Menyikapi Wacana Penundaan Pemilu 2024
Efriza, telisik indonesia
Sabtu, 05 Maret 2022
0 dilihat
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist
" Dua wacana yang sama berkutat di masyarakat yakni perpanjangan masa jabatan presiden dan Penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024 "
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
DIAWALI kembali oleh Muhaimin Iskandar dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Selanjutnya bergulir diungkapkan oleh Ketua Umum partai-partai politik lainnya di pemerintahan, seperti Partai Golkar, dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Sedangkan, ketiga partai lain menyatakan menolak yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Nasdem. Hanya satu partai di pemerintahan, yang enggan menjelaskan posisinya yakni Partai Gerindra.
Dua wacana yang sama berkutat di masyarakat yakni perpanjangan masa jabatan presiden dan Penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024. Kedua wacana ini sebenarnya telah usang. Namun, perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi yang dianggap lebih mengarah kepada inkonstitusional. Sedangkan, penundaan Pemilu 2024 terus bergulir di masyarakat.
Muhaimin Iskandar mengusulkan agar pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 diundur. Usulan Muhaimin sebenarnya bukan hal baru. Usulan ini sebelumnya diungkapkan oleh Bahlil Lahadalia Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (Menteri BKPM) pada bulan Januari kemarin. Meski usang tetapi wacana ini bergulir deras dengan dua arus muaranya yakni merespons positif dan merespons negatif dengan menolaknya.
Menduga Wacana Pesanan dari Istana
Usulan Cak Imin ditegaskan bahwa sebuah usulan usang, dengan mengatasnamakan kembali pengusaha dan pelaku usaha, serta mendasari pandemi COVID-19. Usulan yang dikemukakan oleh Muhaimin sejatinya menunjukkan adanya upaya anasir politik jahat yang dihadirkan untuk membuat popularitas dan elektabilitas pemerintahan terjerembab kepada perilaku tidak mendukung demokrasi.
Ide ini adalah bentuk gagasan buruk yang dilakukan oleh pendukung pemerintahan, sebab berpotensi merapuhkan pemerintahan dari dalam dengan ide yang membenturkan pemerintah dengan rakyat.
Meski begitu, menyikapi wacana ini juga tak bisa kita menganggap adalah murni dari Cak Imin semata. Melihat gelagat pengelolaan pemerintahan oleh Presiden Jokowi. Ide ini bisa saja sengaja disodorkan oleh Presiden Jokowi sendiri.
Ada tiga hal yang akan dapat direngkuh oleh pemerintah dalam mendorong usul ini adalah, pertama, memang sengaja membuka wacana ini agar terlihat kekuatan dan kelemahan akan popularitas dan elektabilitas pemerintah, misalnya, antara lain ditujukan adalah ingin mengukur sikap-sikap partai-partai politik pemerintah itu sendiri.
Kedua, wacana ini juga akhirnya dapat melihat berbagai kelemahan dari pembuatan perundang-undangan (termasuk Undang-Undang Dasar) yang telah dihasilkan. Dan, ketiga, ini yang sangat krusial bahwa akan mengkapitalisasi dukungan rakyat kepada Presiden Jokowi, tentu saja dengan menegakkan demokrasi itu sendiri.
Melihat berbagai keuntungan yang dapat diraih oleh Jokowi, tentunya dengan sengaja melempar wacana ini adalah langkah taktis yang berani, tetapi juga dapat mengundang decak kagum. Sebab, sebelum guliran wacana ini malah dilemparkan oleh kubu oposisi kepada masyarakat, yang malah akan menguntungkan kubu oposisi dan dapat menganggap pemerintah menuju tidak demokratis. Meski begitu, dalam melempar wacana ini dipastikan jangan sampai malah blunder.
Wacana ini harus diakui lebih berat bandulnya kepada bentuk menuju sikap inkonstitusional dan perilaku menyimpang. Sederhanannya, berdasarkan isi Pasal 7 UUD 1945 telah mengatur bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Dan, Pasal 22E ayat (1) berbunyi, Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Di sisi lain, perilaku yang ditunjukkan oleh Presiden Jokowi beberapa tahun ini, jelas semangatnya adalah menyelenggarakan Pemilu Serentak 2024. Presiden Jokowi juga memiliki semangat bahwa Pemilu harus tetap diselenggarakan sesuai dengan kesepakatan bersama yakni pada 14 Februari 2024 nanti.
Presiden Jokowi memang menunjukkan sikap antusias bahwa pemerintahannya akan menjalankan Pemilu 2024 mendatang. Ini dibuktikan dengan sikap offside dari pemerintah, seperti tak melakukan revisi Undang-Undang (UU) Pemilu, terkesan tak netral dalam memproses penyelenggara Pemilu, mengusulkan tanggal Pemilu, hingga durasi kampanye.
Dari beragam usulan dan komunikasi politik yang dilakukan pemerintah, tampak sekali malah Presiden Jokowi ingin berperan besar dalam mensukseskan Pemilu 2024 bahkan turut membantu mencetak hattrick kemenangan PDI Perjuangan di Pemilu mendatang.
Melihat antusias ini patut diduga, memang Presiden Jokowi ingin menguras emosi dan pemikiran dari akademisi, politisi, dan masyarakat, kemudian keluar sebagai pendukung suara terbanyak dari masyarakat dengan tetap sikap konsistennya menolak wacana perpanjangan masa jabatan, maupun penundaan Pemilu 2024.
Contoh-contoh ini sudah banyak dilakukan oleh Presiden Jokowi, seperti Peraturan Presiden (Perpres) Izin Investasi Miras dibatalkan, Meminta Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) soal Jaminan Hari Tua (JHT) direvisi, dan sebagainya. Ini adalah bagian seni Presiden Jokowi dalam mengelola pemerintahan untuk memproses input (within input), output, dan feedback.
Namun begitu, patut diingat ada kalanya Presiden Jokowi hanya menunggu saja. Seperti yang dilakukannya dalam revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), Jokowi melakukan sikap tiga kali menolak. Ternyata, revisi UU KPK, bak misi yang sudah lama tertunda hanya menunggu moment saja dan akhirnya tercapai.
Saat proses itu terjadi memang gelombang di masyarakat terlihat sudah mulai menguat dukungan melakukan revisi UU KPK. Sikap inilah yang ditunggu oleh Presiden Jokowi. Jadi dalam kasus menuju Pemilu 2024, kecenderungan ini dapat saja terjadi, meski persentasenya sangat minim akan dilakukannya, dibandingkan untuk terus melanjutkan rencana Pemilu 2024 mendatang.
Alasan Pandemi, Sudah Usang
Patut diduga Presiden Jokowi tak akan berani menerobos untuk melakukan tiga hal yang dapat dilakukan untuk menunda Pemilu, seperti melakukan amandemen UUD 1945 dengan dalih keadaan darurat, menggunakan dekrit presiden, maupun melakukan mekanisme menciptakan konvensi ketatanegaraan.
Namun, yang perlu ditekankan adalah alasan pandemi COVID-19 juga tak bisa dijadikan lagi dasar yang kuat menunda Pemilu 2024 mendatang, seperti saat Pilkada 2020 lalu.
Sebab, kita telah berpengalaman dalam menyelenggarakan Pilkada 2020, terbukti berhasil diselenggarakan dengan lancar dan baik.
Pandemi COVID-19 tak dipungkiri memang masih mendera tetapi herd immunity masyarakat sudah menguat saat ini. Di sisi yang lain, andai terjadi gelombang pelonjakan peningkatan COVID-19, kita sudah memiliki beberapa kali pengalaman menghadapi pelonjakan COVID-19.
Baca Juga: Minimnya Narasi Kebangsaan
Bahkan, jika dibandingkan Pilkada 2020, saat itu sangat rawan akan persoalan kesehatan, sebab herd immunity belum terbentuk, pemerintah dan partai-partai politik malah ngotot menyelenggarakan pemilu.
Padahal, negara ini belum punya pengalaman menghadapi kenaikan puncak pandemi COVID-19. Geliat ekonomi juga tidak menguat seperti sekarang, karena saat itu kita berada dalam kondisi masa darurat penyebaran COVID-19, tetapi nyatanya Pilkada 2020 berhasil dijalankan dengan baik dan sukses.
Alasan Pertumbuhan Ekonomi, Nyeleneh
Mengutip riset Titi Anggaraini bahwa dalam kajian Pemilu, tidak dikenal terminologi penundaan Pemilu karena alasan pertimbangan menjaga stabilitas ekonomi, (Suara.com, 25 Februari 2022).
Malah sebaliknya, pemerintah semestinya serius terhadap keputusan dari tripartit dari eksekutif, legislatif dan penyelenggara Pemilu yakni untuk tetap menyelenggarakan Pemilu 2024 mendatang dengan disepakati jadwal Pemilu 2024 adalah 14 Februari 2024 mendatang.
Semestinya, problematika hari ini yang perlu serius disikapi oleh pemerintah, bukan malah sebaliknya. Saat ini, kita sedang mengalami permasalahan dalam distribusi dan juga perdagangan terkait kebutuhan pokok masyarakat. Seperti, susahnya memperoleh minyak goreng, terhentinya produksi pelaku usaha tempe dan tahu, dan merangkak naiknya harga daging.
Kita tak bisa menganggap ini sekadar rutinitas menjelang puasa dan lebaran, malah sebaliknya, rutinitas tahunan ini semestinya kebutuhan pangan dari masyarakat malah terpenuhi untuk sampai akhir tahun, misalnya.
Kondisi ini perlu disikapi bahwa dapat saja ini menunjukkan perilaku dari adanya hubungan tak selaras antara pemerintah dalam bekerjasama dengan pelaku usaha maupun produsen. Saat ini, pemerintah tak bisa membusungkan dada, sebab elektabilitas pemerintah sebenarnya stagnan.
Yang terjadi minggu ini, malah ketidakberdayaan pemerintah dalam proses distribusi perdagangan, perilaku ini yang semestinya ditindaklanjuti. Ini adalah alarm yang menunjukkan adanya kejenuhan pelaku pasar dengan kebijakan dan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah, bahkan sempat mengemuka usulan untuk presiden melakukan reshuffle terhadap Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi.
Saat ini, bisa saja adalah awal dari kejenuhan pelaku pasar, pengusaha, pekerja di sektor industri maupun Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Ini menunjukkan bahwa mereka sebenarnya mengharapkan segera terjadinya proses sirkulasi kepemimpinan, bukan malah sebaiknya. Kejenuhan ini seharusnya yang ditangkap, disikapi dengan serius oleh pemerintah, bukan malah menganggap mengundurkan Pemilu adalah cara yang tepat.
Jangan sampai, usulan-usulan yang tidak demokratis ini menjadi sebuah ironi reformasi. Reformasi kembali dihampiri gejolak krisis, masyarakat berbicara akan kebutuhan perut yang tak dapat dipenuhi oleh pemerintah. Ingat bahwa potensi chaos dapat terjadi di tingkat masyarakat, bahkan dapat menjalar ke daerah-daerah. Akibat perilaku pragmatis dari para politisi, sedangkan rakyat malah semakin mengencangkan ikat pinggang.
Baca Juga: Upaya Mempasang-pasangkan Paket Calon Presiden/Wakil Presiden Cenderung Monoton
Saat ini, memang diharapkan Presiden Jokowi segera membuat keputusan dengan sikap konsisten, juga arif dalam menyikapi situasi sekarang ini. Wacana memundurkan Pemilu maupun memperpanjang jabatan pemerintahan, maka sama saja membuat kepemimpinan Jokowi akan dianggap gagal.
Presiden Jokowi jika terlalu berlarut-larut, tak konsisten atas keputusannya dalam mensikapi wacana pemunduran Pemilu, ia akan dianggap memiliki tujuan untuk melanggengkan kekuasaan semata. Upaya melanggengkan kekuasaan dengan cara ini adalah perilaku tidak etis dan tidak demokratis.
Semestinya, pemerintah telah menyadari bahwa kita masih terjebak dalam kemunduran demokrasi di era pemerintahan Jokowi, yang sebaiknya untuk segera diakhiri dan bukan malah mewacanakan ide-ide liar. Jangan pula, demi memperoleh feedback positif dari masyarakat, untuk bisa direngkuh sebagai kenaikan popularitas dan elektabilitas dengan menyatakan menolak ide-ide liar, kemudian akan dianggap sebagai penjaga demokrasi tetapi selalu teriak dalam koridor tidak mendukung demokrasi.
Selama ini, kengototan pemerintah dalam banyak kasus seperti tidak merevisi UU Pemilu, pengaturan waktu kampanye, ini saja sudah menunjukkan perilaku tidak etis dari pemerintahan Jokowi dalam semangat menyelenggarakan Pemilu.
Apalagi sampai memilih mengundurkan Pemilu, ini akan menyebabkan pemerintahan Jokowi dianggap presiden yang berhasil dalam pembangunan infrastruktur tetapi gagal dalam pembangunan partisipasi dan demokrasi di Indonesia. (*)