Amnesti, Rekonsiliatif, dan Citra Pemerintah
Efriza, telisik indonesia
Minggu, 03 Agustus 2025
0 dilihat
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.
" Hasto dan Tom Lembong diketahui masing-masing merupakan representasi dari dua kutub yang sebelumnya berseberangan dengan pemerintah "

Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
MENJELANG memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80 tahun, terjadi peristiwa politik bersifat pencitraan. Presiden Prabowo dengan telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan amnesti dan abolisi utamanya terhadap politisi Hasto Kristiyanto yang merupakan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Sekjen PDIP) dan mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong.
Pemberian amnesti dan abolisi merupakan hak prerogatif presiden yang diatur dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berbunyi: “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat."
Semestinya, pemberian amnesti dan abolisi dilakukan dengan penuh kehatian-hatian dan kecermatan, jangan sekadar pertimbangan politis semata. Sayangnya, ditenggarai pemberian Amnesti dan Abolisi ini lebih kental soal kepentingan politik semata, misalnya stabilitas politik, rekonsiliasi nasional, maupun citra Presiden Prabowo merangkul lawan politik.
Pilihan ini diyakini dipilih sebagai strategi politik Presiden Prabowo untuk merangkul elemen oposisi, menyatukan kekuatan-kekuatan politik pasca-pemilu yang masih memilih berada di luar pemerintahan dengan terus mengkritisi pemerintahan. Tulisan ini ingin membahas dampak yang dihadirkan dari pemberian amnesti dan abolisi utamanya pemberian amnesti terhadap Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Pemberian Amnesti dan Abolisi Bersifat Kompromi Elitis
Hasto dan Tom Lembong diketahui masing-masing merupakan representasi dari dua kutub yang sebelumnya berseberangan dengan pemerintah. Hasto sebagai Sekjen PDIP, partai utama di luar koalisi Prabowo, sedangkan Tom Lembong sebagai eks pejabat ekonomi era Jokowi yang dekat dengan kalangan oposisi seperti Anies Baswedan.
Dengan memberikan amnesti dan abolisi, Presiden Prabowo berharap dapat memperkuat simbol rekonsiliasi nasional serta mengurangi resistensi politik dari kelompok oposisi terhadap pemerintahannya. Tindakan dari pilihan ini memantulkan persepsi publik bahwa hukum seolah diabaikan lalu diganti dengan “kompromi elitis” dan juga pertukaran kepentingan politik.
Pilihan ini juga memicu reaksi publik yang mempersoalkan telah terjadinya paradoks pengelolaan pemerintahan Prabowo, dari gembar-gembornya Presiden Prabowo yang akan memberantas korupsi tetapi nyatanya ketika menyangkut elite politik, malah pengabaian penegakan hukum untuk koruptor dipilih demi kepentingan politik semata melalui pemberian amnesti dan abolisi tersebut.
Amnesti dan Abolisi Pencitraan Pemerintah
Persepsi publik yang diharapkan menyembul ke permukaan oleh Pemerintah bahwa Presiden Prabowo seolah tampil sebagai “pahlawan” yang membereskan hal-hal politis warisan rezim Jokowi, harus diakui memang lah ada benarnya. Presiden Prabowo ditenggarai memilih kebijakan itu diyakini demi tujuan melakukan transisi dan konsolidasi kekuasaan, sehingga ia mengambil langkah-langkah korektif terhadap berbagai ketegangan politik dan kasus-kasus kontroversial yang terjadi di akhir pemerintahan sebelumnya.
Prabowo ingin menghadirkan citra di publik bahwa dengan pemberian amnesti dan abolisi, ia berupaya melakukan pendekatan rekonsiliatif kepada lawan politik, partai oposisi maupun kelompok oposisi. Prabowo juga ingin memulihkan relasi politik yang sebelumnya tegang, penuh drama dan konflik, karena intervensi kekuasaan ketika era pemerintahan Jokowi sebelumnya.
Harus diakui, Presiden Prabowo sedang membangun citra dirinya sebagai figur pemersatu dan pembawa solusi, sesuatu yang kontras dengan atmosfer konfrontatif di penghujung masa pemerintahan Jokowi.
Baca Juga: Menelisik Jokowi dan PSI dalam Pemilihan Ketua Umum
Berikutnya, diketahui bahwa pemberian amnesti dan abolisi adalah strategi politik Presiden Prabowo, dengan bersikap "memperbaiki" relasi hubungan melalui merangkul lawan-lawan politik pemerintahan masa lalu.
Prabowo sebagai presiden bisa mencitrakan dirinya bukan hanya sebagai penerus Jokowi, tetapi sebagai pemimpin yang berani melakukan koreksi terhadap ketidakseimbangan kekuasaan dengan adanya oposisi, ketidakbenaran perilaku penggunaan kekuasaan, dan proses penegakan hukum yang dinilai politis.
Harapan dari perilaku Presiden Prabowo ini adalah untuk memperkuat legitimasi politik dan moral di mata publik dan elite-elite politik. Namun, perlu dicatat pula bahwa narasi “Prabowo sebagai pahlawan” ini tidak otomatis mencerminkan fakta objektif, upaya Presiden memperbaiki proses penegakan hukum, tetapi ternyata pantulan persepsi publik yang hadir dari pemberian amnesti dan abolisi sebagai langkah-langkah simbolik semata. Sehingga, kesan “pahlawan” yang ingin dibangun Prabowo, malah juga terjebak pada persepsi kepentingan politik pemerintah lebih kuat dibandingkan upaya penegakan hukum.
Jadi, meskipun Presiden Prabowo saat ini sedang memainkan peran sebagai stabilisator dan pemulih ketegangan politik, dan sedang berupaya menciptakan narasi sebagai pemimpin yang membereskan persoalan politik warisan masa lalu.
Namun, konsekuensi ke depan juga mesti siap diterima oleh Presiden Prabowo karena hubungan dirinya dengan mantan Presiden Jokowi ditenggarai sebagai awal kerapuhan, sebab dibalik narasi pahlawan terhadap dirinya dengan merangkul lawan oposisi, artinya ada narasi lain yang berlawanan seperti anggapan adanya peran sebagai “penjahat,” dan "musuh bersama", dalam persoalan politik yang menjerat Hasto dan Tom Lembong tersebut telah menggiring narasi lain bahwa penjahatnya adalah mantan presiden Jokowi dengan perilaku masa lampaunya yang menggunakan hukum untuk kepentingan penguasa semata melalui memenjarakan lawan-lawan politiknya.
Melepaskan Bayang-bayang Pewaris Beban Masa Lalu
Langkah awal Prabowo memberikan amnesti dan abolisi ini adalah upaya menggunakan pendekatan rekonsiliasi politik, Presiden Prabowo ingin membangun pemerintahan yang tidak terjebak pada warisan konflik atau balas dendam politik di masa pemerintahan sebelumnya. Meskipun, Presiden Prabowo sebagai representasi politik masa lalu.
Presiden Prabowo berniat melepaskan hukum dari intervensi kekuasaan, pilihan amnesti dan abolisi ini patut diakui telah memantulkan harapan besar publik untuk menuju pemulihan marwah institusi hukum kita yang selama ini banyak dinilai tunduk pada pesanan kekuasaan atau kepentingan politik jangka pendek penguasa.
Namun, kita tidak bisa langsung “bertepuk tangan” dan berbangga hati, optimis boleh tetapi terlalu percaya jangan, karena konsistensinya Presiden Prabowo dalam jangka menengah perlu dilihat dan dicermati. Sebab, dalam praktik politik Indonesia, niat baik seringkali juga sulit dipercaya.
Jika ternyata Presiden Prabowo tidak punya keberanian untuk misalnya, melakukan pembenahan kelembagaan dan hukum secara menyeluruh, serta kesediaan dirinya untuk menahan diri agar tidak menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan saat mendekati Pemilu 2029, apalagi dalam konteks menghadapi oposisi tak bisa dimungkiri pemerintah malah terjebak melakukannya.
Publik berharap jangan sampai “hukum tanpa pesanan politik” hanya berlaku pada elite tertentu, pada waktu tertentu saja, sekadar untuk menampilkan citra pemerintah baik semata. Juga publik berharap bahwa proses pemberantasan korupsi benar-benar dapat dilakukan dengan baik dan tepat, tanpa adanya diintervensi oleh kekuasaan dari penguasa.
Jadi saat ini, harus diakui memang ada ruang untuk optimisme. Namun, upaya memerdekakan hukum dari intervensi politik harus ditunggu dan untuk diuji lewat kebijakan konkrit, seperti apakah ke depannya akan adanya kepedulian dalam penegakan hukum, sekaligus pembenahan institusional kelembagaan hukum secara menyeluruh. Jika tidak, harapan ini akan tinggal sebagai retorika politik narasi publik, bukan transformasi nyata dilakukan pemerintah.
Harapan Pemerintah dari Keputusan Rekonsiliasi
Langkah strategis politik yang dilakukan Presiden Prabowo berpotensi membuka babak baru dalam hubungan antara pemerintahan Prabowo dan PDIP, memungkinkan hubungan keduanya akan semakin harmonis. PDIP juga sudah menyatakan sikap mendukung pemerintah.
Pemberian Amnesti kepada Hasto yang merupakan Sekjen PDIP bisa dimaknai sebagai upaya rekonsiliasi politik tingkat tinggi. Harus diakui bahwa dalam politik Indonesia, keputusan pemberian amnesti tersebut adalah langkah elegan untuk mencairkan ketegangan, membuka jalur komunikasi, bahkan mengundang PDIP ke dalam orbit kekuasaan.
Artinya, Prabowo sedang membuka pintu koalisi untuk menuju terjadinya koalisi resmi. Bagi Pemerintah pemberian amnesti adalah strategi "menarik lawan sekutu.” Presiden Prabowo menyadari, PDIP adalah kekuatan besar yang tidak bisa diremehkan, apalagi PDIP mempunyai struktur partai yang kuat dan solid hingga akar rumput.
Memberikan amnesti kepada sekjennya, menunjukkan bahwa Prabowo ingin mendorong PDIP keluar dari oposisi dan menjadi bagian dari koalisi pemerintah, juga dalam upaya membangun stabilitas nasional. Ini sangat penting untuk penguatan pemerintahan, sebab Prabowo menginginkan pemerintahannya tidak adanya oposisi.
Dari sisi PDIP terjadi pilihan dilematis. Amnesti memang baik bagi keberlanjutan PDIP dalam organisasi, buktinya Kongres ke-6 PDIP langsung terwujud pasca Hasto dibebaskan dengan amnesti meski dikosongkan sementara jabatan Sekjen PDIP, tetapi bukan tidak mungkin Hasto menjabat kembali sebagai Sekjen PDIP, saat ini dikosongkan karena Hasto telah gabung saja itu narasi yang beredar di media massa.
Baca Juga: Pemerintahan Prabowo Tanpa Oposisi
Namun repotnya adalah akan muncul pertanyaan publik tentang kekonsistenan PDIP dalam menyatakan sebagai kekuatan penyeimbang dengan tidak berada di pemerintahan. Ditenggarai PDIP akan memilih kooperatif dengan tetap kritis, kritis ini dinilai sambil melihat perkembangan politik di parlemen dengan penilaian keuntungan semata, jadi PDIP tidak berada di dalam koalisi pemerintahan tetapi mendukung pemerintahan.
Hubungan Prabowo dan PDIP pasca amnesti Hasto berpotensi menjadi lebih semakin hangat dan juga pragmatis. Ini membuka ruang kerja sama strategis, meskipun belum tentu dalam bentuk koalisi resmi, dan juga belum tentu pemerintah tidak akan dikecewakan dalam sekali waktu. Dari pemberian Amnesti terhadap Hasto, Presiden Prabowo tampak sekali ingin membangun stabilitas nasional dengan mengurangi resistensi politik utamanya merangkul seluruh partai politik yang lolos parlemen.
PDIP juga menikmati dari hubungan harmonis dengan pemerintah, sebab bagi PDIP terdapat fakta bahwa Prabowo benar-benar bisa dikontrol oleh PDIP, tak bisa dimungkiri tekanan PDIP yang menganggap kasus Hasto merupakan bentuk politisasi hukum dan dorongan internal elite-elite politik agar PDIP melawan atas vonis Hasto seperti dinarasikan perlu adanya kudatuli jilid II, ternyata membawa hasil berupa amnesti bagi Hasto dari Presiden Prabowo. Kesan ini memantul di publik, kenyataannya PDIP lebih kuat mengendalikan pemerintahan dan juga lebih kuat mengendalikan Presiden Prabowo ketimbang Jokowi.
Harus diakui bahwa sikap keras Hasto terhadap Jokowi selama ini menunjukkan bahwa PDIP ingin membentuk garis batas yang jelas dan keras antara Megawati sebagai simbol organisasi dan Jokowi sebagai kader “pengkhianat” partai. Ditenggarai perilaku Hasto pasca Amnesti, kritik Hasto akan memungkinkan semakin menjadi-jadi kepada Jokowi dan keluarganya, meski kritik Hasto lebih didasari emosional ketimbang kepentingan partainya.
Jadi, diyakini meskipun diberi amnesti oleh Presiden Prabowo, tidak berarti Hasto akan melunak terhadap Jokowi dan keluarganya. Justru, ia akan berusaha menguatkan posisi PDIP sebagai partai yang “dikhianati” Jokowi tetapi tetap kuat berdiri sendiri dan berada di luar pemerintahan. Hasto juga akan semakin percaya diri menyerang Jokowi, karena amnesti ini terkesan Presiden Prabowo mendukung dirinya untuk terus menyerang Jokowi.
Fakta ini yang akan membahayakan bagi Prabowo, sebab hubungannya dengan Jokowi akan menuju kerapuhan. Jadi diperkirakan Prabowo nantinya akan mengalami kesulitan mengayuh dari dua kepentingan yang berbeda antara Hasto dan PDIP dengan Jokowi. (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS