Soal Tanah Nanga Banda, Pemda Kuat Secara Undang-Undang dan Pengakuan
Reporter Kupang
Kamis, 14 Juli 2022 / 10:00 am
MANGGARAI, TELISIK.ID - Pemerintah Kabupaten Manggarai, Provinsi NTT, rupanya tidak mundur sedangkan pun menghadapi polemik tanah Nanga Banda.
Baru-baru ini Kejari Manggarai mengaku pihaknya memang belum mendapat dokumen pasti berupa surat hibah, ejaan Belanda atau sertifikat kepemilikan tanah Pemda di Nanga Banda.
Bukti yang diserahkan pemda ke kejaksaan hanya sebatas riwayat dan foto-foto lokasi serta hasil wawancara dengan beberapa okupan dulu.
Hal tersebut pun menjadi satu alasan Kejari Manggarai tidak ikut dampingi pemda tatkala menertibkan aset yang berlokasi di Kelurahan Reo, Kecamatan Reok itu.
Menanggapi hal tersebut, Pemda Manggarai melalui sekretaris tim penertiban aset, Karolus Mance mengatakan bahwa pemda tetap berpegang pada undang-undang dan pengakuan okupan tentang status kepemilikan tanah Nanga Banda.
Ia berkata, kajian yuridis yang dipegang oleh pemda sudah termaktub dalam UU Pokok Agraria dan UU Pembentukan Kabupaten se-Nusa Tenggara.
Karena itu, tanah Nanga Banda seluas 16 ha kuat menjadi milik pemda.
Baca Juga: Resah Penambangan Pasir, Warga Numana Wakatobi Geruduk Balai Taman Nasional
Tak hanya itu, kajian historis dan pragmatis juga menjadi alasan pemda mengakui tanah tersebut.
Ia membeberkan bahwa kemarin pihaknya mengadakan satu diskusi dengan bupati apakah perlu ada penyerahan hak dari tokoh-tokoh di Reo kepada pemerintah. Tapi pihaknya malah memberikan masukan kepada bapak bupati dan bapak wakil itu tidak perlu.
Sebab menurut Mance, dari aspek normatif itu tidak dibenarkan karena Nanga Banda tidak pernah dikuasai oleh orang perorangan atau kelompok. Nanga Banda itu adalah tanah negara bebas yang tidak dimiliki Gendang tertentu.
"Kalau saat ini Pemda Manggarai dituntut untuk memperlihatkan sertifikat atau alas hak yang lain termasuk keputusan inkrah dari pengadilan maka dua hal itu memang belum ada," aku Mance.
Tetapi untuk sertifikat 16 hektare itu sedang dalam proses dan mau diurus.
Ia mengaku bahwa pihaknya sudah bersurat ke BPN Provinsi NTT mudah-mudahan pada anggaran perubahan sudah bisa, sedangkan untuk keputusan pengadilan tunggu perkaranya saja.
"Untuk sementara kita perpegang pada UU yah karena memang tanah Nanga Banda merupakan tanah bekas zaman penjajah dulu. Terus setelah penjajah pulang, pemda langsung ambil alih karena jelas secara undang-undang semua aset milik kolonial yang ditinggalkan pasca kemerdekaan adalah milik Indonesia," tutur Kabag Tapem itu.
Pasca kemerdekaan itu, tuturnya lagi, Indonesia mulai berkembang, ada istilah Pemerintahan Swapraja dan ada istilah Pemerintahan Dalu. Pada saat itu Kecamatan Reok dibawa penguasaan Dalu Muhamad Marola.
"Nah setelah Pemerintahan Swapraja ke Republik Indonesia maka semua aset yang ditinggalkan menjadi milik pemda. Hal tersebut disusul dengan keluarnya undang-undang pembentukan kabupaten se-Nusa Tenggara," ulang Mance.
Lebih lanjut mantan Camat Cibal Barat ini menjelaskan, setelah keluarnya undang-undan pembentukan Kabupaten Pemda melihat dokumen tahun 1985. Di situ ada okupan orang per orangan mengajukan HGU kepada pemda dan pada saat itu pemda menyetujui mereka memanfaatkan tanah Nanga Banda. Itu artinya ada bentuk pengakuan karena tidak ada satu okupan itu yang mengklaim bahwa tanah itu milik mereka.
Baca Juga: Video Viral Karyawati Bank Sultra Hebohkan Media Sosial, Ini Pengakuannya
Pada tahun 1989, sambung Mance, Nanga Banda itu ada Dalu Reok yakni Muhamad Marola sebagai pelaku sejarah. Disana telah diputuskan bahwa tanah Nanga Banda adalah tanah milik pemda. Saksi kuncinya disitu.
Sementara itu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Manggarai, Ferdinandus Purnawan Naur mengatakan bahwa persoalan tanah Nanga Banda seharusnya diselesaikan secara non litigasi supaya jangan ada pihak yang dirugikan, sebab keduanya sama-sama tak mengantongi bukti kepemilikan sah berupa sertifikat atau surat hibah.
Menurut Ferdy, berkaitan dengan aktivitas pemerintah yang melakukan penggusuran tanah di Nanga Banda yang berlokasi di Reo Kecamatan Reo pada beberapa waktu lalu terlalu cepat dan terlalu buru-buru.
Seharusnya, kata dia, pemerintah menegaskan dulu apakah itu tanah milik pemerintah, kalau iya, harus dibuktikan dengan dokumen-dokumen yang ada dan dokumennya harus lengkap baru boleh melakukan penggusuran atau paling tidak setelah ada proses pengadilan yang sudah mempunyai putusan tetap atau inkrah baru pemerintah punya hak untuk melakukan penertiban aset. (B)
Penulis: Berto Davids
Editor: Haerani Hambali