Mengukur Kepedulian Calon Kepala Daerah di Masa Krisis

Heri Budianto, telisik indonesia
Sabtu, 11 April 2020
0 dilihat
Mengukur Kepedulian Calon Kepala Daerah di Masa Krisis
Dr. Heri Budianto, M.Si, Direktur Eksekutif PolcoMM Institute. Foto: Ist.

" Jika kandidat "diam" lari dari kenyataan, maka rakyat pun mencatat, bahwa kandidat tak layak dijadikan pemimpin daerah. "

Dr. Heri Budianto, M.Si

Direktur Eksekutif PolcoMM Institute

 

Pilkada serentak 2020, kemungkinan diundur. Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan 3 opsi jadwal pemunduran Pilkada akibat pandemic corona.

Rencana KPU ini, tentu berdampak pada jadwal kandidat (calon kepala daerah) yang akan berlaga.  

Bila memperhatikan sebelumnya, calon kepala daerah sudah bergerak sejak setahun lalu. Mempersiapkan dan membentuk timses, membangunan popularitas,  akseptabilitas dan meningkatkan elektabilitas.

Tahapan ini memang harus dilakukan, agar kandidat mendapatkan rekomendasi (perahu) dari partai politik untuk berlaga di pilkada.

Tak sedikit biaya politik yang dikeluarkan dalam melaksanakan program tersebut. Dengan harapan mendapatkan partai politik pengusung dalam pilkada.

Tak ayal, wabah covid 19 datang,  negara terdampak dan pemerintah bersama parlemen pusat kemudian bersepakat untuk menunda pilkada.

Memperhatikan situasi politik nasional maupun daerah akibat pandemic ini, para kandidat kepala daerah pun mulai mengendurkan ikat pinggang.

Tak sedikit yang sudah mulai jarang di lapangan, seperti sebelum wabah corona.

Tapi ada juga, yang terus menggerakan mesin politik (timses) yang sudah dibuat untuk membantu mengatasi dan efek wabah.

Disinilah kepedulian kandidat calon kepala daerah diuji. Di saat rakyat mendapatkan kesusahan, akibat situasi yang penuh dengan ketegangan ini.

Apakah calon kepala daerah peduli? Kepedulian itu, adalah syarat seorang pemimpin. Jika seseorang calon sudah ditempah dalam dalam situasi krisis seperti ini, lalu bergerak melakukan langkah langkah untuk rakyat,  maka layak dipilih menjadi kepala daerah.

Situasi krisis merupakan ujian bagi kepempinan seseorang. Kepedulian adalah bentuk kasih sayang seorang pemimpin pada rakyatnya.

Saat ini, rakyat di masing masing daerah memerlukan bantuan seperti penyemprotan disinfektan,  pembagian masker, sembako, dan bahkan kalangan menengah dan bawah sudah kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.

Rumah sakit dan tempat tempat layanan kesehatan memerlukan APD dan masker. Serta banyak lagi sektor sektor yang terdampak akibat wabah pandemic ini.

Menjadi ironi, jika calon pemimpin daerah yang saat ini sudah mulai kendur spirit politiknya. Mulai menjauhi rakyat dengan alasan, pilkada diundur.  

Hilang dari peredaran karena,  hitungan cost politik. Tak tampak batang hidungnya, karena rekomendasi partai ditunda.

Jika ada calon kepala daerah seperti ini,  maka dapat dikatakan bahwa yang yang seperti ini tak layak jadi pemimpin. Bukan saja tidak peduli, tapi tak memiliki jiwa pemimpin. Tak peka pada situasi krisis.

Padahal, jika mengacu pada langkah langkah strategy komunikasi pemasaran politik, bahwa aktivitas politik dapat mendongkrak popularitas,  akseptabilitas dan elektabilitas kandidat.

Track record, konsistensi dan sosialisasi politik adalah bagian dari komunikasi pemasaran politik.

Jika kandidat jeli maka wabah pandemic ini dapat memiliki efek positif bagi personal kandidat.

Itu jika, aktivitas politik dikemas dengan baik dan publikasi dengan baik.

Masa krisis saat ini dapat membangun reputasi politik yg nantinya akan menjadi track record dan konsistensi dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

Apabila pasca stay at home,  kandidat memiliki peningkatan posisi dalam hasil survey, maka sudah dapat dipastikan aktivitas politik "peduli rakyat" berjalan maksimal.

Maka gerbang kans menang dalam kontestasi dalam pilkada terbuka.

Jika kandidat "diam" lari dari kenyataan, maka rakyat pun mencatat, bahwa kandidat tak layak dijadikan pemimpin daerah. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga