Resensi Buku: Dari Lampu Kaleng Menuju Parlemen

Tim Telisik

Reporter

Minggu, 13 Juli 2025  /  3:15 pm

Tampak buku terbitan baru Juli 2025, biografi Yaudu Salam Ajo, Ketua DPW PKS Sultra. Foto: Ist.

Oleh: Eka Putri Puisi

SAYA tidak pernah merencanakan untuk menulis biografi seorang politisi. Dunia politik, dalam persepsi banyak orang—termasuk saya sebelumnya—terlalu bising, terlalu penuh intrik, dan terlalu jauh dari narasi kejujuran. Tapi pertemuan saya dengan cerita hidup Yaudu Salam Ajo mengubah semuanya. Ia mengubah cara saya memandang politik, dan menggeser pemahaman saya tentang apa yang disebut sebagai “tokoh publik”.

Yaudu tidak datang dari pusat. Ia tidak tumbuh di Jakarta, tidak besar di lingkungan elit, dan tidak dikenal sebagai tokoh nasional. Tapi justru karena itu, saya tertarik menuliskannya. Ia datang dari sebuah desa kecil bernama Gunung Sejuk, di Sulawesi Tenggara—desa tanpa listrik di masa kecilnya, dengan rumah-rumah panggung yang dibangun dari kayu, dan jalanan yang becek saat hujan. Di sana, anak-anak seperti Yaudu harus berjalan kaki menuju sekolah, pulang sore hari, lalu belajar di bawah cahaya seadanya.

Dan cahaya itu bukan metafora. “Lampu kaleng”, yang saya jadikan bagian dari judul buku ini, benar-benar nyata. Yaudu kecil belajar di bawah cahaya sumbu kain yang dibakar di dalam kaleng bekas susu. Ia menulis sambil menahan asap, kadang terbatuk, kadang menitikkan air mata. Tapi ia tetap membaca. Tetap mencatat. Tetap bermimpi. Dari cahaya kecil itulah ia memulai. Dan dari sana pula, saya mulai menulis.

Mengikuti Jejak yang Sunyi

Menulis biografi bukan hanya soal mengumpulkan data. Ia adalah soal mengikuti jejak, dan kadang, jejak itu sangat sunyi. Yaudu bukan tokoh yang mudah dibaca lewat media. Ia bukan orang yang suka berbicara tentang dirinya. Ia lebih banyak mendengar. Ia hadir, tapi tidak mencolok. Dan bagi seorang penulis, ini bisa menjadi tantangan sekaligus anugerah.

Saya mendengarkan banyak cerita tentang kampung halamannya, masa kecilnya, saat-saat di sekolah, juga keluarganya. Dari situ saya memahami bahwa integritas bukan dibentuk dari pidato, tapi dari kebiasaan. Dari ketekunan mengangkat air dari sumur sejauh 300 meter. Dari kebiasaan bangun subuh bukan karena diminta, tapi karena diajarkan untuk hidup bertanggung jawab sejak dini.

Saya tidak ingin menulis glorifikasi. Saya tidak tertarik pada narasi pahlawan yang dipoles. Saya ingin menulis tentang seseorang yang biasa saja tapi mampu bertahan dengan nilai-nilainya. Dan Yaudu adalah contoh langka dari itu.

Baca Juga: Resensi Buku: Hak Restitusi jadi Alarm Negara atas Kegagalan Lindungi Korban Perdagangan Orang

Politik Sebagai Jalan, Bukan Tujuan

Ketika kemudian ia masuk dalam dunia politik, saya makin kagum karena ia tidak berubah arah. Banyak orang yang berangkat dari idealisme tapi sampai di puncak justru kehilangan kompas. Yaudu sebaliknya: semakin tinggi tanggung jawabnya, semakin ia merunduk.

Sebagai anggota DPRD Sulawesi Tenggara selama tiga periode, ia bukan tipikal politisi yang haus sorotan. Ia jarang tampil di media, tapi selalu hadir di lapangan.

Ia bukan pemburu panggung, tapi penjaga irama. Ia bisa saja menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi, tapi ia justru membatasi diri secara ketat. Ia memilih hidup bersahaja meski punya ruang untuk bergaya. Ia tetap mengajar, tetap hadir di masjid, dan tetap mendengar aspirasi warga satu per satu. Politik baginya bukan alat untuk mencitrakan diri, tapi jalan panjang untuk menjaga nilai.

Ketika saya menuliskan perjalanannya di parlemen, saya tidak menemukan drama besar. Tidak ada konflik yang mendebarkan, tidak ada pertarungan spektakuler. Tapi justru itulah kekuatannya. Politik yang ia jalani adalah politik keseharian: menyusun anggaran, memperjuangkan hak nelayan, mengawal kebijakan. Politik yang tenang, tapi penting. Politik yang jarang diberitakan, tapi sangat berdampak.

Dari Kaderisasi ke Kepemimpinan

Salah satu hal penting yang ingin saya tunjukkan lewat buku ini adalah bagaimana sistem kaderisasi dalam partai politik bisa mencetak pemimpin yang tangguh—jika dijalani dengan sungguh-sungguh. Yaudu adalah contoh hidup dari proses itu.

Ia memulai dari bawah. Menjadi kader biasa, lalu diberi amanah sebagai bendahara, kepala bidang, hingga akhirnya dipercaya menjadi Ketua DPW PKS Sultra. Semua dilalui secara bertahap, tanpa lompatan, tanpa intervensi eksternal. Ia dibina dalam sistem yang memang mempersiapkan kader bukan hanya untuk memimpin, tapi juga untuk melayani.

Di tengah situasi politik kita yang sering kali pragmatis, cerita seperti ini penting untuk dituliskan. Saya ingin menunjukkan bahwa politik ideologis—meski tidak sempurna—masih mungkin dijalani secara konsisten.

Bukan Kisah Heroik, Tapi Kisah Nyata

Saya tidak menulis buku ini sebagai ajang kampanye. Saya menulisnya sebagai arsip. Sebuah dokumentasi naratif tentang bagaimana seorang anak kampung bisa tetap setia pada nilai yang ia pelajari sejak kecil. Tentang bagaimana keputusan-keputusan kecil, yang nyaris tak terlihat, bisa menjadi fondasi karakter yang kuat.

Misalnya, keputusan untuk menolak gratifikasi dalam bentuk apapun. Atau keberanian untuk berbeda pendapat dalam forum internal. Atau kesediaan untuk datang langsung ke rumah warga meskipun tidak sedang masa kampanye. Semua itu bukan tindakan besar, tapi menjadi bagian dari benang merah yang membentuk dirinya sebagai pemimpin. Buku ini tidak dipenuhi dengan kalimat besar. Tapi ia penuh dengan jejak-jejak kecil yang membentuk narasi besar tentang integritas.

Untuk Siapa Buku Ini?

Buku ini saya tujukan bukan hanya untuk para politisi atau kader partai. Saya ingin buku ini dibaca oleh guru honorer yang tetap mengajar meski gaji tidak naik. Oleh mahasiswa yang bingung mencari tokoh panutan. Oleh santri yang belajar tafsir tapi juga ingin aktif dalam isu publik. Oleh nelayan dan petani yang jarang mendapat ruang dalam diskusi kebijakan.

Baca Juga: Resensi: Ini Buku Pengembangan Diri yang Cocok Dibaca Gen-Z

Saya percaya, ketika politik dibumikan, maka ia bisa kembali menyentuh orang biasa.

Menyalakan Harapan Lewat Narasi

Menulis buku ini membuat saya percaya lagi pada ruang politik. Bahwa masih ada yang menjalani politik bukan karena ingin dikenal, tapi karena tidak bisa diam melihat ketidakadilan. Bahwa masih ada yang menjadikan politik sebagai tanggung jawab spiritual, bukan sekadar karier duniawi.

Dan saya ingin buku ini menjadi salah satu batu kecil di jalan perubahan. Meskipun bukan yang paling keras dan yang paling bersinar, tapi semoga cukup kokoh untuk menopang langkah-langkah kecil menuju demokrasi yang lebih etis. Di tengah banyaknya buku politik yang penuh dengan jargon dan strategi kekuasaan, saya menawarkan buku ini sebagai napas panjang dari seorang politisi yang tidak menghabiskan waktu untuk berteriak ketika bekerja.

Yang tidak mengejar posisi, namun  mengemban amanah. Yang tidak banyak bicara, tapi konsisten menyalakan nyala. Cahaya itu mungkin kecil. Tapi seperti lampu kaleng yang menerangi malam di rumah panggung Gunung Sejuk, ia cukup terang untuk membawa seseorang keluar dari kegelapan—menuju ruang publik yang lebih terang, lebih jujur, lebih manusiawi.

Lalu, masih adakah harapan di dunia politik Indonesia? Jawabannya mungkin bisa ditemukan dalam cahaya lampu kaleng di rumah Yaudu dulu—kecil, redup, tapi menyala terus. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS