga sudah mulai terjadi di masyarakat. Sebab, istana sedang bergerak melawan fakta dan kebenaran di masyarakat. Istana sedang berusaha melawan kehendak rakyat, untuk terselenggaranya Pemilu 2024 mendatang.
Pernyataan Luhut memang mengesankan ia sebagai aktor dalam wacana penundaan Pemilu. Statement baru Luhut yang dilemparkan kepada publik, terjadi dikarenakan presiden dalam pernyataannya bersifat mendua kepada publik. Luhut merasa pernyataannya itu adalah wujud dari atas nama demokrasi, kebebasan berpendapat.
Sehingga, Luhut dapat mengklaim mengatasnamakan rakyat, padahal rakyat bagi Luhut hanyalah orang banyak, hal mana orang banyak tentulah tidak punya wajah, berarti sama dengan anonim. Jika anonim, mengapa harus merasa bersalah karena yang dirugikan oleh klaimnya juga tidak kelihatan.
Sehingga Luhut dapat bertindak seenaknya sendiri dengan klaimnya tersebut yang dianggap ia tak perlu pertanggungjawabkannya, lihat saja kalimat nyelenehnya, ia mengklaim itu benar ada, tetapi ya Luhut enggan membukanya.
Padahal klaim Luhut masih diragukan kebenarannya. Apalagi klaimnya berasal dari ceruk yang tidak sependapat dengan wacana penundaan Pemilu, sebut saja Partai Demokrat dan PDI Perjuangan. Klaim Luhut adalah penggiringan opini publik yang negatif, yang bertujuan mengaburkan dari fakta yang sebenarnya di publik bahwa publik menolak segala alasan penundaan Pemilu 2024.
Baca Juga: Menyikapi Wacana Penundaan Pemilu 2024
Penundaan Pemilu 2024 adalah agenda yang bertentangan dengan semangat reformasi dan demokrasi. Ini menunjukkan politik di Indonesia di bawah kepemimpinan periode akhir Presiden Jokowi bukan saja gagal melakukan konsolidasi demokrasi, tetapi juga terjerembab dalam upaya melanggengkan kekuasaan dengan cara menjurus kepada upaya inkonstitusional, tidak patuh terhadap konstitusi.
Penundaan Pemilu dapat ditafsirkan karena nafsu kekuasaan semata. Istana memang tidak dapat menghargai tiga momentum berharga yang telah dilakukan bersama seperti kenaikan indeks demokrasi kita yang dulunya dianggap kemunduran demokrasi sekarang padahal sedikit mengalami peningkatan, berikutnya kesepakatan jadwal Pemilu, dan terpilihnya penyeleggara Pemilu (infoindonesia.id, 11 Maret 2022).
Semua upaya yang telah dilakukan dengan jerih payah, menguras pikiran untuk mengupayakan penyelenggaraan Pemilu 2024 mendatang lebih baik, tetapi memang selalu direcoki oleh pemerintah seperti sebelumnya digagalkannya upaya revisi undang-undang pemeilihan umum.
Penundaan Pemilu hanyalah hasrat kekuasaan yang tinggi saja dari lingkaran istana, yang kemungkinan besar telah lama diketahui oleh Jokowi siapa aktornya, tetapi didiamkannya. Sehingga wajar, jika opini publik menganggap bahwa Presiden merestuinya. Presiden sebenarnya dalam hatinya menghendakinya. Ini dibuktikan dengan pernyataan tak tegas dari presiden Jokowi dengan membubuinya atas nama demokrasi.
Wajah pemerintah sekarang adalah menunjukkan dua wajah kekuasaan sekaligus, menampilkan wajah pengelolaan kekuasaan dengan pencitraan bersama dengan rakyat. Tetapi di sisi lain, malah menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan, pemerintah senang membuat masyarakat geram atas pernyataan, sikap dan kebijakan pemerintah.
Pemerintah sedang dilanda hasrat tinggi untuk nafsu kekuasaan, menjurus kepada pengelolaan diri pemerintahan otoriter, tetapi dengan selalu mengatasnamakan demokrasi dan menyatakan sikap patuh terhadap konstitusi.
Meski pada dasarnya, ingin menanggalkan pakaian demokrasi itu sebisa mungkin, juga mutung atas aturan konstitusi saat ini, seperti dalam kasus menggiring opini publik agar sepakat menunda Pemilu 2024 mendatang.
Keberanian Luhut dalam pernyataan dan sikap terjadi disebabkan oleh sikap menduanya Presiden kepada anasir-anasir politik jahat di sekitar istana. Presiden Jokowi, memang sudah tak asyik lagi! (*)