Puan Maharani "Zona Degradasi" Calon Presiden
Efriza, telisik indonesia
Minggu, 13 Maret 2022
0 dilihat
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist
" Puan Maharani bukan sosok politisi kemarin sore, ia sudah sejak lama tepatnya tahun 2006 mulai aktif di politik. Sejak Pemilu 2009, ia telah dipercaya sebagai legislator "
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
MASYARAKAT tentu saja telah mengenal sosok diri dari Puan Maharani. Konstituen pemilih maupun konstituen internal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) juga sangat akrab dengan namanya.
Hanya saja, Puan Maharani meski populer tetapi elektabilitasnya di posisi buncit, bahkan dianalogikan masuk dalam “zona degradasi” dari pencapresan.
Puan Maharani bukan sosok politisi kemarin sore, ia sudah sejak lama tepatnya tahun 2006 mulai aktif di politik. Sejak Pemilu 2009, ia telah dipercaya sebagai legislator.
Ini menunjukkan sudah tiga kali Pemilihan Umum (Pemilu) ia turut meramaikan pesta demokrasi. Keterpilihannya menjadikan dirinya sebagai legislator peraih suara tertinggi di antara 574 legislator terpilih.
Karir politiknya sebagai legislator amat mentereng dari menjabat sebagai Ketua Fraksi PDI Perjuangan hingga terpilih sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebelumnya, ia juga pernah menjabat sebagai pembantu presiden yakni Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pada periode pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat.
Begitu menterengnya karirnya. Hanya saja, ia belum dapat meyakinkan masyarakat untuk memperhitungkan namanya sebagai calon presiden. Poin inilah yang akhirnya, Puan Maharani, dianggap layak berkompetisi di Liga 2, sebagai calon wakil presiden.
Namun, cerita Puan Maharani sekarang ini mungkinkah dapat diperhitungkan layaknya tim Premier League, Arsenal. Puan Maharani punya Mahakarya layaknya Arsenal dengan status “The Invincibles,” namun kisah ini sempat mengerutkan dahi ketika Arsenal mengalami posisi berada di dasar klasemen di awal musim 2021/2022 ini.
Perlahan namun pasti, Arsenal dengan juru taktik Mikel Arteta, berhasil menembus posisi di empat besar, bahkan Arsenal berpeluang menyodok tiga besar dengan tabungan tiga laganya andai mampu memenangkannya. Cerita peluang kesuksesan Arsenal ini, menariknya mungkinkah ini terjadi oleh Puan Maharani.
Elektabilitas Puan Maharani dalam Berbagai Survei
Ketika Puan Maharani sedang berjuang menaikkan elektabilitas dirinya. Seorang Ketua DPD PDI Perjuangan menyatakan dalam bentuk analogi dengan iklan produk teh botol sosro. Analogi itu adalah “Siapapun capresnya, cawapresnya adalah Puan Maharani.” Analogi ini seperti mendorong Puan Maharani untuk lebih berada pada Liga 2 saja, sebagai calon wakil presiden.
Puan Maharani dalam berbagai survei elektabilitas capres menempati posisi buncit, seperti hasil survei kolaborasi antara lembaga survei Politica Research and Consulting (PRC) dan Parameter Politik Indonesia (PPI) terkait pendapat key opinion leader, berikutnya dalam survei Litbang Kompas, maupun hasil survei dari Lembaga Survei Nasional (LSN), (detik.com, 07 Maret 2022).
Upaya kerja kerasnya, seperti dengan melakukan respons cepat mewakili aspirasi dan tuntutan masyarakat dengan pendapat dirinya sebagai Ketua DPR, layaknya sebagai oposisi pemerintah, juga tak berhasil mendongkrak elektabilitasnya.
Persepsi publik memang menempatkan Puan Maharani dalam posisi tidak menguntungkan bagi dirinya untuk berpartisipasi sebagai calon presiden. Puan Maharani dalam benak pikir masyarakat dan tingkat internal grass root PDI Perjuangan, dipersepsikan hanya sebagai anaknya Megawati Soekarnoputri, mantan presiden kelima negara ini.
Jabatan-jabatan mentereng yang pernah dan sedang dijalankannya, tidak menyebabkan mendongkrak elektabilitas dirinya. Bukan sekadar karena faktor adanya Ganjar Pranowo yang lebih berkilau dibanding dirinya.
Sehingga, Puan Maharani hanya menempati posisi buncit. Tetapi lebih disebabkan karena adanya keraguan publik terhadap sosok Puan Maharani. Keraguan ini dari persepsi di masyarakat dan lingkup internal PDI Perjuangan sebagai konstituen sekaligus grass root partainya.
Persepsi Internal PDI Perjuangan Terhadap Puan Maharani
Elektabilitas Puan Maharani di posisi buncit klasemen calon presiden, disebabkan karena pembawaan diri dari Puan Maharani yang bersifat elitis. Puan Maharani juga bukan figur yang mudah membaur terhadap masyarakat bahkan kepada konstituen dari internal partainya sendiri.
Puan bagi lingkup internal konstituen PDI Perjuangan utamanya grass root partai. Ia bukanlah sosok yang easy going (terbuka), mudah bergaul, luwes, supel dan ramah. Ia juga dianggap tak rajin “berkeringat bersama” dengan konstituennya.
Puan juga bukan sosok yang “diterima” oleh konstituen PDI Perjuangan di tingkat grass root, jika dibandingkan dengan sosok kakak tirinya yakni Prananda Prabowo, yang baru tampil di perpolitikan pada 2010 silam.
Baca Juga: Menyikapi Wacana Penundaan Pemilu 2024
Figur diri Puan yang elitis ini, juga ditunjang dengan ketidakmampuan dirinya sebagai sosok komunikator ulung layaknya ibunya Megawati Soekarnoputri maupun kakeknya Soekarno presiden RI pertama.
Elektabilitas Puan Maharani juga tidak dapat meningkat di lingkup konstituen PDI Perjuangan disebabkan oleh banyak faktor seperti: figur elitis dari Puan Maharani, ketidakmampuan Puan Maharani merangkul konstituennya sendiri, persaingan dengan Ganjar Pranowo yang bukan saja populer tetapi juga ia lebih dapat merangkul konstituen internal partainya.
Persepsi Konstituen Perempuan Terhadap Puan Maharani
Pada sisi lain, Puan juga tak bisa merebut dukungan dan sentimen positif dari konstituen pemilih perempuan. Contohnya, keberhasilan Puan Maharani sebagai Ketua DPR-RI pertama tidak disambut positif dan gegap gempita seperti layaknya Megawati Soekarnoputri saat berhasil terpilih sebagai presiden perempuan pertama di republik ini.
Prestasi Puan memperoleh jabatan Ketua DPR-RI perempuan pertama juga dianggap masih dapat diperdebatkan. Padahal Puan Maharani adalah sosok perempuan legislator terpilih peraih suara terbanyak.
Perdebatan itu misalnya, memang sudah aturannya dalam UU MD3 (Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perrwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bagi partai politik yang memperoleh suara terbanyak berhak memperoleh jabatan Ketua DPR dan itu adalah hak prerogatif partai politik dari peraih suara terbanyak, saat ini tentu saja PDI Perjuangan.
Hal yang utama dari ketidakberhasilan Puan Maharani mendongkrak elektabilitas dirinya. Keraguan masyarakat dan konstituen internal PDI Perjuangan sendiri akan kemampuan kepemimpinan dari Puan Maharani itu sendiri.
Baca Juga: Minimnya Narasi Kebangsaan
Mereka menganggap Puan sudah berkiprah lama di politik di bandingkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) misalnya, juga sudah merasakan berbagai jabatan prestisius sebagai Ketua Fraksi DPR –Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia –tetapi prestasi dan kesuksesan capaian Puan Maharani atas kinerjanya juga tak terungkap bahkan menjadi ingatan yang melekat di publik.
Puan memang menghadapi persepsi negatif, ia terhalang oleh dua persepsi yang tak menguntungkan untuk dirinya yakni keraguan masyarakat akan kemampuan perempuan memimpin republik ini dan juga oleh persepsi negatif bahwa kehadiran Puan dalam bursa capres 2024 ini lebih disebabkan karena anak dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri semata.
Miris melihat realitas tersebut, Puan Maharani seperti menyia-nyiakan kesempatan dan beragam jabatan yang telah hadir kepada dirinya sebagai politisi PDI Perjuangan. Wajar akhirnya, Ganjar Pranowo lebih memperoleh sentimen positif di masyarakat maupun konstituen internal PDI Perjuangan. (*)